Selasa, 28 Oktober 2014

Mereka yang Tetap Ada



            Satu lagi kisah haru di perantauan kutulis agar tidak terkikis oleh waktu. Sebuah kisah di penghujung Mei. Kisah yang menguji persahabatan. Kisah tentang kebaikan mereka yang tetap ada saat aku terpuruk. Kisah yang akan aku ingat selamanya. Sengaja aku tulis waktu Hari Raya Idul Qurban untuk mengenang pengorbanan teman-temanku demi aku. Kalaupun pada akhirnya ini diposting sekarang, itu karena ada kendala. Kendala menyelesaikan laporan dulu. Hahaha.

         Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Sebagian dari kita telah meninggalkan ruangan kantor. Maklum, itu adalah hari Jumat. Hari di mana sebagian besar karyawan mengakhiri kerjanya dalam seminggu.

           Meninggalkan ruangan tak berarti langsung pulang ke rumah atau kos masing-masing. Tak sedikit yang memilih nongkrong dulu di lobi atau di warung kopi. Menikmati waktu-waktu yang tersisa sebelum libur di esok hari.

         Aku yang semula di ruangan pun menyusul ke depan. Ke warung kopi tepatnya. Warung kopi sederhana dengan sebuah gerobak dan tenda kecil yang disokong dua bilah bambu. Di bawahnya ada bangku panjang untuk para penikmat kopi.

Di sana telah ada Adit, Edi, Lini, Indah, Daus, dan Nendar. Masing-masing menceritakan tentang rencana mengisi akhir pekannya. Aku pun menyimaknya dengan sesekali melontarkan tanggapan atau pertanyaan. Lama nongkrong, tenggorokanku pun merasakan haus. Akhirnya, aku memesan segelas white coffee kepada pemilik warung. Kami pun kembali mengobrol. Tak lama kemudian, pesananku telah jadi. Aku hendak langsung meminumnya, tapi urung karena masih panas. Kutiuplah gelas itu dan tiba-tiba HP-ku berdering. Kuletakkan gelas itu di meja dan kuangkat HP-ku. Ternyata telepon dari rumah.

Aku:    “Halo, Assalamu’alaikum.”
Ibu:     “Wa’alaikumsalam, Aan?”
Aku:    “Iya Bu, ada apa?”
Ibu:      “Kamu di mana?”
Aku:    “Masih di kantor. Baru saja selesai kerja. Ada apa Bu?”
Ibu:      “Baik-baik saja kan?”
Aku:    “Iya, baik-baik saja kok. Ibu bagaimana?”
Ibu:   “Tadi ada orang telepon. Mengakunya itu kamu. Suaranya mirip sekali suaramu. Katanya kamu menabrak orang. Yang satu meninggal, yang satu di rumah sakit. Terus minta uang untuk mengurus polisi, rumah sakit, sama pemakaman.”

Suara Ibuku mulai terdengar parau dan sedikit terisak.

Aku:    “Minta uang berapa? Dikasih?”
Ibu:     “xx juta. Iya, sudah telanjur dikasih. Soalnya suaranya mirip sekali suaramu An.”
Aku:    “Haduuuuh.... Mengapa langsung dikasih?! Mengapa tidak telepon aku dulu?!

Aku pun mulai emosional. Berteriak-teriak di depan gerbang kantorku. Tanganku menghentak-hentak. Begitu pula dengan kakiku. Sesekali tanganku mengacak-acak rambutku. Duduk, jongkok, dan berdiri lagi. Tak mempedulikan gerimis yang menyiramku. Bahkan Satpam kantor sampai menegurku agar aku masuk ke dalam kantor saja tapi aku menampiknya.

Ibu:      “Dia bilang HP-mu disita untuk jaminan.”
Aku:    “Haduuuh....”

Aku mulai tak bisa berkata-kata lagi. Mataku berkaca-kaca. Menyadari tak bisa menjaga keluargaku. Di sisi lain amarahku memuncak. Ingin rasanya menghajar hingga babak belur orang yang tega menipu orang tuaku. Terselip juga kecewa pada orang tuaku. Mengapa mudah sekali ditipu. Padahal mereka juga sudah sering mendengar modus penipuan seperti ini. Namun tak mungkin juga aku memarahi mereka.

