Minggu, 02 November 2014

Masih Mengeluh? Malulah pada Cecak




            Kita mungkin sering mendengar orang yang meratap tentang hidupnya. Mengeluh akan masalah yang sedang menimpanya. Seolah beban hidupnya yang paling berat. Merasa bahwa masalahnya yang paling sulit.

            Memang sudah menjadi menjadi fitrah manusia untuk berkeluh kesah. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’arij ayat 19-27 berikut:

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu  bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya.”
            Tapi kawan, apa hubungannya keluh kesah manusia dengan cecak? Mengapa cecak dibawa-bawa? Apakah cecak juga berkeluh kesah?

            Justru karena kecil kemungkinannya cecak berkeluh kesah, maka dibawalah cecak ke dalam tulisan ini. Untuk pastinya, jelas saya belum tahu karena belum pernah mendengar curahan hati dari cecak. Hahaha.

            Cecak seperti kita tahu bersama merupakan binatang melata yang suka merayap di dinding maupun eternit. Reptil yang ukurannya paling kecil.

            Kita pun tahu bahwa makanan utama cecak adalah nyamuk. Bukanlah hal mudah bagi cecak untuk mendapatkatkan makanannya tersebut. Tak lain karena nyamuk bisa terbang sedangkan cecak tidak. Toh begitu kita tidak pernah melihat cecak mati kelaparan. Cecak yang mati gantung diri. Cecak yang menangis di pojok kamar. Apalagi cecak yang update status galau, “Duh, makanan gue mana nih? Dah laper beud, nggak nongol-nongol?! Kalau ada cecak yang update seperti itu, saya langsung berhenti menggunakan media sosial. Hahaha.

            Meski cecak memiliki keterbatasan, ia tidak diam diri. Tidak sempat baginya mengeluh dan mengumpat apalagi meratapi kekurangannya. Ia senantiasa sigap mengawasi pergerakan nyamuk yang beterbangan mencari darah manusia. Apabila ada nyamuk yang lelah terbang, serta mendarat di dekatnya, dengan sigap ia melumat nyamuk tersebut langsung ke mulutnya.

            Pada hakekatnya, semua yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Allah. Termasuk rezeki tiap-tiap mahluk juga sudah ditentukan. Tidak mungkin tertukar. Tinggal bagaimana usaha dari setiap mahluk-Nya dalam menjemput rezekinya tersebut. Sebagaimana Allah menerangkan dalam firmannya di Surat Huud ayat 6 berikut:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
            Jika cecak saja punya keyakinan bahwa dia bisa bertahan hidup dan berkembang biak dengan keterbatasannya, mengapa kita masih pesimis? Kita punya akal dan budi yang bisa kita pergunakan untuk meraih apa yang kita inginkan. Memang tidak ada yang mudah. Namun jika kita sama sekali tak bergerak, tak mungkin apa yang kita inginkan datang begitu saja. Cecak bisa mendapatkan nyamuk setelah dia siaga cukup lama di dinding. Tak hanya tiduran atau bermalas-malasan di sarangnya sambil berharap ada nyamuk yang menyerahkan diri.

            Kawan, tentu kalian juga masih ingat firman Allah dalam Surat Ar-Rad ayat 11 tentang pentingnya berusaha untuk mengubah keadaan yang ada. Sekedar mengingatkan kembali saja, berikut inilah dalilnya:

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Setiap manusia pasti punya keinginan. Kejarlah keinginan itu. Jangan lantas menyerah bila ada penghalang. Sabar dan terus berikhtiar dengan tidak melupakan doa. Wajar manusia mengeluh saat apa yang diusahakan tidak sesuai yang diinginkan. Tapi seperlunya saja. Percayalah  bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Allah sudah memberikan jaminan lewat dalil di atas. Jika belum berhasil, Allah hanya menguji kesabaran dan kegigihan kita mengupayakan apa yang kita inginkan.

Jika cecak yang tak bisa terbang saja tetap bisa makan nyamuk, mengapa kita manusia yang menguasai ilmu dan teknologi masih tak yakin bisa mewujudkan mimpi kita? Masih terjebak dalam kegalauan yang tak perlu, yang justru mengikis semangat kita. Ayo kawan, bangkit! Kita bisa! Malulah sama cecak kalau galau melulu!

Pahamilah...


