Kamis, 08 Mei 2014

Nikmat Mana yang Didustakan?




“Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman:13) 

Dalam surat Ar-Rahman, ayat di atas ditemukan sebanyak 31 kali. Dalam surat ini, diterangkanlah nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia. Ayat ini selalu muncul setelah Allah menerangkan nikmat yang telah Ia berikan.

Membaca surat Ar-Rahman membuat diri ini terasa kecil sekaligus malu kepada Allah. Banyak sekali nikmat yang telah Allah berikan, namun sedikit sekali diri ini untuk bersyukur. Bahkan terkadang masih mengeluh atau merasa kurang atas nikmat-Nya. Tak jarang pula justru menggunakan nikmat yang telah Allah berikan untuk hal yang kurang baik. Sungguh-sungguh keterlaluan diri ini. Sungguh tak tahu diri.

***

            Sahabat, sering kita menyepelekan nikmat-nikmat kecil yang telah Allah berikan. Padahal dalam seharian saja, sudah banyak nikmat yang Allah berikan. Mulai dari bangun tidur,  kita masih bernafas dan tubuh masih bisa digerakkan normal. Kita bisa sampai kantor dengan selamat. Kita bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lancar. Mempunyai teman-teman yang baik. Masih dapat membeli makanan dan merasakan lezatnya makanan. Bisa pulang lagi ke rumah dengan selamat. Serta nikmat-nikmat lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

            Namun kebanyakan dari kita ternyata lebih banyak mengeluh daripada bersyukur. Jika menemui kesulitan sedikit, mengeluh. Gagal meraih apa yang diinginkan, mengeluh. Mendapatkan situasi yang kurang nyaman, mengeluh. Ada orang yang bersikap kurang baik pada kita, mengeluh. Jika kita diberikan dua buku, satu untuk menulis nikmat dan satu lagi untuk menulis keluhan, mungkin buku kedua yang lebih cepat penuh.

            Saat kita lelah atau ada masalah, kita menjadi mudah mengeluh. Terkadang disertai dengan menyalahkan alat-alat kita ataupun orang lain. Padahal seharusnya tak perlu selebay itu.

            Cara mudah agar kita tak gampang mengeluh sekaligus menemukan semangat lagi adalah dengan mengingat banyaknya nikmat yang telah Allah berikan pada kita. Ingatlah saat Allah menyelamatkan kita dari situasi-situasi sulit. Bersyukurlah atas hal-hal baik yang telah kita dapatkan. InsyaAllah dengan begitu kita jadi tak berminat untuk mengeluh.

            Sejumlah peristiwa sulit pernah saya alami dan Allah telah mengangkat saya dari kesulitan tersebut. Seperti ketika saya kesulitan mengerjakan ujian matematika saat UAN SMA. Hanya delapan nomor yang bisa saya jawab dari minimal tiga belas nomor untuk bisa lulus. Nyatanya, saya bisa lulus meski dengan nilai tipis di atas ambang batas kelulusan. Artinya, ada kuasa Allah yang mengambil peranan hingga saya bisa lulus. Ketika Allah telah berkehendak, tak ada yang bisa melawan kehendak-Nya.

            Kelulusan ini semakin terasa manis sebab sebelum pengumuman kelulusan, saya sudah dinyatakan diterima di dua universitas negeri di Kota Semarang. Saya pintar? Oh, tidak! Jauhlah saya dari kata pintar. Tepatnya saya beruntung, sangat beruntung. Dua kali mengikuti tes perguruan tinggi, kemampuan akomodasi mata saya mengambil peranan penting. Saat otak mengalami kebuntuan, saat itulah mata saya bekerja hingga menuai hasil seperti yang saya sebutkan di atas. Sungguh nikmat Allah tetap terasa indah meski dibungkus dengan cara apapun.

            Pada masa kuliah, saya mengalami masa paling getir dalam hidup. Melewati fase di mana hidup dan mati begitu tipis batasnya. Hendak berjuang mengikuti ujian semester namun justru kaki tertindih ban truk kontainer. Beruntung Allah menghindarkan saya dari kecelakaan yang lebih parah. Sopir truk itu akhirnya memundurkan truknya setelah mendengar teriakan saya dan gedoran pintu pengendara motor di belakang saya. Kaki saya pun bisa terlepas dari jepitan yang menyakitkan dan bisa digunakan untuk beraktivitas sampai sekarang. Padahal truk itu bisa saja terus maju karena kendaraan di depannya telah maju. Jika itu terjadi, pasti kaki saya akan terlindas truk dan badan saya akan terpelanting ke badan truk. Entah apa jadinya? Beruntung hal tersebut tak pernah terealisasi. Terima kasih Allah.