Aku:    “Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Nanti kita urus ke polisi.”
Ibu:      “Tidak usah An. Ibu malu kalau nanti jadi ramai.”
Aku:    “Kita harus lapor ke polisi Bu! Aku nggak terima orang tuaku diperlakukan seperti ini!”
Ibu:     “Ya sudah. Hati-hati nanti kalau pulang.”

           Aku pun kembali ke teman-temanku di warung kopi dengan langkah yang gontai. Mereka menatapku dengan tatapan penuh keheranan. Lalu serempak mereka menanyakan apa yang terjadi denganku? Mengapa raut mukaku berubah 180 derajat setelah menerima telepon? Aku pun hanya menjawab singkat bahwa keluargaku terkena musibah.

         Mereka terus merayuku agar aku mau bercerita detailnya. Akhirnya aku pun menceritakan sebagian dari informasi yang kudapat dari telepon tadi. Tak mungkin aku menceritakan semuanya.

          Meski aku hanya menceritakan sebagian, emosiku kembali terguncang. Entah refleks atau apa, tanganku tiba-tiba memukul bambu penyangga tenda kopi. Tentu dengan tenaga ala kadarnya sebab jika sungguhan tentu akan roboh.

“Sabar An”, kata Lini lirih dengan tatapan yang meneduhkan.

          Sebuah kata normatif, namun di situasi seperti ini akan terasa sangat bermakna. Mengompres suasana hati yang sedang bergejolak. Adit dan Edi kemudian mendekatiku. Mereka meminta agar aku tenang dulu lalu menceritakan semua pelan-pelan.

        Belum sempat aku bercerita, justru Adit yang bercerita padaku bahwa adeganku ketika telepon ditonton Pak Uli, bos kami.

Aku:    Emang tadi aku kelihatan lebay banget yaa?”
Adit:    “Iya, mantap banget dah aktingmu tadi. Udah kayak di sinetron-sinetron.”
Aku:    “Terus dia bilang apa?”
Adit:    “Itu Aan kenapa? Kok telepon sambil hujan-hujanan? Nanti sakit. Suruh ke sini aja!”
Aku:    “Terus?”
Adit:    Nggak tahu Pak, tadi dapat telepon terus gitu.”
Aku:    “Sekarang dia pulang?”
Adit:    “Iya, pulang.”

            Sejenak aku terdiam. Tak tahu harus melakukan apa. Aku masih shock dengan apa yang baru saja kudengar. Namun tiba-tiba tersirat sesuatu di dalam pikiranku.

 Aku lalu bertanya pada Edi dan Adit apa mereka mnyimpan nomor telepon petinggi POLRI yang menjadi narasumber? Keduanya menjawab tidak. Lalu aku bertanya pada Indah yang merupakan admin kami. Mungkin saja dia menyimpan nomor telepon narasumber karena sering memeriksa laporan. Indah pun menjawab bahwa nomor telepon narasumber kemungkinan ada di komputer Ratih, mantan admin kami. Aku pun lantas bergegas kembali ke ruangan UPM.

         Mencari nomor telepon petinggi POLRI sengaja aku lakukan untuk antisipasi jika nanti dipersulit ketika membuat laporan ke polisi. Aku pun nanti juga akan mengenakan seragam saat lapor. Biasanya polisi segan dengan awak media.

 Setiba di ruangan, aku langsung mencari file yang dimaksud di bekas komputer Ratih. Alhamdulilah ada nomor teleponnya dan langsung aku simpan di HP. Tak lama kemudian Adit, Edi, Indah, dan Lini menyusulku masuk ke ruangan.

Adit:    “Ada nomornya?” tanya Adit usai membuka pintu.
Aku:    “Iya, ada.” jawabku singkat.