Tidak ada individu yang terduplikasi. Oleh karena itu setiap individu itu unik. Unik dengan sifat & karakternya masing-masing. PADI mengungkapkannya lewat "Semua Tak Sama".
Berharap seseorang menyerupai sosok imaginer kita adalah kesalahan. Biarkan tiap kita menjadi karakternya masing-masing. Menjadi pelengkap untuk yang lain.
Kita harus bisa memahami. Ketika waktu tak akan terulang. Ketika yang pernah ada menjadi tiada. Itulah dinamika. Dinamika yang memaksa kita menyesuaikan. Melepaskan imaginer kita yang terlalu sempurna. Biarlah apa yang pernah tercipta, terasa dengan sempurna, terbungkus dalam lemari kenangan.
Berharap yang terbaik itu keharusan. Tapi yang terbaik sering tak sejalan dengan alur berpikir kita. Kadang kita juga terlambat menyadari bahwa yang terbaik ada di dekat kita. Kita baru sadar setelah tiada. Nikmati saja hidup kita dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Jangan sampai nanti terucap kalimat perandaian, "Ah, andai saja dulu..."

Selasa, 28 Oktober 2014

Mereka yang Tetap Ada



            Satu lagi kisah haru di perantauan kutulis agar tidak terkikis oleh waktu. Sebuah kisah di penghujung Mei. Kisah yang menguji persahabatan. Kisah tentang kebaikan mereka yang tetap ada saat aku terpuruk. Kisah yang akan aku ingat selamanya. Sengaja aku tulis waktu Hari Raya Idul Qurban untuk mengenang pengorbanan teman-temanku demi aku. Kalaupun pada akhirnya ini diposting sekarang, itu karena ada kendala. Kendala menyelesaikan laporan dulu. Hahaha.

         Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Sebagian dari kita telah meninggalkan ruangan kantor. Maklum, itu adalah hari Jumat. Hari di mana sebagian besar karyawan mengakhiri kerjanya dalam seminggu.

           Meninggalkan ruangan tak berarti langsung pulang ke rumah atau kos masing-masing. Tak sedikit yang memilih nongkrong dulu di lobi atau di warung kopi. Menikmati waktu-waktu yang tersisa sebelum libur di esok hari.

         Aku yang semula di ruangan pun menyusul ke depan. Ke warung kopi tepatnya. Warung kopi sederhana dengan sebuah gerobak dan tenda kecil yang disokong dua bilah bambu. Di bawahnya ada bangku panjang untuk para penikmat kopi.

Di sana telah ada Adit, Edi, Lini, Indah, Daus, dan Nendar. Masing-masing menceritakan tentang rencana mengisi akhir pekannya. Aku pun menyimaknya dengan sesekali melontarkan tanggapan atau pertanyaan. Lama nongkrong, tenggorokanku pun merasakan haus. Akhirnya, aku memesan segelas white coffee kepada pemilik warung. Kami pun kembali mengobrol. Tak lama kemudian, pesananku telah jadi. Aku hendak langsung meminumnya, tapi urung karena masih panas. Kutiuplah gelas itu dan tiba-tiba HP-ku berdering. Kuletakkan gelas itu di meja dan kuangkat HP-ku. Ternyata telepon dari rumah.

Aku:    “Halo, Assalamu’alaikum.”
Ibu:     “Wa’alaikumsalam, Aan?”
Aku:    “Iya Bu, ada apa?”
Ibu:      “Kamu di mana?”
Aku:    “Masih di kantor. Baru saja selesai kerja. Ada apa Bu?”
Ibu:      “Baik-baik saja kan?”
Aku:    “Iya, baik-baik saja kok. Ibu bagaimana?”
Ibu:   “Tadi ada orang telepon. Mengakunya itu kamu. Suaranya mirip sekali suaramu. Katanya kamu menabrak orang. Yang satu meninggal, yang satu di rumah sakit. Terus minta uang untuk mengurus polisi, rumah sakit, sama pemakaman.”

Suara Ibuku mulai terdengar parau dan sedikit terisak.

Aku:    “Minta uang berapa? Dikasih?”
Ibu:     “xx juta. Iya, sudah telanjur dikasih. Soalnya suaranya mirip sekali suaramu An.”
Aku:    “Haduuuuh.... Mengapa langsung dikasih?! Mengapa tidak telepon aku dulu?!

Aku pun mulai emosional. Berteriak-teriak di depan gerbang kantorku. Tanganku menghentak-hentak. Begitu pula dengan kakiku. Sesekali tanganku mengacak-acak rambutku. Duduk, jongkok, dan berdiri lagi. Tak mempedulikan gerimis yang menyiramku. Bahkan Satpam kantor sampai menegurku agar aku masuk ke dalam kantor saja tapi aku menampiknya.

Ibu:      “Dia bilang HP-mu disita untuk jaminan.”
Aku:    “Haduuuh....”

Aku mulai tak bisa berkata-kata lagi. Mataku berkaca-kaca. Menyadari tak bisa menjaga keluargaku. Di sisi lain amarahku memuncak. Ingin rasanya menghajar hingga babak belur orang yang tega menipu orang tuaku. Terselip juga kecewa pada orang tuaku. Mengapa mudah sekali ditipu. Padahal mereka juga sudah sering mendengar modus penipuan seperti ini. Namun tak mungkin juga aku memarahi mereka.

Aku:    “Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Nanti kita urus ke polisi.”
Ibu:      “Tidak usah An. Ibu malu kalau nanti jadi ramai.”
Aku:    “Kita harus lapor ke polisi Bu! Aku nggak terima orang tuaku diperlakukan seperti ini!”
Ibu:     “Ya sudah. Hati-hati nanti kalau pulang.”

           Aku pun kembali ke teman-temanku di warung kopi dengan langkah yang gontai. Mereka menatapku dengan tatapan penuh keheranan. Lalu serempak mereka menanyakan apa yang terjadi denganku? Mengapa raut mukaku berubah 180 derajat setelah menerima telepon? Aku pun hanya menjawab singkat bahwa keluargaku terkena musibah.

         Mereka terus merayuku agar aku mau bercerita detailnya. Akhirnya aku pun menceritakan sebagian dari informasi yang kudapat dari telepon tadi. Tak mungkin aku menceritakan semuanya.

          Meski aku hanya menceritakan sebagian, emosiku kembali terguncang. Entah refleks atau apa, tanganku tiba-tiba memukul bambu penyangga tenda kopi. Tentu dengan tenaga ala kadarnya sebab jika sungguhan tentu akan roboh.

“Sabar An”, kata Lini lirih dengan tatapan yang meneduhkan.

          Sebuah kata normatif, namun di situasi seperti ini akan terasa sangat bermakna. Mengompres suasana hati yang sedang bergejolak. Adit dan Edi kemudian mendekatiku. Mereka meminta agar aku tenang dulu lalu menceritakan semua pelan-pelan.

        Belum sempat aku bercerita, justru Adit yang bercerita padaku bahwa adeganku ketika telepon ditonton Pak Uli, bos kami.

Aku:    Emang tadi aku kelihatan lebay banget yaa?”
Adit:    “Iya, mantap banget dah aktingmu tadi. Udah kayak di sinetron-sinetron.”
Aku:    “Terus dia bilang apa?”
Adit:    “Itu Aan kenapa? Kok telepon sambil hujan-hujanan? Nanti sakit. Suruh ke sini aja!”
Aku:    “Terus?”
Adit:    Nggak tahu Pak, tadi dapat telepon terus gitu.”
Aku:    “Sekarang dia pulang?”
Adit:    “Iya, pulang.”

            Sejenak aku terdiam. Tak tahu harus melakukan apa. Aku masih shock dengan apa yang baru saja kudengar. Namun tiba-tiba tersirat sesuatu di dalam pikiranku.

 Aku lalu bertanya pada Edi dan Adit apa mereka mnyimpan nomor telepon petinggi POLRI yang menjadi narasumber? Keduanya menjawab tidak. Lalu aku bertanya pada Indah yang merupakan admin kami. Mungkin saja dia menyimpan nomor telepon narasumber karena sering memeriksa laporan. Indah pun menjawab bahwa nomor telepon narasumber kemungkinan ada di komputer Ratih, mantan admin kami. Aku pun lantas bergegas kembali ke ruangan UPM.

         Mencari nomor telepon petinggi POLRI sengaja aku lakukan untuk antisipasi jika nanti dipersulit ketika membuat laporan ke polisi. Aku pun nanti juga akan mengenakan seragam saat lapor. Biasanya polisi segan dengan awak media.

 Setiba di ruangan, aku langsung mencari file yang dimaksud di bekas komputer Ratih. Alhamdulilah ada nomor teleponnya dan langsung aku simpan di HP. Tak lama kemudian Adit, Edi, Indah, dan Lini menyusulku masuk ke ruangan.

Adit:    “Ada nomornya?” tanya Adit usai membuka pintu.
Aku:    “Iya, ada.” jawabku singkat.

          Mereka kemudian kembali mencecarku dengan pertanyaan mengenai apa yang baru saja menimpa keluargaku. Namun aku masih menjawab seperlunya. Tapi dari sinilah rangkaian kisah mengharukan itu dimulai. Aku jadi melihat sisi lain dari teman-temanku yang selama ini jarang ditampakkan ketika di kantor.

Adit:    “Kena berapa cuy? Itu modusnya kayak yang dialami tanteku.”
Aku:    “Ah... sudahlah.”
Adit:    “Eh berapa? 5 juta ada? 10 juta ada?”

            Aku hanya terdiam ketika ditanya nominal oleh Adit. Tidak mengiyakan tetapi juga tidak menampik. Aku sendiri kaget dengan nominal yang tadi disebutkan oleh Ibuku dan aku tidak ingin teman-temanku juga ikut kaget. Menurutku nominalnya terlalu besar, sangat besar. Biar aku, keluargaku, polisi, dan Tuhan saja yang tahu.

Aku:   “Aku nggak habis pikir, kenapa orang tuaku bisa tertipu ya? Padahal sudah sering mendengar modus yang seperti itu.”
Adit:   “Itu namanya musibah bro. Nggak bisa disalahkan”
Aku:  “Iya sih. Pokoknya aku harus kejar pelakunya! Aku nggak terima orang tuaku diperlakukan seperti itu!”
Edi:    “Wajar... wajar... namanya anak.”

          Edi mencoba memberi pembenaran atas sikapku yang masih terbalut emosi. Sisi dewasanya terlihat. Memang dia paling dewasa diantara kami berlima karena cuma dia yang telah berkeluarga.

Lini:    “Sabar An, sabar. Namanya musibah. Tapi Ibu kamu nggak apa-apa kan?”
Aku:   “Alhamdulillah, nggak apa-apa.”
Lini:    “Setiap peristiwa ada hikmahnya. Uang bisa dicari, tapi kalau nyawa? Untung Ibu Aan nggak diapa-apakan.”
Aku:    “Iya, benar Lin.”
Edi:     “Wah. Itu kalau kata-katanya ada bandrolnya, aku beli.”

      Aku, Edi, dan Adit terbelalak memandang Lini dengan kata-katanya yang baru saja diucapkan. Adit bahkan sampai geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Edi masih terpaku memandang Lini sambil menebar senyum tipisnya dengan posisi kepala dimiringkan. Aku pun dengan senyum kecil namun tak bisa menolak untuk tidak terkesima dengan kata-katanya barusan.

Tidak ada yang menyangka jika Lini yang selama ini cenderung pendiam di kantor bisa mengeluarkan kata-kata bijak seperti itu. Selama ini Lini hanya memanggil anak-anak UPM untuk dua alasan. Pertama, menagih laporan. Kedua, memberikan rembesan. Namun malam itu dia menjelma menjadi sosok yang beda. Seolah ada sayap yang muncul dari punggungnya hingga kata-katanya dan tindak-tanduknya bagaikan malaikat.

          Aku lalu minta tolong Lini untuk mencarikan tiket pesawat buat ke Semarang esok harinya. Aku minta yang dari Halim saja. Dia lantas mengutak-atik komputernya dengan sedikit bantuanku untuk menyebutkan identitasku. Akhirnya sebuah tiket Citilink berhasil dicetak berikut cara pembayarannya.

           Tiba-tiba Irman datang. Dengan senyum tersungging di bibirnya karena melihat Lini dan Indah masih di ruangan. Dia pun berujar dengan percaya dirinya, “Wah, masih pada di kantor nih? Nanti gaji kamu saya naikkan lima kali lipat!” Dia lalu berlalu masuk ke ruangan khusus UPM dan terbelalak ketika melihat GM kami masih ada di dalam ruangan. Senyumnya seketika menghilang tetapi kami yang ada di luar ruangan jadi tertawa terbahak-bahak. Lumayan, sedikit menghiburku.

         Irman yang kemudian mengetahui bahwa aku sedang mencari tiket pesawat dadakan, menyarankan aku agar ke reservasi saja. Adit lalu membawaku ke reservasi sedangkan Indah berpamitan pulang. Di reservasi kami menemui Arbi dan mengutarakan maksudku. Lalu dia mulai membuka komputernya dan mencari tiket demi tiket. Sama seperti yang diupayakan Lini, Arbi pun mendapatkan tiket Citilink. Bedanya Arbi melalui agen dan pembayarannya bisa dititip secara cash ke dia.

         Edi tiba-tiba menyusul menghampiri kami sambil menyerahkan uang rembesan dari Lini. Alhamdulillah, di saat genting seperti ini uang rembesan bisa keluar. Ini pertama kalinya selama jadi UPM, uang rembesan bisa keluar di jam sembilan malam. Subhanallah, Lini benar-benar menjadi malaikatku malam itu.

          Setelah tiket dicetak dan berdiskusi dengan Adit, akhirnya aku memutuskan untuk membayar tiket dari Arbi. Di situ aku tidak ada uang pas meski sebenarnya uang rembesanku lebih dari cukup untuk membayarnya. Seketika itu juga Adit mengeluarkan beberapa puluhan ribu dan menyerahkannya ke Arbi untuk menambal kekurangan pembayaran tiketku. Ia pun tidak mau diganti. Sungguh malam itu aku melihat sosok Adit yang berbeda. Tiba-tiba Lini datang menyusul kami.

Lini:     Gimana An? Dapat tiketnya?”
Aku:    “Alhamdulillah dapat. Makasih yah!”