            Di penghujung kuliah, saya sempat melakukan dagelan yang nyaris mengancam kelulusan saya. Bisa-bisanya saya sidang skripsi tapi tidak membawa skripsi, hanya membawa catatan kecil saja. Ini membuat dosen-dosen penguji saya murka dan memarahi saya. Untung saja sidang skripsi tetap dilanjutkan dan diluar dugaan saya dinyatakan lulus dengan nilai yang sesuai harapan, bahkan dengan revisi yang sangat sedikit. Saya pun semakin tersenyum manakala mengetahui IPK akhir saya ternyata sesuai request dalam doa yang saya panjatkan. Tidak kurang, tidak lebih. Padahal sebelumnya hal ini seperti mustahil. Sebuah happy ending yang luar biasa dari Allah untuk menutup cerita perkuliahan.

            Lepas dari masa kuliah lantas memasuki masa-masa kegalauan. Apalagi jika bukan penantian kerja. Menghabiskan pagi dengan menonton acara musik di tv membuat saya bergumam, “Alangkah serunya yaa jika bisa bekerja di balik layar televisi. Bekerja jadi apa saja deh!”. Setelah singgah di beberapa tempat, akhirnya Allah membawa saya berada di balik layar tv sungguhan. Benar-benar di balik layar, terlibat dalam proses produksi, dan muncul nama saya pada credit tittle di akhir program. Sungguh terasa nikmat saat apa yang kita inginkan dapat kita rasakan.

            Itulah beberapa nikmat dari Allah yang senantiasa membekas di ingatan saya. Tentu masih banyak sekali nikmat Allah yang lain, yang pasti tidak akan terhitung. Manis maupun getir cerita hidup yang pernah kita alami penting sekali untuk diingat karena bisa menjadi motivasi sekaligus perisai diri. Saat kita berada dalam posisi terjepit, kita harus berprasangka baik kepada Allah dan optimis akan ada jalan keluar dari himpitan masalah tersebut.  Sedangkan saat kita diberikan kesenangan, kita harus bersyukur dan mengingat saat kita mengalami kesusahan agar kita tidak bertindak melampaui batas. Apalagi menggunakan rizki-Nya untuk hal yang kurang baik atau maksiat. Malulah kita jika akan menggunakan rizki-Nya untuk hal yang kurang baik sementara dalam doa kita masih memohon dan mengharapkan rizki-Nya.

            Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa apa yang saya tulis ini hanyalah untuk napak tilas perjalanan hidup saya yang tak lain bertujuan untuk mengingatkan diri sendiri. Saya menggunakan contoh dari pengalaman pribadi karena itulah contoh yang paling mudah. Tidak ada maksud untuk pamer atau sombong.

            Akhir kata, marilah kita mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan, sekecil apapun. Janganlah kita menjadi manusia yang mudah mengeluh dan selalu merasa kurang. Pergunakalanlh nikmat dari Allah dengan bijak dan tepat. Apabila ada nikmat berlebih, marilah kita berbagi dengan sesama.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Terima kasih sudah membaca! (^..^)


Nama Bukan Sekedar Panggilan dan Identitas



            Nama memang memiliki fungsi sebagai panggilan maupun sebagai identitas. Adanya nama membuat komunikasi antar individu menjadi tidak kaku. Paling tidak, jika orang telah mengenal, maka akan memilih memanggil nama daripada dengan kata “heh kamu”, “satpam”, “bakso”, dan sejenisnya. Seseorang juga akan merasa lebih dihargai kala disapa atau dipanggil dengan namanya daripada dengan panggilan yang lain.

            Adapun nama sebagai identitas digunakan untuk keperluan administrasi. Ini juga sama pentingnya dengan fungsi sebagai panggilan. Kesalahan tulis pada akta, ktp, ijazah, buku nikah, paspor, rekening, atau surat berharga lainnya dapat berakibat fatal.

            Namun di luar dua fungsi tadi, sebenarnya nama juga bisa mengandung doa dan harapan orang tua kita. Mereka tentu tidak sembarangan memilihkan nama untuk anaknya. Pasti ada arti-arti penting dibalik setiap nama yang diberikan kepada anak-anaknya.

***

            Dalam tulisanku kali ini, aku ingin bernarsis ria sejenak. Mensyukuri sekaligus menikmati nama yang diberikan oleh orang tuaku.

Huda Rahadian, begitulah yang tertulis di akta kelahiranku. Nama yang sederhana, tidak bertele-tele, namun mengandung arti dan harapan. Dengan nama ini pula, di berbagai identitas, namaku tidak pernah disingkat karena masih memenuhi space yang disediakan. Tak perlu repot pula seandainya membuat paspor, karena terdiri dari dua kata seperti yang disyaratkan.

            Huda, banyak orang yang sudah mengetahui maknanya. Kata huda diambil dari Al-Qur’an, yang berarti pertunjuk. Hudallinnas artinya pertunjuk bagi manusia, hudalilmuttaqin artinya petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Karena itu pula, kata huda sering digunakan dalam penamaan masjid atau mushola, termasuk mushola yang berada di dekat rumahku, yang diberi nama mushola Nurul Huda.