          Mereka kemudian kembali mencecarku dengan pertanyaan mengenai apa yang baru saja menimpa keluargaku. Namun aku masih menjawab seperlunya. Tapi dari sinilah rangkaian kisah mengharukan itu dimulai. Aku jadi melihat sisi lain dari teman-temanku yang selama ini jarang ditampakkan ketika di kantor.

Adit:    “Kena berapa cuy? Itu modusnya kayak yang dialami tanteku.”
Aku:    “Ah... sudahlah.”
Adit:    “Eh berapa? 5 juta ada? 10 juta ada?”

            Aku hanya terdiam ketika ditanya nominal oleh Adit. Tidak mengiyakan tetapi juga tidak menampik. Aku sendiri kaget dengan nominal yang tadi disebutkan oleh Ibuku dan aku tidak ingin teman-temanku juga ikut kaget. Menurutku nominalnya terlalu besar, sangat besar. Biar aku, keluargaku, polisi, dan Tuhan saja yang tahu.

Aku:   “Aku nggak habis pikir, kenapa orang tuaku bisa tertipu ya? Padahal sudah sering mendengar modus yang seperti itu.”
Adit:   “Itu namanya musibah bro. Nggak bisa disalahkan”
Aku:  “Iya sih. Pokoknya aku harus kejar pelakunya! Aku nggak terima orang tuaku diperlakukan seperti itu!”
Edi:    “Wajar... wajar... namanya anak.”

          Edi mencoba memberi pembenaran atas sikapku yang masih terbalut emosi. Sisi dewasanya terlihat. Memang dia paling dewasa diantara kami berlima karena cuma dia yang telah berkeluarga.

Lini:    “Sabar An, sabar. Namanya musibah. Tapi Ibu kamu nggak apa-apa kan?”
Aku:   “Alhamdulillah, nggak apa-apa.”
Lini:    “Setiap peristiwa ada hikmahnya. Uang bisa dicari, tapi kalau nyawa? Untung Ibu Aan nggak diapa-apakan.”
Aku:    “Iya, benar Lin.”
Edi:     “Wah. Itu kalau kata-katanya ada bandrolnya, aku beli.”

      Aku, Edi, dan Adit terbelalak memandang Lini dengan kata-katanya yang baru saja diucapkan. Adit bahkan sampai geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Edi masih terpaku memandang Lini sambil menebar senyum tipisnya dengan posisi kepala dimiringkan. Aku pun dengan senyum kecil namun tak bisa menolak untuk tidak terkesima dengan kata-katanya barusan.

Tidak ada yang menyangka jika Lini yang selama ini cenderung pendiam di kantor bisa mengeluarkan kata-kata bijak seperti itu. Selama ini Lini hanya memanggil anak-anak UPM untuk dua alasan. Pertama, menagih laporan. Kedua, memberikan rembesan. Namun malam itu dia menjelma menjadi sosok yang beda. Seolah ada sayap yang muncul dari punggungnya hingga kata-katanya dan tindak-tanduknya bagaikan malaikat.

          Aku lalu minta tolong Lini untuk mencarikan tiket pesawat buat ke Semarang esok harinya. Aku minta yang dari Halim saja. Dia lantas mengutak-atik komputernya dengan sedikit bantuanku untuk menyebutkan identitasku. Akhirnya sebuah tiket Citilink berhasil dicetak berikut cara pembayarannya.

           Tiba-tiba Irman datang. Dengan senyum tersungging di bibirnya karena melihat Lini dan Indah masih di ruangan. Dia pun berujar dengan percaya dirinya, “Wah, masih pada di kantor nih? Nanti gaji kamu saya naikkan lima kali lipat!” Dia lalu berlalu masuk ke ruangan khusus UPM dan terbelalak ketika melihat GM kami masih ada di dalam ruangan. Senyumnya seketika menghilang tetapi kami yang ada di luar ruangan jadi tertawa terbahak-bahak. Lumayan, sedikit menghiburku.