          Akhirnya kami kembali ke ruangan, mengambil tas, berpamitan pada Irman yang tugas malam, lalu pulang. Sambil berjalan ke parkiran, aku dan Lini saling berbincang. Berbincang mengenai kesamaan garis hidup yang menjadikan kami anak rantau dan anak pertama dalam keluarga. Berbincang mengenai besarnya tanggung jawab kami, tentang kerinduan pada orang tua, dan tentang keinginan membahagiakan mereka yang ada di seberang sana.

Adit dan Edi lalu menghampiri kami dengan motornya masing-masing. Aku membonceng Edi karena tidak membawa motor sementara Lini membonceng Adit. Dalam perjalanan, aku bertanya pada Edi.

Aku:    “Mas, buru-buru nggak?”
Edi:     “Ada apa?”
Aku:    “Aku mau sharing. Aku bingung besok ngomong apa sama orang tuaku.”
Edi:     “Ow ya sudah, Ayo!”

          Edi kemudian mendekatkan motornya ke motor Adit dan mengajak bicara Lini.

Edi:     “Lin, kamu buru-buru nggak?”
Lini:     Nggak, ada apa?”
Edi:     “Aan mau sharing.”
Lini:     “Ow ya sudah. Di mana?”
Edi:     “Cari angkringan aja gimana?”
Adit:    “Iya, di angkringan aja Ed.”

           Aku sempat menegur Edi mengapa mengajak Lini. Kasihan dia, sudah terlalu malam. Apalagi besok subuh dia ada acara. Namun Edi justru mengingatkanku agar aku juga mendapat masukan dari seorang perempuan. Akhirnya, sampailah kami di angkringan yang tak jauh dari perempatan Tugas.

Amgkringan sederhana, dengan beralaskan terpal dan tikar yang digelar di atas trotoar. Sebuah gerobak makan terparkir di sebelahnya. Masing-masing kami kemudian mengambil makanan yang disukai. Aneka sate dan gorengan menjadi jenis makanan yang terbanyak. Sate-sate itupun kemudian dikumpulkan untuk dibakar. Kami pun memesan minuman susu jahe kecuali Adit yang lebih doyan teh manis.

Setelah semua makanan dan minuman tersaji, aku pun memulai pembicaraan.

Aku:   “Teman-teman jujur aku bingung besok harus ngomong gimana ya sama orang tuaku?”
Lini:    “An, nanti kamu jangan marahin Ibu kamu. Dengarkan ceritanya baik-baik. Dihibur biar nggak sedih. Kehilangan uang nggak masalah, yang penting Ibu Bapak Aan nggak apa-apa, Aannya juga nggak apa-apa, nggak seperti yang diceritakan di telepon.
Edi:     “Ini... nih! Kalau ada bandrolnya, aku beli!”
Adit:   “Wuaaah... gileeee...”

          Kembali Edi dan Adit terpesona oleh kata-kata Lini. Aku pun demikian. Bertambah kagum pada pola pikirnya. Kata-katanya terdengar sejuk di telinga. Hatiku yang sedang berkecamuk dibuatnya seolah diolesi es krim. Lini pun hanya tersenyum malu-malu mendengar semua komentar itu.

Aku:   “Padahal aku aja nggak pernah meminta uang sebanyak itu sama orang tuaku. Diberi pun waktu aku pulang selalu aku tolak. Eh ini yang bukan siapa-siapa malah seperti itu. Aku takut kalau ini mengancam keberangkatan haji Ibuku.”
Lini:   “Namanya juga musibah An. Siapa tahu nanti diganti yang lebih besar sama Allah. Kita juga nggak tahu nanti Ibu Aan kalau haji di sana bagaimana? Kenapa-napa atau nggak. Ini rahasia Allah.”
Aku:   “Iya, ada benarnya juga.”
Edi:     “Lin, harganya berapa? Biar aku beli!”
Adit:   “Berapa harganya? Sini, aku bayarin!”

        Lini makin tersipu-sipu mendengar komentar Edi dan Adit sembari menutupkan slayer tipis ke wajahya yang putih. Kontras sekali dengan pekatnya malam itu.

Aku:  “Teman-teman, dengan kejadian seperti ini membuarku berpikir apakah aku harus masih harus bekerja di Jakarta? Aku merasa nggak bisa menjaga orang tuaku. Meski aku juga sadar kalau di Semarang, aku kerja apa? Kebanyakan lowongan kerja di sana cuma sebagai Sales sama Debt Collector.”
Adit:   "Jangan gitu bro. Ini musibah. Bisa menimpa siapa saja. Katakanlah kamu di Semarang nih, tapi kalau kamu nggak kerja, itu justru menambah beban orang tuamu.”
Aku:  “Iya sih, Mas. Tapi kalau aku membawa orang tuaku ke Jakarta, aku belum sanggup. Aku benar-benar merasa nggak bisa melindungi mereka.”
Lini:    “Ini musibah, An! Mau kamu di Semarang, di Jakarta, yang namanya musibah tetap aja bisa datang.”
Aku:   “Benar juga Lin.”