            Huda adalah nama pemberian dari ayahku. Ia menilai nama tersebut cocok dan tepat untuk disematkan padaku. Apalagi setelah mendengar komentar positif dari seorang kyai di daerah kami. “Bener kuwi, apik jenenge. Huda iku pituduh”, begitu kata beliau dalam bahasa Jawa. Dengan penamaan ini, tampak ada semacam harapan agar kelak aku bisa menjadi petunjuk, setidaknya untuk orang-orang disekitarku. Aku diharapkan bisa sebagai jalan untuk mengangkat kehidupan keluarga menjadi lebih baik.

            Rahadian, kata yang mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang. Dari susunan hurufnya pun belum bisa diterka berasal dari bahasa apa kata ini. Namun ini tak berarti bahwa Rahadian hanya kata yang indah didengar namun tak memiliki makna yang spesifik. Ada dua versi cerita untuk mengurai makna dari kata rahadian.

            Pertama adalah versi Ibuku. Tentu karena dialah yang memberikan nama itu kepadaku. Menurut beliau, rahadian berasal dari kata rahardjo, yang berarti keselamatan. Jika kemudian digabung dan diletakkan di belakang kata huda, maka akan memiliki makna sebagai petunjuk keselamatan. Begitu kira-kira arti nama Huda Rahadian versi pertama. Mengapa versi pertama? Karena dalam perjalanan hidupku, aku menemukan arti lain dari kata rahadian.

            Penemuan arti rahadian versi kedua terjadi ketika aku sudah menduduki bangku SMA. Saat itu ibuku yang seorang guru SD habis pulang mengantar murid-muridnya melakukan study tour. Ketika pulang, ia membawa buku kumpulan cerita-cerita daerah yang didapat dari orang yang berjualan di bus. Kebetulan di sekolah ada tugas untuk membuat cerita. Akhirnya, kubacalah buku tersebut untuk mencari inspirasi dan referensi. Hingga tiba di suatu cerita berjudul Asal Mula Reog Ponorogo. Bagaimana mula terjadinya reog ponorogo tak perlu aku ceritakan, karena ada yang lebih menarik untuk diceritakan, yaitu tersebutnya kata rahadian.

            Dalam buku tersebut diterangkan bahwa rahadian adalah gelar yang diberikan kepada putra-putra raja-raja Majapahit. Dalam perkembangannya, rahadian kemudian disingkat menjadi raden. Jika menyimak keterangan di atas, maka rahadian itu sama dengan raden dan sama dengan pangeran. Entah mengapa aku merasa arti rahadian di buku ini lebih tepat dibanding dengan yang pernah ibu sampaikan. Mungkin karena di buku ini nyata tertulis rahadian dengan susunan huruf yang sama persis dengan namaku.

            Aku pun menyampaikan hal ini kepada ibu. Ibuku juga terkejut mengetahuinya. Namun beliau tidak mempermasalahkannya. Lantas ibuku bercerita jika dia dulu suka dengan nama rahadian. Rahadian adalah nama anak dari rekan kerja ibuku yang juga seorang guru. Waktu itu, Ibuku berpikir dan menganggap bahwa rahadian itu berasal dari kata rahardjo.

Kesimpulannya, arti rahadian versi ibu adalah arti yang bersifat anggapan. Oleh karena itu, aku memutuskan mengambil arti rahadian versi buku cerita yang menyatakan bahwa rahadian itu ya raden, raden itu ya pangeran. Dengan demikian Huda Rahadian bisa diartikan sebagai Pangeran yang memberi petunjuk atau diartikan Pangeran yang menjadi petunjuk.

            Terkesan memaksakan memang karena kata rahadian berada di belakang. Yah anggap saja kita melakukan pemaknaan seperti dalam bahasa Inggris bahwa kata yang utama ada di belakang, sementara kata yang di depan sebagai penjelas. Contohnya nih, red car artinya mobil merah bukan merah mobil, atau tall man yang berarti orang tinggi bukan tinggi orang. Jadi wajarlah bila huda rahadian dimaknai seperti yang telah aku sebutkan di atas. Hehehe...

            Dengan adanya makna yang sedemikian rupa, wajarlah bila aku kesal ketika ada orang yang salah menulis namaku. Sejak aku SD sampai sekarang bekerja, masih saja ada orang yang bertindak demikian. Yang paling sering adalah kesalahan menulis rahadian menjadi rahardian. Rahadian itu artinya pangeran, rahardian artinya apa? Baru-baru ini ada juga yang salah menulis nama depanku. Huda ditulis hudah. Huda itu artinya petunjuk, hudah itu artinya apa? Untung tidak ditulis kuda. Hmmmmph....

            Kalau orang Jawa menyikapi hal ini akan bilang, “Ora mbancaki bubur abang putih kok ngganti-ngganti jeneng!” Artinya, orang tidak mengadakan syukuran bubur merah putih (tepatnya coklat putih) kok ganti-ganti nama orang?!

            Terkadang orang menyepelekan hal sekecil ini, padahal beda satu huruf sudah bisa beda maknanya. Ingatlah nama itu berisi doa dan harapan. Jangan membuat doa dan harapan itu melenceng dengan kesalahan menulis satu huruf! Hargai juga orang tua yang mungkin bisa berhari-hari memikirkan nama untuk anaknya. Terima kasih!