         Irman yang kemudian mengetahui bahwa aku sedang mencari tiket pesawat dadakan, menyarankan aku agar ke reservasi saja. Adit lalu membawaku ke reservasi sedangkan Indah berpamitan pulang. Di reservasi kami menemui Arbi dan mengutarakan maksudku. Lalu dia mulai membuka komputernya dan mencari tiket demi tiket. Sama seperti yang diupayakan Lini, Arbi pun mendapatkan tiket Citilink. Bedanya Arbi melalui agen dan pembayarannya bisa dititip secara cash ke dia.

         Edi tiba-tiba menyusul menghampiri kami sambil menyerahkan uang rembesan dari Lini. Alhamdulillah, di saat genting seperti ini uang rembesan bisa keluar. Ini pertama kalinya selama jadi UPM, uang rembesan bisa keluar di jam sembilan malam. Subhanallah, Lini benar-benar menjadi malaikatku malam itu.

          Setelah tiket dicetak dan berdiskusi dengan Adit, akhirnya aku memutuskan untuk membayar tiket dari Arbi. Di situ aku tidak ada uang pas meski sebenarnya uang rembesanku lebih dari cukup untuk membayarnya. Seketika itu juga Adit mengeluarkan beberapa puluhan ribu dan menyerahkannya ke Arbi untuk menambal kekurangan pembayaran tiketku. Ia pun tidak mau diganti. Sungguh malam itu aku melihat sosok Adit yang berbeda. Tiba-tiba Lini datang menyusul kami.

Lini:     Gimana An? Dapat tiketnya?”
Aku:    “Alhamdulillah dapat. Makasih yah!”

          Akhirnya kami kembali ke ruangan, mengambil tas, berpamitan pada Irman yang tugas malam, lalu pulang. Sambil berjalan ke parkiran, aku dan Lini saling berbincang. Berbincang mengenai kesamaan garis hidup yang menjadikan kami anak rantau dan anak pertama dalam keluarga. Berbincang mengenai besarnya tanggung jawab kami, tentang kerinduan pada orang tua, dan tentang keinginan membahagiakan mereka yang ada di seberang sana.

Adit dan Edi lalu menghampiri kami dengan motornya masing-masing. Aku membonceng Edi karena tidak membawa motor sementara Lini membonceng Adit. Dalam perjalanan, aku bertanya pada Edi.

Aku:    “Mas, buru-buru nggak?”
Edi:     “Ada apa?”
Aku:    “Aku mau sharing. Aku bingung besok ngomong apa sama orang tuaku.”
Edi:     “Ow ya sudah, Ayo!”

          Edi kemudian mendekatkan motornya ke motor Adit dan mengajak bicara Lini.

Edi:     “Lin, kamu buru-buru nggak?”
Lini:     Nggak, ada apa?”
Edi:     “Aan mau sharing.”
Lini:     “Ow ya sudah. Di mana?”
Edi:     “Cari angkringan aja gimana?”
Adit:    “Iya, di angkringan aja Ed.”

           Aku sempat menegur Edi mengapa mengajak Lini. Kasihan dia, sudah terlalu malam. Apalagi besok subuh dia ada acara. Namun Edi justru mengingatkanku agar aku juga mendapat masukan dari seorang perempuan. Akhirnya, sampailah kami di angkringan yang tak jauh dari perempatan Tugas.

Amgkringan sederhana, dengan beralaskan terpal dan tikar yang digelar di atas trotoar. Sebuah gerobak makan terparkir di sebelahnya. Masing-masing kami kemudian mengambil makanan yang disukai. Aneka sate dan gorengan menjadi jenis makanan yang terbanyak. Sate-sate itupun kemudian dikumpulkan untuk dibakar. Kami pun memesan minuman susu jahe kecuali Adit yang lebih doyan teh manis.

Setelah semua makanan dan minuman tersaji, aku pun memulai pembicaraan.

Aku:   “Teman-teman jujur aku bingung besok harus ngomong gimana ya sama orang tuaku?”
Lini:    “An, nanti kamu jangan marahin Ibu kamu. Dengarkan ceritanya baik-baik. Dihibur biar nggak sedih. Kehilangan uang nggak masalah, yang penting Ibu Bapak Aan nggak apa-apa, Aannya juga nggak apa-apa, nggak seperti yang diceritakan di telepon.
Edi:     “Ini... nih! Kalau ada bandrolnya, aku beli!”
Adit:   “Wuaaah... gileeee...”

          Kembali Edi dan Adit terpesona oleh kata-kata Lini. Aku pun demikian. Bertambah kagum pada pola pikirnya. Kata-katanya terdengar sejuk di telinga. Hatiku yang sedang berkecamuk dibuatnya seolah diolesi es krim. Lini pun hanya tersenyum malu-malu mendengar semua komentar itu.

Aku:   “Padahal aku aja nggak pernah meminta uang sebanyak itu sama orang tuaku. Diberi pun waktu aku pulang selalu aku tolak. Eh ini yang bukan siapa-siapa malah seperti itu. Aku takut kalau ini mengancam keberangkatan haji Ibuku.”
Lini:   “Namanya juga musibah An. Siapa tahu nanti diganti yang lebih besar sama Allah. Kita juga nggak tahu nanti Ibu Aan kalau haji di sana bagaimana? Kenapa-napa atau nggak. Ini rahasia Allah.”
Aku:   “Iya, ada benarnya juga.”
Edi:     “Lin, harganya berapa? Biar aku beli!”
Adit:   “Berapa harganya? Sini, aku bayarin!”

        Lini makin tersipu-sipu mendengar komentar Edi dan Adit sembari menutupkan slayer tipis ke wajahya yang putih. Kontras sekali dengan pekatnya malam itu.

Aku:  “Teman-teman, dengan kejadian seperti ini membuarku berpikir apakah aku harus masih harus bekerja di Jakarta? Aku merasa nggak bisa menjaga orang tuaku. Meski aku juga sadar kalau di Semarang, aku kerja apa? Kebanyakan lowongan kerja di sana cuma sebagai Sales sama Debt Collector.”
Adit:   "Jangan gitu bro. Ini musibah. Bisa menimpa siapa saja. Katakanlah kamu di Semarang nih, tapi kalau kamu nggak kerja, itu justru menambah beban orang tuamu.”
Aku:  “Iya sih, Mas. Tapi kalau aku membawa orang tuaku ke Jakarta, aku belum sanggup. Aku benar-benar merasa nggak bisa melindungi mereka.”
Lini:    “Ini musibah, An! Mau kamu di Semarang, di Jakarta, yang namanya musibah tetap aja bisa datang.”
Aku:   “Benar juga Lin.”

         Lama mengobrol, temggorakanku akhirnya kekeringan. Aku lalu mengambil gelas yang ada di depanku. Meneguk susu jahe yang menjadi menu andalan di angkringan. Namun baru kali itu aku merasakan susu jahe yang tidak terlalu hangat. Masih kalah hangatnya dengan kebersamaan dan perhatian teman-temanku yang mereka curahkan padaku malam itu.

             Kulihat gelas-gelas lain juga tinggal setengah airnya. Makanan hanya tersisa beberapa saja di piring. Lini sudah menyandarkan punggungnya pada dinding toko yang sudah tutup. Adit masih menghisap rokoknya yang tinggal seujung jari. Edi pun demikian, sambil mengutak-atik HP-nya.

           Sungguh malam yang berat untukku. Di saat kerjaan sedang banyak-banyaknya, justru dibenturkan dengan situasi yang seperti ini.

Aku:    “Laporan numpuk. Ada aja masalah kayak begini.”
Adit:   “Udah pulang An. Pulang aja dulu. Tenangin orang tuamu. Masalah laporan gampang. Dikerjakan nanti aja bisa. Masalah jadwalmu besok, biar aku sama anak-anak yang handle. Pokoknya kamu selesaikan dulu masalahmu di kampung.”
Aku:    “Iya sih Mas, aku kalau tidak pulang juga nggak bisa kerja dengan tenang. Makasih ya Mas.”
Adit:   Udah, santai saja.”

        Subhanallah, baru pertama aku melihat Adit sebijaksana ini. Lain dari kesehariannya. Malam itu tidak nampak sikap arogannya yang suka membentak-bentak orang. Tutur katanya begitu meneduhkan meski tetap disampaikan dengan suara serak-serak ala rocker. Rocker yang tersedak nasi bebek. Hahaha.

           Hatiku mulai tenang dengan wejangan dari teman-temanku tadi. Namun masih ada sedikit resah yang terselip manakala mengetahui HP-ku ternyata telah mati sedari tadi.

Aku:    “Mas Edi, ada power bank nggak? HP-ku mati. Takut kalau ada kabar dari rumah.”
Edi:     “Ini.” Sambil ia menyerahkan powerbank-nya kepadaku.

         Ternyata benar, ketika HP menyala, ada sms dari bapakku. Intinya mengabarkan kalau kondisi Ibu sudah istirahat, sudah tidak terlalu shock. Peminjaman powerbank yang hanya beberapa menit namun sangat berarti. Setidaknya menepis galauku untuk sementara waktu.

          Malam mulai beranjak pagi. Raut muka lelah semakin jelas terpampang di wajah kami. Jalanan mulai sepi. A ngkringan pun sudah mau tutup. Mau tak mau kami harus enyah dari sana. Adit membereskan apa saja yang kami makan dan ia tak mau diganti.

Ketika hendak pulang, Lini kembali membuat hal yang mengejutkanku. Ia ingin mengantarkanku ke kosan. Aku sudah bilang padanya bahwa itu tak perlu namun dia tetap memaksa. Nampaknya dia masih mengkhawatirkanku. Jadilah empat orang perantauan duduk di atas dua motor menuju ke kosanku. Empat orang perantauan yang mencoba mencari arti bahagia di ibukota. Menyatu karena rasa yang sama. Rasa ingin menikmati hidup.

Edi:    “Sudah, tidak apa-apa, kalau biasanya kamu yang mengantarkan dia, biarkan dia ganti sekali-kali mengantarkan kamu.”
Aku:    “Ya sudah jika maunya begitu.”

           Sesampainya di depan kosan, aku turun dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Sungguh itu malam yang menguras emosiku. Aku marah, sedih, tapi juga terharu atas sikap yang diperlihatkan teman-temanku. Terima kasih teman, aku senang dan bangga punya teman seperti kalian. Terima kasih juga buat Isra yang sudah mau bertukar jadwal denganku di saat aku sudah tidak tahu lagi harus bertukar jadwal dengan siapa.

Ujian sesungguhnya bagi persahabatan bukanlah yang ada di saat kita senang tetapi yang tetap ada di saat kita mengalami kesusahan. Ini sungguh ironi mengingat beberapa hari sebelumnya kita masih sempat tertawa lepas, menyanyi sambil bergoyang, diikuti colek-colekan sambal di dalam ruang karoeke. Namun seketika berubah 180 derajat setelah mendapatkan telepon dari rumah. Memang hidup itu seperti roda yang terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah.

Kawan, jangan pernah sungkan memintaku membantu kalian ketika kalian mengalami kesulitan. Apa yang bisa aku lakukan, pasti aku lakukan. Bahkan jika harus meneteskan darah demi kalian. Tapi darahnya, darah nyamuk aja yach?! Hahaha.

Aku sangat beruntung mempunyai teman-teman seperti kalian. Kalianlah keluargaku di Jakarta. Sabar menasehati, tak lelah memberikan motivasi. Selalu membuatku tersenyum dengan beragam tingkah dan polah kalian. Kalian terlalu berharga untukku. Sangat berharga. Jika gadget bisa kita cari kapanpun dan di manapun kita mau, tapi teman seperti kalian? Tidak mudah ditemukan.  Benar kata Sheila on 7, “Arti Teman Lebih Dari Sekedar Materi”.

 Kawan, ada sebuah hadits yang menarik dari Rasulullah saw. Hadits yang menceritakan tentang keutamaan seseorang yang telah berbuat baik kepada sesamanya. Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah saw bersabda,”Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Thabrani dan Daruquthni). Kawan, semoga kalian termasuk orang-orang yang dimaksud oleh hadits ini.