         Lama mengobrol, temggorakanku akhirnya kekeringan. Aku lalu mengambil gelas yang ada di depanku. Meneguk susu jahe yang menjadi menu andalan di angkringan. Namun baru kali itu aku merasakan susu jahe yang tidak terlalu hangat. Masih kalah hangatnya dengan kebersamaan dan perhatian teman-temanku yang mereka curahkan padaku malam itu.

             Kulihat gelas-gelas lain juga tinggal setengah airnya. Makanan hanya tersisa beberapa saja di piring. Lini sudah menyandarkan punggungnya pada dinding toko yang sudah tutup. Adit masih menghisap rokoknya yang tinggal seujung jari. Edi pun demikian, sambil mengutak-atik HP-nya.

           Sungguh malam yang berat untukku. Di saat kerjaan sedang banyak-banyaknya, justru dibenturkan dengan situasi yang seperti ini.

Aku:    “Laporan numpuk. Ada aja masalah kayak begini.”
Adit:   “Udah pulang An. Pulang aja dulu. Tenangin orang tuamu. Masalah laporan gampang. Dikerjakan nanti aja bisa. Masalah jadwalmu besok, biar aku sama anak-anak yang handle. Pokoknya kamu selesaikan dulu masalahmu di kampung.”
Aku:    “Iya sih Mas, aku kalau tidak pulang juga nggak bisa kerja dengan tenang. Makasih ya Mas.”
Adit:   Udah, santai saja.”

        Subhanallah, baru pertama aku melihat Adit sebijaksana ini. Lain dari kesehariannya. Malam itu tidak nampak sikap arogannya yang suka membentak-bentak orang. Tutur katanya begitu meneduhkan meski tetap disampaikan dengan suara serak-serak ala rocker. Rocker yang tersedak nasi bebek. Hahaha.

           Hatiku mulai tenang dengan wejangan dari teman-temanku tadi. Namun masih ada sedikit resah yang terselip manakala mengetahui HP-ku ternyata telah mati sedari tadi.

Aku:    “Mas Edi, ada power bank nggak? HP-ku mati. Takut kalau ada kabar dari rumah.”
Edi:     “Ini.” Sambil ia menyerahkan powerbank-nya kepadaku.

         Ternyata benar, ketika HP menyala, ada sms dari bapakku. Intinya mengabarkan kalau kondisi Ibu sudah istirahat, sudah tidak terlalu shock. Peminjaman powerbank yang hanya beberapa menit namun sangat berarti. Setidaknya menepis galauku untuk sementara waktu.

          Malam mulai beranjak pagi. Raut muka lelah semakin jelas terpampang di wajah kami. Jalanan mulai sepi. A ngkringan pun sudah mau tutup. Mau tak mau kami harus enyah dari sana. Adit membereskan apa saja yang kami makan dan ia tak mau diganti.

Ketika hendak pulang, Lini kembali membuat hal yang mengejutkanku. Ia ingin mengantarkanku ke kosan. Aku sudah bilang padanya bahwa itu tak perlu namun dia tetap memaksa. Nampaknya dia masih mengkhawatirkanku. Jadilah empat orang perantauan duduk di atas dua motor menuju ke kosanku. Empat orang perantauan yang mencoba mencari arti bahagia di ibukota. Menyatu karena rasa yang sama. Rasa ingin menikmati hidup.

Edi:    “Sudah, tidak apa-apa, kalau biasanya kamu yang mengantarkan dia, biarkan dia ganti sekali-kali mengantarkan kamu.”
Aku:    “Ya sudah jika maunya begitu.”

           Sesampainya di depan kosan, aku turun dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Sungguh itu malam yang menguras emosiku. Aku marah, sedih, tapi juga terharu atas sikap yang diperlihatkan teman-temanku. Terima kasih teman, aku senang dan bangga punya teman seperti kalian. Terima kasih juga buat Isra yang sudah mau bertukar jadwal denganku di saat aku sudah tidak tahu lagi harus bertukar jadwal dengan siapa.

Ujian sesungguhnya bagi persahabatan bukanlah yang ada di saat kita senang tetapi yang tetap ada di saat kita mengalami kesusahan. Ini sungguh ironi mengingat beberapa hari sebelumnya kita masih sempat tertawa lepas, menyanyi sambil bergoyang, diikuti colek-colekan sambal di dalam ruang karoeke. Namun seketika berubah 180 derajat setelah mendapatkan telepon dari rumah. Memang hidup itu seperti roda yang terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah.

