Selasa, 23 September 2014

Ketika itu...

Ketika keringat beriringan air mata
Ketika letih beriringan sesak
Ketika pandangku kosong
Hanya lembaran putih tersaji
Ke mana perginya harapanku?
Yang dulu kutanam di depan pandangku


Aah...
Hanya bisa menghela nafas
Berharap energi berkumpul di kaki
Agar bisa menapak lagi


Hidup tak bisa diterka
Angan bisa jadi kiasan
Hidup harus tetap dijalani
Meski kita tak mengerti


Ketika asa menguap
Ketika tubuh tercabik
Ketika pikiran tertindih
Nafas pun tersengal
Tertatih mencari oksigen yang tersisa


Dan aah...
Aku coba menghela nafas
Berharap energi berkumpul di kaki
Agar bisa menapak lagi
Mencari yang semestinya dicari
Menikmatinya...
Jika mungkin

Sabtu, 13 September 2014

Tentang Duduk Ketika Marah


“Duduk…!” inilah kata yang akhir-akhir ini jadi selingan dalam candaan kami. Bagaimana mulanya? Ini bermula ketika ada seorang teman yang sedang dirasuki amarah kemudian aku memintanya untuk duduk. Entah apa yang ada di pikiran teman-teman yang lain ketika melihat hal ini. Yang pasti, sejak itu kata “duduk” jadi populer.

Menyikapi hal tersebut, aku ingin agar kata duduk tak sekedar menjadi bahan candaan belaka, melainkan harus punya nilai yang lain. Nilai apa itu? Yaph, nilai dakwah.

Duduk dan berbaring merupakan suatu upaya meredakan amarah. Hal ini mengacu pada hadits Rasulullah saw berikut:

 إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring (H.R Abu Dawud)

Dalam suatu interaksi sosial, salah paham atau perbedaan pendapat menjadi hal yang sangat mungkin terjadi. Keduanya apabila tidak terkelola dengan baik, maka dapat memantik kemarahan di salah satu pihak. Apabila kemarahan itu tidak dapat diredam, maka hal yang lebih buruk bisa terjadi, misalnya terjadinya perkelahian. Naudzubillahimindzalik.

Hadits di atas memberi kita solusi untuk mengontrol diri dari marah yang mulai tak terkendali. Secara logika dapat dijelaskan bahwa orang dengan posisi duduk akan lebih sulit untuk mengambil tindakan agresif daripada ketika berdiri, apalagi jika ia kemudian berbaring. Ini efektif untuk mencegah seseorang bertindak anarki.

Setidaknya dua kali sudah aku menerapkan
hal ini untuk meredakan amarah orang lain dan amarahku sendiri. Ketika seseorang sudah berbicara dengan nada hard rock, serta intonasi seperti dalang menyampaikan narasi wayang, yang kadang tak jelas maknanya, aku cuma menyampaikan dua kalimat padanya, “Ayo sini, kita duduk dulu. Kita omongin baik-baik.” Setelah duduk dan kita mengobrol sebentar, selesai perkara. Semula ketika berdiri nada bicaranya hard rock, ketika duduk perlahan-lahan nada bicaranya beralih ke jazz.

Satu hal yang baru aku sadari setelah candaan tentang duduk berulang kali dilontarkan adalah ternyata aku masih bisa mengambil tindakan yang syar’i di situasi yang sulit untuk menguasai diri. Aku memang marah, tapi setidaknya masih bisa mengontrol diri.

Memang ketika kita mengambil jalan yang syar’i, maka tidak akan ada keburukan, yang ada hanyalah kebaikan. Dari contoh ini saja, saat kita memegang dalil ini, maka kita sudah menghindarkan diri kita dari tindakan yang tidak perlu dan memalukan karena marah. Contoh lain adalah ketika seorang wanita memutuskan mengenakan jilbab syar’i, maka godaan dari laki-laki yang datang padanya akan berkurang. Satu-satunya godaan hanyalah ucapan, “Assalamu’alaikum”. Itupun sebenarnya merupakan doa dan jika dijawab mendapatkan pahala.

Akhir kata, aku ingin kita bersama-sama belajar lebih dalam tentang agama, tentang aturan agama kita. Kemudian nanti dari apa yang telah kita tahu, ayo pelan-pelan kita terapkan. Ini karena agama bukan hanya masalah ibadah, tapi melingkupi semua aspek kehidupan kita. Bahkan saat kita hendak masuk ke kamar kecil pun ada aturannya.

Aku bicara seperti ini bukan berarti aku orang yang baik, orang yang benar, orang alim. Bukan! Aku justru jauh dari itu. Namun kawan, apakah selamanya kita akan membiarkan diri kita dalam kegamangan? Acuh terhadap agama kita sendiri?

Setiap orang pasti ingin menjadi lebih baik dan akan berproses untuk menjadi lebih baik. Menjadi taat terhadap syariat sebenarnya merupakan kebutuhan kita. Allah tidak membutuhkan ketaatan kita. Namun saat kita taat pada syariatNya, kita pula yang akan merasakan manfaatnya. Ayo kawan, kita coba. Ini memang tak mudah karena dunia terlalu menggoda. Tapi aku percaya, kita bisa kawan! Cayo!