
Mahasiswa memang diidentikkan
dengan istilah agen perubahan. Peristiwa tahun 1966 dan 1998 yang
menumbangkan pemerintahan seolah-olah jadi tolok ukur. Akibatnya, jika
ada sesuatu yang dianggap keliru, mahasiswa segera menggelar demonstrasi
untuk menentang.
Namun pemerintah sering tak menggubris aksi mahasiswa. Jarang sekali ada pejabat publik mau menemui dan berdialog dengan mahasiswa. Memang ada juga aksi mahasiswa yang berhasil, seperti ketika menolak UU tentang Badan Hukum Pendidikan yang sarat komersialisme pendidikan yang akhirnya batal diberlakukan.
Di sisi lain, masyarakat yang selalu diperjuangkan haknya oleh mahasiswa justru resah dan memandang skeptis aksi mahasiswa karena menimbulkan kemacetan. Apalagi jika berakhir dengan kerusuhan.
Padahal, tak mungkin seseorang yang ingin memperjuangkan kepentingan masyarakat, justru meresahkan masyarakat. Karena itu, mahasiswa perlu melakukan pemikiran ulang dalam mengaktualisasikan peran sebagai agen perubahan.
Soekanto mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan dalam lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang memengaruhi sistem sosial. Jika tak bisa mengubah sistem yang besar, kita harus memulai dengan mengubah sistem yang kecil yang langsung bersinggungan dengan masyarakat. Misalnya, dengan mengadakan penyuluhan mengenai betapa penting menanam mangrove ke petani tambak di daerah pesisir dan terlibat menanam mangrove.
Mangrove mampu mencegah abrasi dan habitat ikan dan udang. Hasilnya memang baru bisa dirasakan setelah lima tahun, saat mangrove telah besar. Saat itulah petani tambak bisa menikmati hasil dengan panen melimpah.
Contoh lain dengan mengolah bahan makanan menjadi jenis makanan baru dengan pengetahuan dan kreativitas. Kemudian, mahasiswa mengembangkan dengan memberdayakan warga sekitar sehingga mengurangi pengangguran. Semua itu dengan satu tujuan, yaitu mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Namun pemerintah sering tak menggubris aksi mahasiswa. Jarang sekali ada pejabat publik mau menemui dan berdialog dengan mahasiswa. Memang ada juga aksi mahasiswa yang berhasil, seperti ketika menolak UU tentang Badan Hukum Pendidikan yang sarat komersialisme pendidikan yang akhirnya batal diberlakukan.
Di sisi lain, masyarakat yang selalu diperjuangkan haknya oleh mahasiswa justru resah dan memandang skeptis aksi mahasiswa karena menimbulkan kemacetan. Apalagi jika berakhir dengan kerusuhan.
Padahal, tak mungkin seseorang yang ingin memperjuangkan kepentingan masyarakat, justru meresahkan masyarakat. Karena itu, mahasiswa perlu melakukan pemikiran ulang dalam mengaktualisasikan peran sebagai agen perubahan.
Soekanto mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan dalam lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang memengaruhi sistem sosial. Jika tak bisa mengubah sistem yang besar, kita harus memulai dengan mengubah sistem yang kecil yang langsung bersinggungan dengan masyarakat. Misalnya, dengan mengadakan penyuluhan mengenai betapa penting menanam mangrove ke petani tambak di daerah pesisir dan terlibat menanam mangrove.
Mangrove mampu mencegah abrasi dan habitat ikan dan udang. Hasilnya memang baru bisa dirasakan setelah lima tahun, saat mangrove telah besar. Saat itulah petani tambak bisa menikmati hasil dengan panen melimpah.
Contoh lain dengan mengolah bahan makanan menjadi jenis makanan baru dengan pengetahuan dan kreativitas. Kemudian, mahasiswa mengembangkan dengan memberdayakan warga sekitar sehingga mengurangi pengangguran. Semua itu dengan satu tujuan, yaitu mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar