Senin, 15 Oktober 2012

Citra Bangsa Tergantung Kita



(Terbit di Suara Merdeka edisi Sabtu, 15 Januari 2011, kolom debat mahasiswa. Kalau di koran judul sama bahasanya udah diganti, ini versi aslinya yang menurut gue sebagai penulisnya, bahasanya bagusan ini. Hahaha... Yaudah prolognya segini aja. Monggo dinikmati, cekidot!)


Bulan Desember lalu, kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap negaranya mencapai klimaksnya. Piala AFF menjadi titik balik yang mengembalikan kebanggaan dan nasionalisme masyarakat. Selama ini rasa bangga masyarakat terkikis oleh berbagai hal memalukan, baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Dari pemerintah disebabkan masih tingginya tingkat korupsi, hukum yang mudah dibeli, DPR yang suka menghamburkan uang rakyat, hingga kebijakan pemerintah yang sering kontroversial. Sementara dari masyarakat adalah masih sulitnya menerapkan budaya tertib dan mudah terpancing tawuran.

Hal-hal yang demikian membuat sebagian orang enggan bangga sebagai orang Indonesia. Di sisi lain, kita melihat sikap reaktif masyarakat begitu tinggi dalam membela negara. Tidak hanya dalam olahraga, mereka juga reaktif saat budaya bangsa kita diklaim negara lain atau saat TKI kita disiksa. Namun apakah sampai di sini saja nasionalisme kita?

Jawabannya tidak. Memang contoh di atas memperlihatkan tindakan nasionalisme masyarakat. Lebih dari itu, nasionalisme masyarakat juga terlihat saat negeri ini ditimpa bencana. Saat suatu daerah mengalami bencana, bantuan mengalir dari seluruh penjuru Indonesia, meski berbeda pulau dan suku.

Nasionalisme juga menjangkiti musisi-musisi kita. Mereka tidak hanya menghasilkan lagu cinta, melainkan juga menghasilkan lagu-lagu yang mengobarkan semangat nasionalisme generasi muda. Lagu yang akhirnya menjadi lagu wajib di pertandingan olahraga maupun peringatan hari kemerdekaan Indonesia. 

Namun semua ini tak lantas membuat orang mengatakan, “Apapun baik buruknya, inilah negeriku”. Masih banyak orang yang malu dengan kebobrokan negeri ini. Rasa malu itu tidak salah, selama rasa malu itu bisa melecut semangat untuk memperbaiki kebobrokan di negeri ini. Namun jika rasa malu membuat orang tidak mencintai Indonesia, lantas tidak mau melakukan apapun, negeri inilah yang harusnya malu mempunyai warga negara seperti itu.

Citra negeri ini tidak hanya bergantung pemerintah, tapi juga kita. Kebiasaan buruk kita seperti membuang sampah sembarangan, enggan menunggu bus di halte, sulit mengantre dengan tertib, mudah terpancing tawuran, akan memberikan citra buruk pada negeri ini.

Negeri ini harus dicintai apapun baik buruknya. Semangat nasionalisme harus melahirkan budaya positif. Pemerintah dan masyarakat harus berperilaku positif agar citra bangsa kembali terangkat.

***

Gue tambahin biar tulisannya update untuk jaman sekarang.

            Salah satu hal yang menginspirasi saya bisa menulis tulisan ini adalah kekompakan seluruh elemen masyarakat hingga pemerintah dalam mendukung Tim Nasional Indonesia berlaga di Piala AFF tahun 2010. Saat itu Tim Nasional Indonesia bermain bagus dan menghibur sehingga meski gagal menjadi juara, masyarakat tetap mengapresiasi mereka.

Hal yang nampak kontradiktif dengan keadaan sekarang. Bibit perpecahan justru muncul dari induk organisasi. Dualisme liga dan organisasi mengakibatkan Tim Nasional juga terpecah menjadi dua. Mereka memang masih mengenakan seragam merah putih disertai lambang burung garuda di dada. Tapi pertanyaannya, apakah mereka sekarang benar-benar membela negara atau hanya menjadi alat untuk menunjukkan kelompok mana yang lebih hebat?

Sungguh luar biasa. Indonesia cuma ada satu, tapi punya dua tim nasional. Hal seperti ini hanya terjadi di Indonesia. Nasionalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap negara dan rela berkorban berjuang untuk negara. Nasionalisme juga harus ditunjukkan dengan tidak mengedepankan unsur-unsur yang bersifat SARA maupun kepentingan pribadi atau kelompok.

Namun entah apa yang ada di pikiran petinggi-petinggi sepakbola kita. Mereka yang berkuasa, mereka pula yang memainkan aturan dan sanksi. Para pemain diperlakukan seperti boneka yang bisa dimainkan sesuka mereka. Kalau tidak mau, tinggal diberikan sanksi.

Masyarakat sebenarnya sudah menghukum mereka dengan bangku penonton yang sepi ketika tim nasional bertanding. Mereka bukan sudah tidak cinta lagi pada tim nasional. Mereka hanya ingin tim nasional yang utuh dan bisa bermain bagus untuk memperoleh kemenangan. Meskipun telah dihukum seperti itu, nyatanya tak memperbaiki sengketa di tim nasional kita.

Sungguh ironis. Dua tahun yang lalu saya menulis tentang euforia dan kebanggan masyarakat terhadap tim nasional. Kini justru menulis sebaliknya. Nampaknya euforia dan kejayaan tim nasional kita hanya hangat-hangat kotoran ayam. Tak lama kemudian pasti dingin. Lebih ironisnya lagi, yang mendinginkan prestasi tim nasional justru rumah tim nasional itu sendiri. Dengan kata lain sepakbola kita lagi broken home gitu deh.

Sepakbola sebagai cabang olahraga harusnya tidak dipolitisasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Tujuan olahraga adalah untuk menyehatkan badan dan sebagai hiburan. Memang seseorang dianggap berprestasi apabila mampu mengalahkan lawan-lawannya. Namun itu dalam konteks pertandingan, bukan untuk persaingan politik dalam olahraga itu sendiri.

Spanyol juga negara yang memiliki konflik politik yang terkadang merambah ke sepakbola. Bangsa Catalunya yang diwakili klub Barcelona bisa dibilang sebagai pemberontak. Sementara dari pihak negara diwakili klub ibukota, Real Madrid. Sehingga pertandingan dua klub tersebut selalu menimbulkan tensi tinggi. Satu yang perlu dicontoh, rivalitas yang disisipi politik dua klub tersebut melebur ketika sudah masuk tim nasional. Para pemain dua klub bersatu dan bermain kompak sehingga membuat mereka bisa menjadi juara dunia dan eropa.

Pertanyaannya, bisakah petinggi-petinggi sepakbola kita menanggalkan ego mereka demi utuhnya tim nasional? Apa iya, Indonesia mau ikut Piala AFF dengan dua tim nasional? Kita tunggu saja perkembangannya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar