Postingan saya kali ini merupakan makalah saya untuk mata kuliah Studi Eropa. Di sini saya mengangkat ketidakadilan dan diskriminasi di sebuah negara yang konon menjadi cikal bakal lahirnya nilai-nilai demokrasi. Makalah ini terpilih menjadi salah satu makalah terbaik untuk dipresentasikan. Semoga dapat diambil manfaatnya. Monggo dipun sekeca'aken...!!!
BAB I
PENDAHULUAN
Perancis adalah salah satu negara
besar di Eropa Barat dengan populasi umat Islam yang terbesar. Saat ini sekitar
enam juta umat Muslim tinggal di Perancis. Sekitar setengah dari mereka
memiliki kewarganegaraan Perancis. Mereka terdiri dari penduduk Perancis asli
dan penduduk pendatang. Para pendatang ini
berasal dari negara-negara Afrika bagian utara atau Senegal maupun negara-negara bekas
jajahan Perancis lainnya. Meski memiliki populasi yang lumayan besar, umat
Muslim di Perancis hanya menjadi kelompok minoritas di negara yang berpenduduk
sektar 64 juta orang tersebut.[1]
Perancis merupakan salah satu negara
demokrasi yang cukup terkemuka di dunia. Selama ini Perancis juga dikenal
sebagai penganut kuat paham sekularisme, yaitu menghendaki adanya pemisahan
antara agama dengan kehidupan negara. Sejumlah kebijakan-kebijakan yang
kontroversial mengenai identitas-identitas keagamaan sering muncul. Diantaranya
di tahun 1989, pemerintah Perancis melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah
umum yang mengakibatkan muncul protes keras. Pada tahun 2004, Perancis melarang
penggunaan simbol-simbol keagamaan seperti salib, jilbab, dan topi Yahudi di
tempat-tempat umum. Yang terbaru adalah disahkannya undang-undang yang melarang
burqa (pakaian wanita yang hampir menutupi seluruh tubuhnya). Bahkan bagi yang
mengenakan akan dikenai denda.
Wacana mengenai jilbab dan burqa di
Eropa memang mengemuka akhir-akhir ini. Meski jilbab saat ini tidaklah terlalu
asing bagi masyarakat eropa karena telah bertambah banyak yang mengenakan,
tetapi burqa masih dianggap sebagai suatu hal yang asing yang mesti
disingkirkan. Upaya untuk melarang burqa tidak hanya terjadi di Perancis,
melainkan juga di Belgia, Spanyol, Belanda, dan Italia. Namun penulis hanya
akan menyorot di Perancis saja. Perancis selain dikenal dengan negara demokrasi
juga dikenal karena prinsip-prinsip revolusi Perancis ikut menjiwai
masalah-masalah hak azasi manusia dan perubahan-perubahan di negara lain. Tiga
prinsip revolusi Perancis yang terkenal itu adalah Liberte (kebebasan), Egalite
(kesetaraan), dan Fraternity (persaudaraan).
Makalah ini kemudian akan membahas
lebih lanjut pada bab berikutnya mengenai pentingnya jilbab dan cadar bagi
muslimah? Bagaimanakah kebijakan-kebijakan kontroversial dari Pemerintah
Perancis terkait identitas keagamaan? Bagaimanakah pelarangan jilbab dan burqa
ditinjau dari nilai-nilai hak-hak azasi manusia? Dan bagaimana reaksi organisasi
internasional terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah
Perancis terkait jilbab dan burqa?
Tujuan makalah ini antara lain untuk
menggambarkan bagaimana di negara demokrasi yang mempunyai revolusinya mampu mengilhami bagi
perubahan kehidupan dunia saat itu, terutama mengenai kebebasan dan kesetaraan,
ternyata masih membatasi sejumlah hak-hak individu yang termasuk ke dalam
hak-hak dasar. Manfaat yang diharapkan dapat dipeoleh dari makalah ini adalah
suatu pelajaran maupun referensi mengenai bagaimana memadukan tatanan budaya,
politik, hukum, dan mungkin agama di suatu negara yang sekuler namun penuh
pluralisme agar tercipta kehidupan yang damai dan serasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pentingnya
jilbab bagi seorang muslimah.
Jilbab sangatlah penting bagi
seorang muslimah yang taat dalam menjalankan perintah agama. Jilbab bukanlah
sekedar simbol keagamaan belaka maupun budaya bangsa Arab, melainkan sebuah
perintah dari Allah yang tertulis dengan nyata di dalam Al-Qur’an.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[2]
Selain ayat di atas, terdapat satu ayat lagi di dalam Al-Qur’an yang
menerangkan mengenai kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslimah.
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[3]
Dua ayat di atas merupakan dasar bagi seorang wanita muslimah untuk
menggunakan jilbab. Jilbab sama pentingnya dengan ibadah-ibadah umat Islam
lainnya seperti sholat maupun puasa ramadhan, ataupun dengan ibadah-ibadah umat
lainnya, seperti kebaktian di gereja bagi umat Nasrani maupun pergi ke pura
bagi umat Hindu. Ini juga jelas untuk menjelaskan bahwa jilbab bukan budaya yang dipaksakan oleh orang tua mereka kepada
wanita-wanita muslimah. Jilbab juga tidak membatasi hak-hak wanita seperti yang
dipikirkan banyak orang barat, tetapi jilbab justru memuliakan wanita dan
menjaga wanita seperti yang dijelaskan oleh kedua ayat di atas.
Pemahaman mengenai aurat wanita dalam surat An-Nuur ayat 31 oleh
madzhab Syafi’I, yang dikatakan an-Nawawi dan al-Khathib asy-Syirbini adalah
aurat perempuan merdeka meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak
tangan sampai pergelangan tangan. Sedangkan Muhammad bin Abdullah al-Maghribi
mengatakan bahwa jika perempuan merasa khawatir terhadap fitnah, maka ia harus menutup
muka dan kedua telapak tangannya.[4]
Pada dasarnya penggunaan penutup muka atau cadar atau sejenisnya sangat
tergantung dengan keyakinan dari wanita muslimah itu sendiri di mana ia merasa
nyaman. Ulama-ulama Islam tidak ada yang menentang pengunaan cadar, sebagian
diantaranya bahkan mensunnahkannya.
Namun yang pasti adalah kebebasan beragama dan
berkeyakinan itu dijamin dalam setiap deklarasi hak-hak azasi manusia, terutama
menyangkut hak-hak dasar mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta menjalankan
agama dan keyakinannya. Berjilbab merupakan bagian dari agama yang harus
dilindungi sementara bercadar merupakan bagian dari keyakinan yang semestinya
juga dilindungi.
B.
Kontroversi
kebijakan Perancis: dari pelarangan jilbab, simbol agama, hingga burqa.
Pada awal dekade
1990-an, Menteri Dalam Negeri Perancis memerintahkan pelarangan penggunaan
pakaian Islami oleh para pelajar muslimah di sekolah-sekolah Perancis. Ketika
itu, program anti jilbab hanya dilakukan dalam bentuk surat perintah
kepada kepala-kepala sekolah dan keputusan akhir terletak pada kepala sekolah
tersebut. Dengan cara ini, ada kemungkinan kepala sekolah tetap
mengizinkan pelajar muslimah untuk tetap melanjutkan pelajaran mereka dengan
mengenakan jilbab.[5] Akibat
kebijakan itu, pelajar muslimah di Perancis sampai diusir dari sekolahnya
karena berjilbab. Terdapat juga pelajar yang diusir karena tidak mau melepaskan
jilbab dan menggunakan celana pendek ketika berolahraga. Alasan yang digunakan
adalah karena olahraga mengharuskan memakai pakaian yang membuat leluasa dalam
bergerak.[6]
Peristiwa pengusiran siswa tersebut
akhirnya memicu gelombang demonstrasi yang besar-besaran dari umat Islam di
Prancis untuk menuntut kebebasan. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan
kebijaksanaan pada 2 November 1992 yang memperbolehkan para siswi muslimah
untuk mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Meski demikian, bukan berarti
gerakan anti jilbab berakhir. Pada akhir tahun 2002, seorang pekerja wanita
muslim bernama Dalila Tahiri, dipecat perusahaan tempatnya bekerja lantaran
menolak menanggalkan jilbab yang dikenakannya saat bekerja. Padahal dirinya
telah bekerja ditempat tersebut selama 8 tahun. Selama itu pula jilbab yang
dikenakannya tidak menimbulkan masalah apapun, baik dalam kualitas pekerjaannya
ataupun hubungan baiknya dengan sesama pekerja. Kebijakan yang secara tiba-tiba
diterapkan oleh perusahannya itu dipicu oleh tragedi 11 September yang
mengguncang Amerika Serikat tahun 2001.[7]
Tidak hanya itu, bahkan seorang anggota tim
juri pengadilan kota Bubini, Paris, telah dipecat dari pekerjaannya atas
perintah Jaksa Agung Perancis hanya karena muslimah tersebut mengenakan jilbab.
Di tahun 2004, Pemerintah Perancis
yang melakukan tindakan yang lebih mengejutkan. Presiden dan Perdana
Menterinya, Jacques Chirac dan Jean-Pierre Raffarin, berusaha melancarkan
serangan terhadap jilbab dan simbol-simbol keagamaan seperti salib dan topi
Yahudi dengan menggunakan undang-undang yang melarang pemakaian simbol-simbol
keagamaan di sekolah dan di kampus. Undang-undang ini dikeluarkan dengan alasan
menjaga kesekuleran Perancis. Undang-Undamg ini disahkan pada 10 Februari 2004
dengan disetujui 494 anggota parlemen dan ditolak oleh 39 anggota parlemen.
Kebijakan Perancis ini mendapat kecaman luas dari dunia Internasional.
Kasus terbaru adalah pelarangan
burqa, yaitu pakaian yang menutupi seluruh tubuh muslim, termasuk wajah. Undang-undang
ini disahkan pada tanggal 13 Juli 2010 dan didukung oleh 336 anggota parlemen,
serta hanya 1 orang yang menentangnya. Kebijakan itu diambil karena jilbab
dengan penutup wajah tidak wajib dalam Islam dan tidak sesuai dengan nilai
budaya yang ada di Perancis. Larangan tersebut melarang siapa saja menutupi
wajah mereka di tempat publik, seperti di gedung-gedung pemerintah dan
transportasi publik, serta tempat-tempat umum, seperti jalanan, pasar dan
jalan-jalan ramai, tempat-tempat bisnis dan hiburan.[8]
Bahkan Ketua Kelompok Hak-Hak Wanita Perancis Ni Putes Ni Soumises, Sihem
Habchi, mengatakan bahwa jilbab seluruh wajah adalah bendera sebuah ideologi
sektarian. Sungguh ini lebih terlihat sebagai upaya rasisme daripada memurnikan
sekularisme.
Undang-undang ini ternyata tidak
main-main sebab tersedia hukuman yang diterima bagi wanita yang tetap memaksa
memakai burqa, yaitu didenda 150 euro atau wajib berpartisipasi dalam pelajaran
kewarganegaraan. Sementara orang yang memaksa seorang wanita untuk menutup
wajahnya dihukum selama satu tahun penjara dan denda 30.000 euro. Namun,
undang-undang ini tidak diberlakukan untuk menutup wajah dalam kegiatan
festival dan acara seni.[9]
Akan tetapi yang lebih mengejutkan
adalah fakta bahwa wanita muslimah yang memakai burqa di Perancis jumlahnya
hanya sekitar 2.000 orang.[10]
Sungguh hal yang sangat aneh bahwa peraturan selevel undang-undang hanya
digunakan untuk mengatur atau mengendalikan suatu kelompok minoritas yang
jumlahnya pun kecil. Seakan-akan terlihat bahwa pemerintah Perancis merasa
ketakutan dengan hanya 2.000 orang muslim yang menggunakan burqa. Padahal
mereka juga bukan kelompok berbahaya yang mengancam eksistensi Perancis maupun
stabilitas keamanan Perancis. Mereka bukanlah teroris, pengedar narkoba, maupun
kelompok propagandais, mereka hanya orang yang setia menjalankan apa yang
diyakininya benar, nyaman, dan bermanfaat bagi dirinya.
Suatu kebijakan yang benar-benar
berlebihan atau mungkin sebuah kebijakan yang memang berusaha menyingkirkan
suatu kelompok identitas yang ada. Sejujurnya, jumlah mereka yang sangat
sedikit ini tetap tidak akan mampu mengubah image
Perancis yang sekuler menjadi negara agama. Tidak hanya kebijakan yang
berlebihan, tetapi kebijakan yang aneh. Suatu negara hingga sedemikian rupa
mengatur tata cara berpakaian warga negaranya. Padahal jika dicermati, cara
berpakaian mereka tidak menimbulkan masalah apapun, hanya orang Perancis saja
tidak terbiasa melihatnya. Bandingkan dengan budaya Perancis yang selalu
berpakaian terbuka, bahkan menjadi model telanjang tidak dilarang. Bukan hanya
mengundang kerusakan moral cara berpakaian yang seperti itu, tapi meningkatkan
kriminalitas dengan maraknya pemerkosaan.
C.
Pelarangan
jilbab dan burqa ditinjau dari dari nilai-nilai hak azasi manusia.
Jilbab adalah sejenis baju kurung
yang lapang yang menutup kepala, leher, dan dada. Sementara burqa adalah
pakaian yang menutupi tubuh dari kepala hingga ujung kaki, hanya menyisakan
celah sedikit di sekitar mata. Di atas telah dijelaskan bahwa jilbab merupakan bagian
dari agama Islam dan wajib dikenakan bagi wanita muslimah. Sementara penggunaan
burqa juga merupakan keyakinan dari penggunanya untuk lebih menjaga diri
mereka, termasuk dari fitnah. Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan
salah satu hak dasar yang dilindungi dalam kerangka hak-hak azasi manusia.
Lindholm dkk. mengatakan bahwa kebebasan
beragama atau berkeyakinan, di masa sekarang dapat diartikan sebagai suatu hak
asasi manusia yang berlaku secara universal yang tercakup dalam
instrument-instrumen hak asasi manusia internasional.[11]
Secara normatif, kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan suatu hak
fundamental yang paling penting. Hak in muncul dari dari sisa-sisa perang dunia
II, hak ini telah diartikulasikan secara tegas dalam pasal 18 baik Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia maupun Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik. Individu-individu semua manusia di muka bumi adalah pemegang utama dan
penerima kebebasan ini. Peraturan-peraturan lain mengenai hak azasi manusia
tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat dalam Deklarasi 1981,
Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dan Kebebasan-Kebebasan
Fundamental, Konvensi Amerika tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Dokumen Penutup
Pertemuan Vienna bagi Perwakilan GSCE (khusunya pasal 16 dan 17). Komentar Umum
No. 22 (48) Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan
substansi normative bagi Pasal 18 ICCPR.[12]
Secara singkat, inti normatif dari
hak azasi manusia atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disingkat
menjadi delapan elemen, yaitu sebagai berikut:[13]
- Kebebasan internal
Setiap orang bebas atas kebebasan berpikir,
berkesadaran dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang
memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.
- Kebebasan ekternal
Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau
bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah, dan
penaatan.
- Tanpa dipaksa
Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu
kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai
pilihannya.
- Tanpa diskriminasi
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin
hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada di dalam
wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan
beragama, atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain,
kebangsan atau asal-usul lainnya.
- Hak orang tua dan wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan
orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka
sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama
atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang
berkembang.
- Kebebasan korporat dan kedudukan hukum
Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan
beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri.
- Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal
Kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan yang diperlukan untuk
melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak
mendasar orang lain.
- Tidak dapat dikurangi
Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama
atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.
Dengan memperhatikan point-point
pada ketentuan di atas, maka pelarangan Perancis atas penggunaan jilbab atau
burqa di tempat umum jelas melanggar point kedua karena merenggut kebebasannya
untuk melaksanakan keyakinannya di tempat umum. Selain itu juga melanggar point
ke-6 karena masalah berpakaian sebenarnya merupakan masalah otonomi individu.
Pemerintah tidak berhak mencampuri urusan yang berada dalam kewenangan individu
selama individu tersebut tidak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain atau
lingkungannya. Adanya denda dan hukuman bagi seseorang yang menyuruh
menggunakan burqa jelas melanggar point ke-5 tentang hak orang tua atau wali
untuk mendidik anak mereka sendiri sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
Dalam hal ini pemerintah Perancis
juga tidak bisa menggunakan point ke-7 untuk melegalkan kebijakan pelarangan
burqa karena penggunaan burqa sama sekali tidak mengganggu keamanan publik, ketertiban,
kesehatan, moral, atau hak-hak dasar orang lain. Konsekuensi penggunaan burqa
hanya berdampak pada dirinya sendiri. Pemakai burqa bukanlah seorang teroris,
pengedar narkoba, atau propagandais yang keberadaannya patut dikhawatirkan. Pembesar-besaran
masalah burqa oleh pemerintah Perancis dan media setempat justru yang
mengucilkan muslimah pemakai burqa dari lingkungannya hingga membatasi haknya.
Pelarangan jilbab, simbol-simbol
keagamaan, dan burqa justru mencederai prinsip-prinsip yang terdapat dalam Revolusi
Perancis itu sendiri, yaitu Liberte (kebebasan), Egalite
(kesetaraan), dan Fraternity (persaudaraan).[14]
Dengan adanya pelarangan-pelarangan itu, patut kita pertanyakan di manakah letak
kebebasan dan kesetaraan itu sekarang? Perancis adalah sebuah negara demokrasi
yang besar, di mana revolusinya mempengaruhi revolusi-revolusi di tempat lain
dan prinsip-prinsip revolusinya menjadi dasar dalam pembahasan mengenai hak
azasi manusia, tetapi mengapa kebebasan individu harus dikebiri sedemikian rupa
hanya untuk menjaga image Perancis sebagai negara sekuler?
Kasus Perancis mengilustrasikan
bagaimana sekularisme sebenarnya bisa dimunculkan sebagai ide mengenai budaya nasional
yang hegemonik. Sayangnya hal itu dilakukan dengan meminggirkan
identitas-identitas lainnya. Peminggiran individu atau kelompok tertentu dari tatanan
masyarakat karena alasan nasionalisme, ideologi, sekuler, atau agama akan selalu
tidak memuaskan. Sekularisme sebagai pemisahan agama dan negara dicirikan
dengan satu batasan, yaitu ia membatasi isi normatifnya pada batas minimum bila
ingin mencapai tujuannya untuk melindungi pluralisme politik maupun budaya dalam
masyarakat yang heterogen. Negara harus mengurangi untuk melegitimasi dirinya
sebagai organ yang universal yang mampu bergerak tanpa adanya batasan moral
apapun.[15]
Menciptakan suatu masyarakat yang universal di negara yang sekuler tidak harus
dengan meminggirkan identitas-udentitas agama yang berkembang. Agama tetap
berjalan memainkan perannya. Sementara, negara juga punya peran sendiri dan tidak
perlu turut serta mengenai identitas-identitas keagamaan.
D.
Reaksi
organisasi internasional terhadap kebijakan Perancis.
Dewan Eropa mengambil sikap yang menentang
larangan penuh atas penggunaan burka atau niqab di tempat umum, seperti telah
berlaku di Perancis, Belgia dan Spanyol dikarenakan larangan tersebut telah melanggar
hak-hak dasar perempuan yang ingin menutupi wajahnya. Namun, Dewan Eropa juga
mengingatkan jika penggunaan burka dan niqab dapat dilarang apabila
membahayakan keamanan publik atau jika pekerjaannya mengharuskan perempuan
memperlihatkan wajah mereka. Sayangnya, Dewan Eropa maupun badan pengawas
hak-hak asasi manusia Eropa tidak bisa mengeluarkan peraturan apapun yang
mengikat tentang undang undang nasional.[16]
Sementara, Organisasi Hak Asasi Manusia Amnesti International menyesalkan
keputusan parlemen Perancis yang mengesahkan undang-undang yang melarang
pemakaian burqa (cadar) di tempat umum. Seorang pakar pada Amnesti dalam urusan
diskriminasi di Eropa, John Dltonien mengatakan bahwa larangan burqa merupakan
pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama bagi
perempuan yang memilih untuk memakainya. Ia menambahkann bahwa larangan itu
akan menjadi hukuman ganda yang dipaksakan bagi mereka yang memakai cadar, karena
larangan itu membatasi keterlibatan mereka dalam masyarakat dan mengharuskannya
untuk tinggal di rumah selamanya.[17]
Pada hakekatnya, biarkanlah masalah berpakaian menjadi masalah yang bersifat
otonom bagi individu-individu. Sangat tidak layak suatu negara mengatur hingga
sedemikian rupa masalah berpakaian warga negaranya. Apalagi permasalahan
tersebut tidak mengancam keamanan nasional, bahkan cenderung mendiskriminasikan
suatu kelompok dan seakan-akan menjadi islamophobia.