Kawan, jangan pernah sungkan memintaku membantu kalian ketika kalian mengalami kesulitan. Apa yang bisa aku lakukan, pasti aku lakukan. Bahkan jika harus meneteskan darah demi kalian. Tapi darahnya, darah nyamuk aja yach?! Hahaha.

Aku sangat beruntung mempunyai teman-teman seperti kalian. Kalianlah keluargaku di Jakarta. Sabar menasehati, tak lelah memberikan motivasi. Selalu membuatku tersenyum dengan beragam tingkah dan polah kalian. Kalian terlalu berharga untukku. Sangat berharga. Jika gadget bisa kita cari kapanpun dan di manapun kita mau, tapi teman seperti kalian? Tidak mudah ditemukan.  Benar kata Sheila on 7, “Arti Teman Lebih Dari Sekedar Materi”.

 Kawan, ada sebuah hadits yang menarik dari Rasulullah saw. Hadits yang menceritakan tentang keutamaan seseorang yang telah berbuat baik kepada sesamanya. Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah saw bersabda,”Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Thabrani dan Daruquthni). Kawan, semoga kalian termasuk orang-orang yang dimaksud oleh hadits ini.

Selasa, 23 September 2014

Ketika itu...

Ketika keringat beriringan air mata
Ketika letih beriringan sesak
Ketika pandangku kosong
Hanya lembaran putih tersaji
Ke mana perginya harapanku?
Yang dulu kutanam di depan pandangku


Aah...
Hanya bisa menghela nafas
Berharap energi berkumpul di kaki
Agar bisa menapak lagi


Hidup tak bisa diterka
Angan bisa jadi kiasan
Hidup harus tetap dijalani
Meski kita tak mengerti


Ketika asa menguap
Ketika tubuh tercabik
Ketika pikiran tertindih
Nafas pun tersengal
Tertatih mencari oksigen yang tersisa


Dan aah...
Aku coba menghela nafas
Berharap energi berkumpul di kaki
Agar bisa menapak lagi
Mencari yang semestinya dicari
Menikmatinya...
Jika mungkin

Sabtu, 13 September 2014

Tentang Duduk Ketika Marah


“Duduk…!” inilah kata yang akhir-akhir ini jadi selingan dalam candaan kami. Bagaimana mulanya? Ini bermula ketika ada seorang teman yang sedang dirasuki amarah kemudian aku memintanya untuk duduk. Entah apa yang ada di pikiran teman-teman yang lain ketika melihat hal ini. Yang pasti, sejak itu kata “duduk” jadi populer.

Menyikapi hal tersebut, aku ingin agar kata duduk tak sekedar menjadi bahan candaan belaka, melainkan harus punya nilai yang lain. Nilai apa itu? Yaph, nilai dakwah.

Duduk dan berbaring merupakan suatu upaya meredakan amarah. Hal ini mengacu pada hadits Rasulullah saw berikut:

 إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring (H.R Abu Dawud)

Dalam suatu interaksi sosial, salah paham atau perbedaan pendapat menjadi hal yang sangat mungkin terjadi. Keduanya apabila tidak terkelola dengan baik, maka dapat memantik kemarahan di salah satu pihak. Apabila kemarahan itu tidak dapat diredam, maka hal yang lebih buruk bisa terjadi, misalnya terjadinya perkelahian. Naudzubillahimindzalik.

Hadits di atas memberi kita solusi untuk mengontrol diri dari marah yang mulai tak terkendali. Secara logika dapat dijelaskan bahwa orang dengan posisi duduk akan lebih sulit untuk mengambil tindakan agresif daripada ketika berdiri, apalagi jika ia kemudian berbaring. Ini efektif untuk mencegah seseorang bertindak anarki.

Setidaknya dua kali sudah aku menerapkan
hal ini untuk meredakan amarah orang lain dan amarahku sendiri. Ketika seseorang sudah berbicara dengan nada hard rock, serta intonasi seperti dalang menyampaikan narasi wayang, yang kadang tak jelas maknanya, aku cuma menyampaikan dua kalimat padanya, “Ayo sini, kita duduk dulu. Kita omongin baik-baik.” Setelah duduk dan kita mengobrol sebentar, selesai perkara. Semula ketika berdiri nada bicaranya hard rock, ketika duduk perlahan-lahan nada bicaranya beralih ke jazz.

Satu hal yang baru aku sadari setelah candaan tentang duduk berulang kali dilontarkan adalah ternyata aku masih bisa mengambil tindakan yang syar’i di situasi yang sulit untuk menguasai diri. Aku memang marah, tapi setidaknya masih bisa mengontrol diri.

Memang ketika kita mengambil jalan yang syar’i, maka tidak akan ada keburukan, yang ada hanyalah kebaikan. Dari contoh ini saja, saat kita memegang dalil ini, maka kita sudah menghindarkan diri kita dari tindakan yang tidak perlu dan memalukan karena marah. Contoh lain adalah ketika seorang wanita memutuskan mengenakan jilbab syar’i, maka godaan dari laki-laki yang datang padanya akan berkurang. Satu-satunya godaan hanyalah ucapan, “Assalamu’alaikum”. Itupun sebenarnya merupakan doa dan jika dijawab mendapatkan pahala.

Akhir kata, aku ingin kita bersama-sama belajar lebih dalam tentang agama, tentang aturan agama kita. Kemudian nanti dari apa yang telah kita tahu, ayo pelan-pelan kita terapkan. Ini karena agama bukan hanya masalah ibadah, tapi melingkupi semua aspek kehidupan kita. Bahkan saat kita hendak masuk ke kamar kecil pun ada aturannya.

Aku bicara seperti ini bukan berarti aku orang yang baik, orang yang benar, orang alim. Bukan! Aku justru jauh dari itu. Namun kawan, apakah selamanya kita akan membiarkan diri kita dalam kegamangan? Acuh terhadap agama kita sendiri?

Setiap orang pasti ingin menjadi lebih baik dan akan berproses untuk menjadi lebih baik. Menjadi taat terhadap syariat sebenarnya merupakan kebutuhan kita. Allah tidak membutuhkan ketaatan kita. Namun saat kita taat pada syariatNya, kita pula yang akan merasakan manfaatnya. Ayo kawan, kita coba. Ini memang tak mudah karena dunia terlalu menggoda. Tapi aku percaya, kita bisa kawan! Cayo!


Sabtu, 26 Juli 2014

Nuansa yang Hilang


Dulu aku bosan dan malas rasanya setiap lebaran makan opor ayam. Aku selalu protes pada ibuku untuk membuat masakan yang berbeda. Inovasi kataku. Seperti masak rawon atau apalah. Namun saat ini aku benar-benar kangen opor ayam buatannya dipadu dengan sambal goreng hati dan ketupat hasil karyaku.

Ternyata Allah benar-benar mengabulkan pintaku. Tahun kemarin aku sama sekali tidak merasakan makanan buatan ibuku. Beruntung ada seorang teman bernama Daus yang membawakan ketupat sayur waktu malam takbiran. Akhirnya, merasakan juga makanan lebaran. Ini semakin terasa mengharukan karena nyaris saja aku buka puasa terakhir dengan makan daging babi. Maklum, banyak warung yang sudah tutup. Hanya warung milik orang Cina dan Mc Donald's yang masih buka.

Meski demikian, nuansa lebaran belum sepenuhnya aku rasakan. Apalagi membayangkan bagaimana orang tuaku bersilaturahmi ke rumah tetangga-tetangga yang anak cucunya pada kumpul, sementara anaknya yang cuma semata wayang tak ada di tengah-tengahnya. Hingga berair mata ini membayangkannya. Beruntung aku mendapatkan tugas di lapangan yang mempertemukanku dengan ustad favoritku, Yusuf Mansyur. Ini membuatku bisa lebih menikmati lebaran di perantauan.

Tahun ini jadi lebaran kedua di mana aku tak bisa menikmati makanan buatan ibuku. Mungkin ini karma untukku. Sekarang aku sangat ingin makan opor ayam buatan beliau, membantunya memarut kelapa seperti dulu, belanja ketupat sehabis subuh lalu mengisinya, mengecek air ketupat waktu dimasak, menggoreng kerupuk udang, mencuci stoples, dan memasukkan kue ke dalam stoples. Ah, aku sangat ingin melakukan itu lagi.

Aku kangen nuansa itu. Aku kangen saat ibuku marah-marah karena dapur kotor akibat percikan minyak waktu aku menggoreng krupuk. Aku kangen mengambil ayam kampung yang kami pesan lalu menyembelihkannya ke tetanggaku. Aaaahhh...

Sedikit nuansa ramadhan menjelang lebaran ala rumah telah aku rasakan. Adalah dua orang temanku, Lini dan Dian yang mengantarkan nuansa itu kepadaku. Aku ingat hari-hari terakhir menjelang lebaran, aku selalu mengantarkan ibuku belanja minyak, sirup, kacang mede, tepung, bumbu, stoples, dan serbet / taplak meja. Meski tak serepot ketika mengantarkan ibuku belanja, tapi menemani mereka berdua belanja, terutama saat mencari stoples, sudah cukup menghadirkan nuansa yang hilang di ramadhan kemarin.

Entah lebaran kali ini akan kujalani seperti apa? Tapi aku patut berterima kasih kepada Daus, Lini, dan Dian yang telah membawakan nuansa yang nyaris hilang dalam hidupku. Terima kasih yaa kawan! Kalian sesuatu bingitz...