(Terbit di Suara Merdeka edisi Sabtu,
15 Januari 2011, kolom debat mahasiswa. Kalau di koran judul sama bahasanya
udah diganti, ini versi aslinya yang menurut gue sebagai penulisnya, bahasanya
bagusan ini. Hahaha... Yaudah prolognya segini aja. Monggo dinikmati, cekidot!)
Bulan
Desember lalu, kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap negaranya mencapai
klimaksnya. Piala AFF menjadi titik balik yang mengembalikan kebanggaan dan
nasionalisme masyarakat. Selama ini rasa bangga masyarakat terkikis oleh
berbagai hal memalukan, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Dari
pemerintah disebabkan masih tingginya tingkat korupsi, hukum yang mudah dibeli,
DPR yang suka menghamburkan uang rakyat, hingga kebijakan pemerintah yang
sering kontroversial. Sementara dari masyarakat adalah masih sulitnya
menerapkan budaya tertib dan mudah terpancing tawuran.
Hal-hal
yang demikian membuat sebagian orang enggan bangga sebagai orang Indonesia. Di
sisi lain, kita melihat sikap reaktif masyarakat begitu tinggi dalam membela
negara. Tidak hanya dalam olahraga, mereka juga reaktif saat budaya bangsa kita
diklaim negara lain atau saat TKI kita disiksa. Namun apakah sampai di sini
saja nasionalisme kita?
Jawabannya
tidak. Memang contoh di atas memperlihatkan tindakan nasionalisme masyarakat.
Lebih dari itu, nasionalisme masyarakat juga terlihat saat negeri ini ditimpa
bencana. Saat suatu daerah mengalami bencana, bantuan mengalir dari seluruh
penjuru Indonesia, meski berbeda pulau dan suku.
Nasionalisme
juga menjangkiti musisi-musisi kita. Mereka tidak hanya menghasilkan lagu cinta,
melainkan juga menghasilkan lagu-lagu yang mengobarkan semangat nasionalisme
generasi muda. Lagu yang akhirnya menjadi lagu wajib di pertandingan olahraga
maupun peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
Namun
semua ini tak lantas membuat orang mengatakan, “Apapun baik buruknya, inilah
negeriku”. Masih banyak orang yang malu dengan kebobrokan negeri ini. Rasa malu
itu tidak salah, selama rasa malu itu bisa melecut semangat untuk memperbaiki
kebobrokan di negeri ini. Namun jika rasa malu membuat orang tidak mencintai
Indonesia, lantas tidak mau melakukan apapun, negeri inilah yang harusnya malu
mempunyai warga negara seperti itu.
Citra
negeri ini tidak hanya bergantung pemerintah, tapi juga kita. Kebiasaan buruk
kita seperti membuang sampah sembarangan, enggan menunggu bus di halte, sulit
mengantre dengan tertib, mudah terpancing tawuran, akan memberikan citra buruk
pada negeri ini.
Negeri
ini harus dicintai apapun baik buruknya. Semangat nasionalisme harus melahirkan
budaya positif. Pemerintah dan masyarakat harus berperilaku positif agar citra
bangsa kembali terangkat.
***
Gue tambahin biar tulisannya update
untuk jaman sekarang.
Salah satu hal yang menginspirasi
saya bisa menulis tulisan ini adalah kekompakan seluruh elemen masyarakat
hingga pemerintah dalam mendukung Tim Nasional Indonesia berlaga di Piala AFF
tahun 2010. Saat itu Tim Nasional Indonesia bermain bagus dan menghibur
sehingga meski gagal menjadi juara, masyarakat tetap mengapresiasi mereka.
Hal
yang nampak kontradiktif dengan keadaan sekarang. Bibit perpecahan justru
muncul dari induk organisasi. Dualisme liga dan organisasi mengakibatkan Tim
Nasional juga terpecah menjadi dua. Mereka memang masih mengenakan seragam
merah putih disertai lambang burung garuda di dada. Tapi pertanyaannya, apakah
mereka sekarang benar-benar membela negara atau hanya menjadi alat untuk
menunjukkan kelompok mana yang lebih hebat?
Sungguh
luar biasa. Indonesia cuma ada satu, tapi punya dua tim nasional. Hal seperti
ini hanya terjadi di Indonesia. Nasionalisme secara sederhana dapat diartikan
sebagai kecintaan terhadap negara dan rela berkorban berjuang untuk negara. Nasionalisme
juga harus ditunjukkan dengan tidak mengedepankan unsur-unsur yang bersifat
SARA maupun kepentingan pribadi atau kelompok.
Namun
entah apa yang ada di pikiran petinggi-petinggi sepakbola kita. Mereka yang berkuasa,
mereka pula yang memainkan aturan dan sanksi. Para pemain diperlakukan seperti
boneka yang bisa dimainkan sesuka mereka. Kalau tidak mau, tinggal diberikan
sanksi.
Masyarakat
sebenarnya sudah menghukum mereka dengan bangku penonton yang sepi ketika tim
nasional bertanding. Mereka bukan sudah tidak cinta lagi pada tim nasional. Mereka
hanya ingin tim nasional yang utuh dan bisa bermain bagus untuk memperoleh
kemenangan. Meskipun telah dihukum seperti itu, nyatanya tak memperbaiki
sengketa di tim nasional kita.
Sungguh
ironis. Dua tahun yang lalu saya menulis tentang euforia dan kebanggan
masyarakat terhadap tim nasional. Kini justru menulis sebaliknya. Nampaknya euforia
dan kejayaan tim nasional kita hanya hangat-hangat kotoran ayam. Tak lama
kemudian pasti dingin. Lebih ironisnya lagi, yang mendinginkan prestasi tim
nasional justru rumah tim nasional itu sendiri. Dengan kata lain sepakbola kita
lagi broken home gitu deh.
Sepakbola
sebagai cabang olahraga harusnya tidak dipolitisasi untuk kepentingan pribadi
atau kelompok. Tujuan olahraga adalah untuk menyehatkan badan dan sebagai
hiburan. Memang seseorang dianggap berprestasi apabila mampu mengalahkan
lawan-lawannya. Namun itu dalam konteks pertandingan, bukan untuk persaingan
politik dalam olahraga itu sendiri.
Spanyol
juga negara yang memiliki konflik politik yang terkadang merambah ke sepakbola.
Bangsa Catalunya yang diwakili klub Barcelona bisa dibilang sebagai
pemberontak. Sementara dari pihak negara diwakili klub ibukota, Real Madrid. Sehingga
pertandingan dua klub tersebut selalu menimbulkan tensi tinggi. Satu yang perlu
dicontoh, rivalitas yang disisipi politik dua klub tersebut melebur ketika
sudah masuk tim nasional. Para pemain dua klub bersatu dan bermain kompak
sehingga membuat mereka bisa menjadi juara dunia dan eropa.
Pertanyaannya,
bisakah petinggi-petinggi sepakbola kita menanggalkan ego mereka demi utuhnya
tim nasional? Apa iya, Indonesia mau ikut Piala AFF dengan dua tim nasional? Kita
tunggu saja perkembangannya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar