Selasa, 16 April 2013

Ke Mana Ilmu Kita?



          Orang yang sedang belajar sering diibaratkan dengan menimba ilmu. Kita susah payah sekolah, kuliah, mengikuti majelis taklim / pengajian, maupun mengikuti seminar / kursus. Banyak waktu, tenaga, pikiran, serta biaya yang kita keluarkan untuk mendapatkan ilmu atau memperdalam ilmu. 

Ibarat orang menimba air, kita telah berjalan jauh membawa ember kosong kemudian kita turunkan timba dan menariknya pelan-pelan disertai dengan cucuran keringat karena dalam dan berat. Kita lakukan itu berulang-ulang hingga semua ember yang kita bawa terisi penuh. Apabila bak ataupun gentong di rumah kita masih belum penuh, kita pun menimba lagi.

 Dalam belajar menuntut ilmu tidaklah mudah. Ingat berapa kali ada hambatan maupun kesulitan yang kita hadapi sehingga membuat kita marah, kesal, resah, maupun khawatir. Hujan dan sakit sering menjadi bumbu cerita. Hingga akhirnya kita bisa menggenapkan ilmu kita dan lulus. Semua jerih payah kita juga tidak akan menjadi sia-sia karena Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu seperti dalam firman-Nya:

“Allah akan meninggikan (mengangkat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” (QS 58 : 11)

            Dunia kerja berbeda dengan dunia kuliah ataupun sekolah. Semua orang setuju akan ini. Dalam bekerja sering tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang kita pelajari. Banyak orang yang tidak mempermasalahkannya. Tapi sering kita lupa nilai-nilai dasar ketika bekerja. Nilai-nilai yang mungkin ditanamkan manakala kita masih SD. Hal yang sangat sederhana yang sulit dilakukan oleh orang dewasa. Misalnya kejujuran, disiplin, ketaatan, kerajinan, tenggang rasa, saling menghormati, dan sebagainya. 

            Di tingkat sekolah yang lebih tinggi, apalagi jika kita memperdalam ilmu agama. Mempelajari banyak hal-hal yang nampak sederhana namun sebenarnya tidak sederhana karena membawa konsekuensi besar. Misalnya mengambil atau memakan yang bukan hak kita, konsekuensinya doa dan amalan kita lainnya akan kita tergadai alias sulit dikabulkan sebagaimana disampaikan hadits berikut:

”Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan,’Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?” ( HR. Muslim)

”Ketahuilah, bahwa suapan haram jika masuk dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari.” (HR. At Thabrani).


Sudah sangat jelas besarnya resiko yang akan kita tanggung manakala kita makan dengan makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal. Bayangkan doa dan amalan kita lainnya tidak diterima, bagaimana mungkin kita bisa melanjutkan hidup saat doa kita sudah tidak dikabulkan?

Namun oleh sebagian kalangan, mengambil sedikit yang bukan haknya acap kali dinilai wajar. Entah itu dinamakan uang bensin, uang capek, uang terima kasih atau apalah. Mungkin sudah banyak orang yang masa bodoh dengan peraturan maupun masalah agama. Yang dipikirkan bukan lagi masalah benar atau salah, boleh atau tidak boleh tapi bagaimana mendapatkan yang lebih dan lebih dari haknya meskipun haknya juga telah terpenuhi.

            Mereka yang bertindak demikian bukan berarti mereka tidak tahu atau tidak punya ilmu, namun entah ditaruh di mana ilmu mereka. Begitu pula dengan agama mereka, apakah tetap dipelihara dalam hati, pikiran, dan tindakan atau hanya tinggal tersurat di KTP saja. 

            Kita susah payah menimba ilmu, apakah akan kita biarkan ilmu kita tumpah berceceran di pinggir jalan? Ataukah kita tinggalkan begitu saja ember ilmu kita di sumur tempat kita menimba tanpa membawanya pulang? Atau justru terang-terangan kita buang ilmu kita karena kita merasa sudah kadaluwarsa? 

Yang sebenarnya harus dicermati apakah kita orang yang berilmu bertindak sama dengan orang yang tidak punya ilmu? Lalu apa bedanya kita dengan orang yang tidak punya ilmu? Apakah orang yang telah diberikan hidayah dan tahu agama bertindak sama dengan orang atheis yang tidak mengenal agama? Apakah seorang sarjana memiliki cara berpikir dan bertindak sama dengan lulusan SMP atau SMA?

Jika memang demikian, mengapa kita harus sekolah tinggi-tinggi, mendatangi majelis taklim atau pengajian jika setelah kita kembali tidak ada bedanya dengan sebelum kita pergi. Padahal ancaman terhadap orang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya sangatlah besar seperti dalam kedua hadits berikut:

“Seorang alim (berpengetahuan) yang tidak beramal (mengamalkan ilmunya) seperti lampu yang membakar dirinya sendiri” (HR Ad-Dailami)

“Orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat ialah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya” (HR Al-Baihaqi)

            Meskipun konsekuensinya sangat besar apabila kita tidak mengamalkan ilmu kita, tapi masih banyak orang yang mengabaikannya. Mereka seperti punya dalil sendiri yang diberi nama fleksibel, wajar, dan biasa. Fleksibel, wajar, biasa adalah kata-kata ambigu yang tidak pernah memiliki definisi maupun batasan yang jelas. Sampai mana orang dikatakan fleksibel atau wajar? Sampai mana orang dikatakan aneh ataupun kaku? Itu semua merupakan kata-kata yang berada dalam lingkaran abu-abu. Dengan kata lain mentolerir hal yang salah menjadi kebenaran bersama dan diturunkan secara turun temurun.

Pikiran saya tetap sulit menerima ini. Yang saya takutkan bukan pada hal yang bersifat keduniawian melainkan lebih kepada tanggung jawab kepada Yang di Atas. Kita mengetahui hal yang salah tetapi kita tetap melakukan hal yang salah. 

Lalu apa gunanya kita mempunyai ilmu untuk mengetahui mana yang benar dengan mana yang salah. Apa hal ini juga yang nanti kita ajarkan ke anak-anak kita? Apakah kita bangga menjadi orang yang bergelimang harta tapi tidak semuanya halal? Apa ini juga yang kita mau dari anak-anak kita kelak? Apakah kita bangga dan senang memberikan makanan, pakaian, dan mainan kepada istri dan anak kita dengan uang yang abu-abu? Bukankah dengan begitu kita telah menjerumuskan mereka, mengajak mereka kepada hal yang dimurkai Allah.

            Kalau kita membeli barang dan barang tersebut kemudian tidak berfungsi pasti kita akan membawanya ke toko di mana kita beli dan meminta ganti dengan yang baru atau meminta ganti rugi. Pernah tidak terlintas dalam pikiran kita jika kita menjadi barang yang tidak berfungsi? Menjadi seorang anak yang jauh dari harapan orang tua? Pernahkah kita berpikir betapa kecewanya mereka yang mungkin lebih besar dibandingkan dengan kecewanya kita membeli produk gagal?

Jika barang bisa diganti tetapi jika kita telah telanjur mengecewakan orang tua bagaimana? Apakah kita mau minta dimasukkan kembali dalam kandungan dan diganti dengan anak yang sesuai harapan? Tidak mungkin! Lalu apakah kita mau mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan orang tua sejak kita dalam kandungan hingga kita sebesar sekarang?
 
            Ada istilah bahwa ilmu itu lentera kehidupan. Dikatakan demikian karena ilmu dapat menjadi penerang langkah kita sehingga kita bisa memijak di tempat yang benar, bukan tempat yang salah. Namun jika kita telah punya ilmu lalu tetap memilih memijak di tempat yang salah, maka ada di mana ilmu kita? Apa gunanya kita belajar dan punya ilmu? Sebuah tulisan yang saya harap bisa menjadi cermin untuk diri kita.




.



Senin, 08 April 2013

Melawan Pesimis



            Seringkali kita terjebak pada rasa takut ataupun khawatir akan sesuatu yang belum terjadi. Perasaan yang membuat kita menjadi ragu untuk bertindak ataupun melangkah. Misalnya kita takut bepergian manakala langit tampak mendung. Kita takut kehujanan apabila kita bepergian di saat itu juga. Namun apa yang kita rasakan saat hujan ternyata tidak kunjung datang? Sementara waktu kita telah terbuang hanya untuk terdiam menunggu hujan bahkan janji pun sudah telanjur dibatalkan. Dalam hidup selalu ada dua kemungkinan: baik – buruk, positif – negatif, berhasil – gagal, diterima – ditolak, terjadi – tidak terjadi, dan sebagainya. Banyak dari kemungkinan itu yang memerlukan usaha dari kita untuk membuat sesuatu yang sebelumnya kurang mungkin menjadi mungkin. Selain tentu ada kuasa Allah yang bermain dan menentukan segalanya.

Contoh lain adalah saat kita menerima panggilan kerja di luar kota dengan jarak yang jauh serta tidak ada sanak saudara di sana. Apalagi jika itu baru tes awal. Pasti terlintas di benak kita hitung-hitungan ekonomisnya berbanding peluang diterima atau tidak. Sangat mungkin kita berpikir untuk melepas peluang pekerjaan tersebut manakala dirasa biaya yang harus dikeluarkan terlampau besar. Ada semacam ketakutan bahwa nominal besar yang kita keluarkan akan menjadi sia-sia apabila dalam tes nanti gagal. Namun ada juga yang tetap berani mencoba meskipun dia harus bertaruh sangat besar. Ini merupakan pilihan masing-masing.

Saya menulis ini bukan untuk mengajarkan ataupun menasehati apalagi menyombongkan diri. Saya yakin teman-teman sudah mengerti bahkan mungkin lebih berpengalaman dalam hal mengelola sebuah peluang. Di sini saya hanya ingin berbagi sedikit cerita mengenai pengalaman saya. Harapannya bisa lebih memotivasi teman-teman. Meski cerita motivasi telah banyak beredar di pasaran, tapi saya jamin cerita saya akan terasa exclusive. Hwakaka... udah kayak promosi produk atau acara tv aja...


*****

Pertengahan Januari lalu saya resign dari pekerjaan saya. Pasca resign, yang ada di pikiran saya adalah bagaimana secara cepat mendapatkan pekerjaan pengganti yang lebih baik. Ada lowongan di koran dan internet yang sekiranya kualifikasi saya memenuhi langsung saya apply. Ajakan untuk ikut Job Fair dari teman-teman juga saya iyakan meski dalam hati saya sudah malas mengikuti acara seperti ini. Entah sudah berapa kali Job Fair saya ikuti namun tak pernah membuahkan hasil. Justru 3 kali saya mendapatkan pekerjaan bukan melalui Job Fair. Setelah dua kali Job Fair di Semarang belum memecahkan kutukan, saya pun berikrar layaknya Mahapatih Gadjah Mada. “Job Fair UGM adalah Job Fair terakhir yang saya ikuti. Apabila tidak membuahkan hasil juga, saya tidak akan mengikuti Job Fair lagi dan memilih mencari kerja dengan cara lain atau berwirausaha”, begitu ikrar saya kepada beberapa teman saya yang hanya mendapatkan tanggapan es batu alias dingin-dingin ajah.

Hingga hari yang ditentukan tiba. Kami berangkat mengikuti Job Fair UGM. Namun karena saya tidak mendapat panggilan untuk hari pertama pasca Job Fair, saya pun pulang Semarang. Kebetulan di Semarang juga ada tes dari sebuah bank berlabel BUMN meski secara hati saya kurang tertarik apalagi posisinya juga tidak saya minati. Namun teror umur dan teror situasi membuat saya tetap mengikuti tes tersebut. Tak lama berselang ada panggilan tes di Jogja dari sebuah perusahan rokok yang sudah ternama. Harapan sempat melambung tinggi manakala penempatan di Semarang dan hanya menyisakan tes kesehatan yang belum dijalani. Seminggu terlewati tidak ada kabar. Saya pun harus ikhlas untuk tidak memikirkannya lagi. Harapan yang tersisa tinggal dari bank BUMN di mana saya sudah lolos dari tahap awal.

Saat di rasa Job Fair Jogja sudah tidak menyisakan harapan buat saya. Tiba-tiba pada hari Jum’at pukul setengah sembilan malam HP saya berdering dan menampakkan nomor Jakarta. Nomor siapakah gerangan? Mungkinkah panggilan tes? Harap-harap cemas saya terjawab saat saya angkat.

Dinar: “Selamat malam. Dengan mas Huda Rahadian?
Saya: “Iya benar.”
Dinar: “Saya Dinar dari TV (menyebut salah satu tv nasional). Kami mengundang Anda untuk interview dan psikotest pada besok senin di kantor kami di jalan xxx Jakarta. Bisa?
Saya: “Bisa”, jawab saya tanpa pikir panjang.
Dinar: “Bawa pensil HB yaa...”
Saya: “Iyaa Bu...”

            Segera hal ini saya sampaikan kepada orang tua saya. Mereka senang tapi mereka juga menanyakan bagaimana seandainya saya dipanggil dari perusahaan rokok? Saya katakan bahwa kemungkinan itu kecil. Lalu bagaimana dengan bank X yang sudah ketahuan jadwal tes lanjutannya di mana hanya berselang dua hari usai dari tes di tv? Saya katakan bahwa saya memang ingin kerja di media. Apalagi ini skalanya nasional. Sementara jika kerja di bank hati saya pasti sulit untuk merasa nyaman karena memang saya agak anti dengan bank.

 Jujur yang semakin menambah kuat keinginan saya kerja di media adalah dari teman-teman dekat saya. Rudy dan Yuda beberapa hari sebelum Job Fair datang ke rumah saya dan mendorong serta menyarankan agar sebaiknya saya kerja di media. Menurut mereka saya cocok bekerja di situ. Jauh sebelumnya Guruh dan Yuda turut menginformasikan bahwa ada lowongan menulis di majalah gadget dan meminta saya mencobanya karena mereka beranggapan itu tepat untuk saya. Lebih jauh ke belakang Dwi saat berada di Gunung Lawu meminta untuk saya mencoba melamar di media karena dari pandangannya pekerjaan itu sesuai dengan diri saya. Alasan kuat yang mulanya memercikkan keinginan saya kerja di media adalah ketika dua kali tulisan saya dapat masuk ke media cetak skala provinsi.

Kembali ke pasca telepon. Setelah memikirkan masak-masak untung ruginya, termasuk soal biaya dengan orang tua, akhirnya diputuskan untuk memenuhi panggilan tv tadi. Memang saya perlu konsultasi dengan orang tua karena sudah tidak ada biaya. Gaji terakhir saya sudah habis untuk biaya tes di Jakarta dan Bogor seminggu pasca resign. Memang sempat muncul kekhawatiran bahwa kegagalan di Bogor akan terulang dan uang akan melayang begitu saja. Namun tekad yang kuat bisa menepis ketakutan itu. Justru karena mengeluarkan biaya besar, saya harus berupaya bahwa pekerjaan ini harus saya dapatkan. Kasihan biaya yang dikeluarkan orang tua. Malu juga rasanya pulang ke rumah membawa berita kegagalan. Karena pasti bukan itu yang diharapkan orang tua.

Esoknya saya mencari tiket kereta. Niat mencari ekonomi namun ternyata telah habis. Terpaksa membeli ekonomi AC yang harganya berlipat-lipat. Berangkat dari Semarang Sabtu malam tiba di Jakarta Minggu pagi. Segera saya mencari alamat kantornya. Setelah dapat, kemudian saya mencari kos di sekitarnya. Terkejut juga dengan harga kos di Jakarta. Setelah lobi, akhirnya bisa kos untuk seminggu namun dengan harga yang hampir sama dengan harga kos sebulan jika di Semarang. Shock Terapy pertama di ibukota.

Senin saya mengikuti interview dan psikotes. Bubaran psikotest, tiga orang disuruh tinggal dan tiga orang lagi dipulangkan. Saya termasuk ke dalam yang dipulangkan. Semenit kemudian diralat. Saya diminta menunggu dulu di lobby. Selang 10 – 15 menit kemudian, Sabrina staf HCD memberitahu saya bahwa tes lanjutannya tidak dilakukan hari ini dan saya diperbolehkan untuk pulang. Pikiran jelek pun langsung terbit dalam benak saya. Terpaksa esoknya saya pulang dengan lemas dan membawa sekantong rasa malu atas kegagalan. Peluang terakhir saya kini tinggal di bank BUMN.

Kamis saya mengikuti psikotest di Bank BUMN. Setelah itu praktis saya hanya menganggur tidak jelas di rumah. Cemas mulai jadi selimut diri. Bosan tiba-tiba menjadi teman terdekat. Hingga pada hari Senin nomor telepon Jakarta kembali membunyikan HP saya. Tanpa babibu langsung saya angkat. Ternyata dari Dinar lagi, orang yang sudah tega mewawancarai saya. lhoh?! Dia memberitahu saya bahwa jadwal wawancara saya dengan user esok paginya. Serta merta saya tolak dengan alasan sudah di Semarang. Meski sebenarnya ada dua alasan besar. Pertama, capek saya belum hilang. Kedua, saya merasa tidak percaya diri dengan jerawat saya yang lagi panen. Saya berpendapat bahwa saya tidak mungkin menampilkan yang terbaik saat wawancara dengan membawa sekeranjang jerawat. Lantas saya minta dijadwalkan ulang. Dengan harapan capek saya sudah hilang dan jerawat telah berguguran. Dari seberang telepon pun menjawab, “Baik nanti saya jadwalkan ulang dengan user. Nanti akan dihubungi lagi”.

Beberapa menit kemudian saya menyesali keputusan saya menolak wawancara user. Masalah waktu tes yang mepet sebetulnya bukan kendala besar karena tiket kereta bisnis pasti selalu tersedia di hari kerja. Masalah capek sebetulnya juga tidak capek-capek amat. Masalah jerawat, persetan deh dengan jerawat. Toh dulu saya pernah diterima kerja dengan wajah yang berjerawat ketika wawancara HRD dan user meski intensitas jerawatnya lebih sedikit.

Posisi saya di sini mengingatkan saya ketika saya berhenti di tengah-tengah saat mendaki gunung. Tidak ada keindahan yang dapat saya lihat. Tidak ada kepuasan yang saya dapatkan. Hanya rasa letih yang saya dapatkan, disertai kaki lecet, serta biaya yang terbuang sia-sia. Akan sangat berbeda jika saya bisa menyampai puncak seperti teman-teman saya yang lain. Bisa berfoto di atas awan saat sunrise. Upah yang pas untuk membayar semua letih. Pelajaran yang sangat berharga dari gunung untuk ditarik ke kehidupan nyata. Jika saya tidak mengikuti tes user maka semua uang, waktu, dan tenaga saya akan terbuang percuma. Sementara jika saya mengikuti tes user meski harus ada biaya dan tenaga tambahan namun memiliki peluang untuk membawa hasil.

Menyadari telah membuat kesalahan, saya segera menelepon balik Dinar. Namun tidak diangkat. Begitu juga saat saya telepon dengan nomor rumah. Akhirnya saya pun pasrah. Mungkin ini konsekuensi dari menolak sebuah peluang. Benar kata banyak orang bahwa peluang hanya datang sekali, maka mesti dimanfaatkan dengan baik. Kini saya tinggal menggantungkan harapan dari Bank BUMN dan harus bersiap mengubur impian kerja di media.

Namun suatu sore mengubah segalanya. Sekitar pukul setengah empat, Dinar kembali menelepon saya dan menginformasikan bahwa jadwal interview saya dengan user pada hari jumat jam tiga sore dengan Pak Renaldi. Kali ini saya tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Saat ditanya, “Bisa datang?” Tak sampai mata mengedip saya langsung menjawab, “Bisa Bu!”

Jeda waktu sehari cukup untuk mempersiapkan yang dibutuhkan. Tidak terlalu ribet, hanya pakaian pribadi, peralatan mandi, dan berkas sederhana. Tak lupa saya menghubungi Rudy dan Runa yang saat itu menggantikan kos saya. Mereka sedang mengikuti Job Fair UI. Saya salut dengan perjuangan mereka yang begitu gigih mengejar peluang. Setelah mereka ACC saya numpang di kos mereka sehari, saya lantas berburu tiket kereta. Kamis malam saya berangkat ke Jakarta. Di saat bersamaan justru Runa balik ke Semarang. Di dalam kereta saya bertemu dengan seorang yang bekerja di Trans TV. Saya berharap ini pertanda baik. Dia sendiri habis ada acara di Semarang. Akhirnya kami mengobrol banyak mengenai dunia pertelevisian. Mengaduk-aduk dapur televisi.  Setelah Subuh saya langsung meluncur ke kos dan mendapati Rudy seorang diri di pojok kamar.

Tak lama berselang, Rudy pun pergi karena ada acara. Saya pun memilih keluar berjalan-jalan di sekitar kos. Setelah sholat Jum’at, baru saya ke lokasi tes. Wawancara sendiri mulai jam tiga lewat. Cukup lama proses wawancara berlangsung yang kadang harus terhenti karena user ada tamu. Inti dari wawancara sebenarnya hanya pada pertanyaan, “Antara kejujuran dan kepintaran, kamu pilih yang mana?” Saya jawab, “Kejujuran”. Lalu ada seorang bapak yang datang dan hendak menyerahkan sesuatu ke Pak Renaldi. Saat itu kemudian Pak Renaldi berucap, “Ini nanti atasan kamu!” Kemudian saya mengobrol dengan Pak Uli, orang yang dimaksud oleh Pak Renaldi. Saat itu saya tidak mau berpikir macam-macam. Pokoknya sebelum tanda tangan kontrak saya tidak akan berpikir sudah diterima.

Perbincangn selanjutnya adalah antara saya dengan Ibu Neysa yang merupakan Asisten Manager. Setelah dirasa cukup, Bu Neysa mempersilahkan saya pulang. Sebelum pulang saya sempatkan dulu sholat Ashar di masjid kantor. Ternyata selama saya sholat ada banyak telepon dan semuanya nomor Jakarta. Serta merta saya kembali ke lobby dan memang diberitahu untuk menunggu dulu.

Entah pukul setengah enam atau sudah pukul enam, yang jelas langit sudah mulai gelap. Saya diminta masuk ke ruangan HCD menemui Ibu Lia yang merupakan Manager HCD. Di sana disampaikan semua hak-hak yang akan saya peroleh. Kemudian dijadwalkan tanda tangan kontrak pada hari senin dan aktif bekerja pada hari selasa. Alhamdulillah, saya sujud syukur. Nyaris saja saya menyia-nyiakan peluang bekerja di sini. Nyaris saya mengubur impian kerja di media. Nyaris saya terjebak dan terbelenggu pikiran-pikiran negatif saya. Akhirnya semua letih terbayarkan dan tidak kembali ke rumah dengan membawa berita kegagalan.

Sampai tulisan ini saya tulis, sebenarnya saya masih terus belajar dan berjuang. Bagaimana dapat bekerja dengan baik dan membuat pekerjaan itu menyenangkan. Saya sendiri tidak tahu sampai kapan saya ada di sini, maklum kontrak. Tapi yang pasti, saya bersyukur bisa ada di sini dan ingin menimba ilmu yang banyak selagi di sini dengan tidak melupakan asa untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Penting bagi kita untuk memelihara harapan. Karena dari situlah kita menemukan energi untuk melangkah ke depan.

Secara keseluruhan, inti dari cerita ini kembali pada filosofi mendaki gunung. Teruslah berusaha sampai ke puncak meskipun sulit. Jika berhenti di tengah-tengah hanya akan mendapatkan letih dan tidak akan pernah mendapatkan kepuasan seperti berada di puncak gunung, berada di atas awan. Jalan untuk mendaki tidak mudah tapi bukan berarti tidak bisa dilewati karena banyak orang yang telah berhasil. Hanya tinggal diri kita mau mencoba atau tidak? Mau berusaha jalan atau tidak? Semua kesulitan akan mendapatkan jawabannya saat kita telah berjalan. Bukan pada saat kita belum jalan. Kita bisa memilih jalan yang lebih enak, menghindari semak belukar, menghindari tanah pinggiran tebing yang labil, berpegang pada dahan pohon. Semua itu jawaban atas pertanyaan di benak kita mengenai sulitnya mendaki kuning. Jangan takut mencoba dan berusaha! Inilah hidup!


Special thanks to My Best Friends: Rudy, Runa, Ian, Guruh, Yuda, Dwi, Wahyu, Ryan