BAB III
PENUTUP
Meski Perancis adalah negara demokrasi dan memiliki
prinsip- prinsip yang terkenal dalam Revolusi Perancisnya, yaitu Liberte
(kebebasan), Egalite (kesetaraan), dan Fraternity (persaudaraan),
tidak berarti kebebasan setiap individu mutlak dijamin. Di Perancis kebijakan
individu terutama untuk menggunakan simbol-simbol agama yang merupakan hak
dasar manusia sangat dipasung, terutama bagi kaum muslimah yang mengenakan
jilbab atau burqa yang merupakan bagian dari
perintah agama Islam.
Alasan-alasan yang dikemukakan Perancis terkait
kebijakan-kebijakan yang perlahan meminggirkan suatu entitas agama sangatlah
tidak masuk akal.
Semua dikatakan untuk sekulerisme Perancis padahal apa yang dilakukannya telah
melanggar ketentuan-ketentuan dalam hak-hak azasi manusia terkait dengan hak
dasar, yaitu kebebasam beragama dan berkeyakinan. Bahkan hal ini juga melanggar
konstitusi Perancis sendiri dan melanggar prinsip-prinsip Revolusi Perancis.
Kebijakan pelarangan burqa selain diskriminatif juga
aneh karena hanya ditujukan
untuk 2.000 orang yang menggunakannya. Selain itu, cara berpakaian merupakan
hak otonom individu dan pemerintah tidak perlu mengatur hingga detailnya. Tampak ada
kesan untuk membesar-besarkan permasalahan.
Di negara yang sekuler seharusnya perbedaan agama
maupun budaya tidaklah harus diributkan karena justru akan menambah hegemoni
yang ada. Sementara organisasi-organisasi internasional seperti Dewan Eropa dan
Amnesti Internasional Hak Azasi Manusia tidak dapat berbuat banyak untuk
mencampuri kebijakan dalam negeri Perancis, mereka hanya bias menentang dan
menyesalkan kebijakan Perancis itu.
Referensi Bacaan
[1] Yusuf Al-Qaradhawi.
2004. Larangan Berjilbab: Studi Kasus di Perancis. Terj: Abdul Hayyie Al
Katani. Jakarta:
Gema Insani. Hal. 49
[2] Al-Qur’an. Surat An-Nuur ayat 31
[3] Ibid. Surat Al-Ahzab ayat 59
[4] Husein Muhammad.
2007. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKIS. Hal. 69-71
[5] Anti Jilbab,
Sebuah Konspirasi. http://www2.irib.ir/worldservice/melayuRadio/perempuan/anti_jilbab02.htm diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.
[6] Di Negara Eifel, Pernah Ada Larangan Jilbab. http://www.inioke.com/konten/2593/di-negara-eiffel-dulu-pernah-ada-pelarangan-jilbab.html
diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.
[7] SERANGAN GLOBAL TERHADAP JILBAB. 2007. http://rhisy.blogsome.com
diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.
[8] Pelarangan Burqa Perancis Adalah Legal http://konspirasi.com/peristiwa/pelarangan-burqa-perancis-adalah-legal/ diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.
[9] Parlemen Perancis Resmikan Larangan Jilbab. 2010 http://www.suaramedia.com/berita-dunia/dunia-islam/25358-parlemen-perancis-akhirnya-resmikan-larangan-jilbab.html
diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.
[10] Parlemen Perancis Setujui Larangan Burqa http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5791069,00.html.
diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.
[11] Tore Lindholm , W.
Cole Durham Jr, Bahia G. Tahzib-Lie. 2010.
Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Terj: Rafael Edy Bosko dan
M. Rifa’i Abduh. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 19
[12] Ibid
[13] Ibid hal. 21
[14]Yusuf Al-Qaradhawi.
2004. Larangan Berjilbab: Studi Kasus di Perancis. Terj: Abdul Hayyie Al
Katani. Jakarta:
Gema Insani. Hal. 55
[15] Abdullahi Ahmed
An-Na’im. 2007. Islam dan Negara Sekuler: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Yogyakarta: Mizan. Hal. 276
[16] Kompas, Edisi Kamis, 25 November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar