Senin, 15 Oktober 2012

Kapitalisme di Rumah Susun


            Dari sekian banyak tulisan yang saya tulis, mungkin ini satu-satunya tulisan yang saya dahului dengan penelitian. Yuph, tulisan ini merupakan penggalan kecil dari skripsi saya. Berbeda dengan skripsi yang harus baku, terikat dengan teori, definisi operasional, maupun kaidah-kaidah lainnya, catatan ini saya tulis dengan gaya bahasa maupun cara penyampaian yang khas ala saya. Saya juga enggan menggunakan analisis yang rumit seperti skripsi, saya hanya ingin sedikit memberikan informasi dan mengajak sedikit untuk menelaah terhadap fenomena yang terjadi. Mengingat tujuan skripsi salah satunya sebagai bahan kajian bagi ilmu pengetahuan, maka akan saya bagi apa yang saya peroleh di lapangan. Judul skripsi saya mungkin kurang menarik karena hanya mengenai efektivitas pemanfaatan rumah susun, kalah populis dibandingkan BRT, Fly Over, Waduk Jatibarang, Jamkesmas, dsb. Namun di dalamnya terdapat fenomena-fenomena yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh orang sebelumnya, mengenai pemanfaatan rumah susun. Yuph, inilah yang saya cari dan saya coba gali. Selanjutnya, selamat menikmati dan mencermati fenomena yang terjadi...

            Rumah susun? Apa yang terbayang ketika anda mendengar kata rumah susun? Kumuh, kotor, dan hanya dihuni oleh masyarakat menengah ke bawah? Tidak salah. Beberapa rumah susun memang demikian. Sedangkan untuk rumah susun yang saya teliti, tidak bisa sepenuhnya dibenarkan pandangan seperti itu.

            Baiklah, kita mulai mendeskripsikan situasi yang ada di sana. Secara fisik atau konstruksi bangunan Rusunawa Kaligawe tidak berbeda jauh dengan bangunan gedung B dan C Kampus FISIP. Persamaannya terdapat dari pintu yang tipis, pegangan tangga maupun pagar pembatas, maupun dari model bangunannya sendiri yang mirip. Bedanya jika gedung B dan C hanya terhubung dibagian tengah, sedangkan di Rusunawa Kaligawe selain terhubung di tengah, juga terhubung di kedua ujung. Bahkan kalau diperhatikan, keramik yang digunakan di Rusunawa Kaligawe lebih baik daripada yang dipakai di gedung B dan C.

            Ada tujuh blok di sana, tetapi baru 4 blok yang sudah lama digunakan, serta 1 blok baru digunakan. Blok D dan E merupakan blok yang bersih karena warganya mau kerja bakti setiap 2 minggu membersihkan lingkungannya. Pada hari minggu, biasanya lantainya juga dipel sehingga bersih. Selain itu, muncul inisiatif dari warga untuk membuat taman di sekitarnya. Kondisi yang berlainan ada di blok F dan G. Di sana sangat bau disebabkan tidak ada saluran air yang mengalir lancar, sehingga di kedua blok tersebut juga banyak nyamuk. Dari warga sendiri, kesadaran kerja bakti untuk lingkungannya masih kurang dibandingkan blok D dan E sehingga kondisinya terkesan kumuh. Di blok C yang baru digunakan, belum ada penataan lingkungan. Masih banyak rumput liar tumbuh tinggi mengelilinginya. Sementara dua blok lain belum bisa digunakan karena masih rusak.

            Secara sosial, sebagian besar warga di sana bekerja sebagai buruh pabrik, buruh pelabuhan, maupun sopir. Namun tidak berarti bahwa warga yang tinggal di sana merupakan warga kelas menengah ke bawah saja. Banyak juga yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

            Apa yang membuat saya bisa berkata demikian? Baiklah, kita mulai perjalanan kita dari halaman rusunawa Kaligawe. Pada hari minggu, tidak saja sepeda anak-anak kecil yang bermain di halaman rusunawa, tidak saja motor-motor warga yang berseliweran, tapi juga mobil-mobil mewah yang mulus parkir di sekelilingnya. Fenomena ini membuat saya heran, mengapa orang yang punya mobil bagus mau tinggal di sini?? Bukankah untuk sekedar kontrak rumah biasa jauh lebih murah daripada harga mobilnya?? Apalagi di rusunawa tidak ada garasi, apa tidak takut mobilnya rusak karena sering kehujanan atau hilang karena keamanan di sana kurang terjamin dengan kurangnya pengamanan??
 
Beranjak ke lantai 2 berisi hunian-hunian warga dan berlanjut ke lantai-lantai atasnya hingga ke lantai 5. Penelitian saya yang mengambil sample dari warga memang memaksa saya harus sering naik turun rumah susun untuk membagikan kuesioner. Pembagian kuesioner sendiri saya lakukan dengan simple, yakni diberikan kepada warga yang saat saya ke sana ada di rumah dan bersedia mengisi. Tiap lantai targetnya ada 5 warga sehingga nanti terkumpul 80 hasil kuesioner dari 77 sample yang dibutuhkan. Tiga sisanya untuk cadangan seandainya ada yang tidak terisi lengkap.

            Dari perjalanan ini, di mana ketika saya dipersilahkan masuk ke dalam untuk memberikan kuesioner, secara tidak sengaja saya pun melihat perabot-perabot penghuni rumah. Karena memang unit yang disewa tidak luas, maka sebagian perabot di letakkan di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, ataupun di dekat ruang tamu. Beberapa perabot yang cukup mengherankan saya yaitu, kulkas, tv plasma berukuran 29 inch, sofa yang terlihat bagus dan mahal. Yang paling mengherankan tentu kulkas, gimana bawanya ke atasa yaa?? Hehehe... Sementara ketika saya dipersilahkan masuk ke rumah yang lain, di ruang tamunya tidak ada apa-apa, termasuk kursi ataupun meja, hanya selembar tikar, dan tumpukan pakaian yang hendak di setrika.

            Ketika saya berkunjung ke rumah  warga dengan kondisi seadanya, saya justru sering diajakin curhat. Penyewa rumah bercerita dengan lengkap keadaan di rumah susun, beberapa kerusakan yang masih ada dan dirasakan, keluh kesahnya dengan berbagai persoalan seputar rumah susun, terutama masalah sewa, iuran, dsb. Hingga pada akhirnya mereka membuka tabir fenomena yang ada di rumah susun. Ternyata banyak terjadi monopoli di rumah susun. Ada warga yang bisa memiliki 3 sampai 4 hunian, baik dalam satu blok maupun blok yang lain. Kemudian apa yang dia lakukan dengan banyak hunian tersebut? Satu unit dihuni untuk dirinya sendiri, yang lain bisa dikontrakkan, dikoskan, atau dijadikan investasi untuk dijual izin sewanya kepada pihak lain. Ada pula yang bercerita bahwa ada warga yang punya rumah di sana untuk “simpanannya”. Nah lo, malah jadi kayak gitu! Kira-kira ini ada hubungannya nggak ya sama lebih banyak mobil di hari minggu daripada di hari biasa??

            Sementara dari pengakuan warga yang kos di lantai 4, dia membayar kos sebesar Rp 225.000,00 padahal harga sewa tertinggi di Rusunawa Kaligawe hanya Rp 150.000,00 sedangkan harga sewa untuk lantai 4 hanya sebesar Rp 100.000,00. Pengakuan warga lainnya menyebutkan bahwa kisaran harga untuk membeli izin sewa di lantai 2 sebesar Rp 12.000.000,00 hingga Rp 15.000.000,00 padahal jika mengurus izin sewa resmi di UPTD Rumah Sewa Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Semarang, hanya dikenai biaya administrasi sebesar Rp 1.850.000,00. Saat ini warga yang tinggal di sana dengan membeli pelimpahan izin sewa sangat banyak. Inilah yang membuat saya tidak jadi heran dengan perabot yang mereka miliki karena mereka yang mampu membeli izin sewa dengan harga segitu memang warga yang terbilang mampu.

            Warga lain menyebutkan bahwa banyaknya terjadi pelimpahan izin sewa disebabkan karena warga sudah tidak kuat dengan biaya hidup di Rusunawa Kaligawe, terutama karena dulu tarif listrik yang digunakan sempat memakai tarif industri sehingga mahal. Yang jelas, baik itu pelimpahan izin sewa, menyewakan kembali ke orang lain, maupun menyewa lebih dari satu unit hunian jelas melanggar surat perjanjian sewa, melanggar Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 14 Th. 2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa, Peraturan Walikota Kota Semarang No. 7 Th. 2009 tentang Penghunian dan Persewaan atas Rumah Sewa milik Pemkot Semarang. Lebih dari itu, hal-hal di atas juga mencederai tujuan rumah susun oleh pemerintah, yaitu untuk membantu menyediakan rumah layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di mana standarnya menurut Menteri Negara Perumahan Rakyat, yaitu yang berpenghasilan di bawah Rp 2.500.000,00. Adanya monopoli rumah susun dan bisnis rumah susun untuk segelintir orang tentu menjadi sangat ironis karena masih banyak warga Kota Semarang yang belum mempunyai tempat tinggal yang layak dan sedang membutuhkan tempat tinggal.

            Jadi jangan pernah bayangkan keadaan Rusunawa Kaligawe seperti rumah susun pada umumnya yang kumuh. Meskipun masih terdapat kekurangan berupa kebocoran instalasi air yang terjadi hampir di semua unit di semua blok, kecuali yang ada di lantai 5 yang merupakan lantai paling atas. Di sana cukup bersih, kecuali di blok F dan G yang cukup bau di lantai dasar karena tidak ada saluran air yang bisa mengalir lancar. Namun di kedua blok tersebut, pada lantai-lantai atas juga bersih. Maklumlah banyak penghuni Rusunawa Kaligawe yang bukan penghuni sembarangan.

            Dari fenomena ini terlihat bahwa kapitalisme tidak hanya dilakukan oleh negara, multinational corporate, perusahaan-perusaahaan besar, tapi dari tataran warga yang paling bawah pun bisa melakukan kapitalisme. Siapa yang punya capital atau modal yang besar, dia yang berkuasa dan yang akan memperoleh keuntungan. Rumah susun yang memiliki tujuan sosial justru dijadikan bisnis oleh segelintir orang untuk memperkaya dirinya sendiri.

            Meskipun demikian, saya tidak berencana menyampaikan hasil skripsi saya kepada pemerintah. Alasannya, untuk melindungi sekelompok orang yang menjadi korban kapitalisme ini, yaitu mereka yang tinggal di sana dengan cara mengekos atau sudah telanjur membeli pelimpahan izin sewa karena kurang mengerti peraturan. Yang patut disalahkan dan mesti ditindak sebenarnya orang-orang yang sengaja menyewakan atau melimpahkan izin  sewanya. Apabila warga sudah menjadi mampu ataupun tidak sanggup tinggal di rusunawa lebih  baik mengembalikannya kepada pemerintah agar bisa didistribusikan kepada yang lain.

            Sebagai penutup, saya juga ingin menyampaikan beberapa pengalaman ataupun nilai yang saya dapat selama penelitian. Di sana selama menjalankan penelitian, banyak tanggapan kepada saya, baik yang menyenangkan ataupun tidak, tapi yang akan saya kenang adalah beberapa perhatian dari warga yang tinggal di sana. Masih teringat oleh saya dan akan saya kenang, bahwa dengan keterbatasannya di antara mereka ada yang memberikan saya segelas jus, sepiring nasi, dan seiris semangka. Bahkan ketika saya kembali lagi datang ke sana untuk mengambil kuesioner yang saya berikan minggu sebelumnya, kembali saya dibelikan segelas jus. Jika yang pertama coklat maka yang kedua strawberry. Pelajaran yang dapat dipetik yaitu cobalah kita untuk berbagi dalam keadaan apapun, meski kondisi kita cukup sulit tetapi apabila ada orang yang lebih sulit dari kita, maka bantulah dia. Hal yang tidak saya dapatkan ketika berkunjung ke rumah wakil rakyat di senayan, yang katanya akan membangun gedung baru bernilai triliunan, tetapi untuk memberikan segelas air saja kepada mahasiswa-mahasiswa yang jauh-jauh datang dari Semarang tidak sanggup.

            Saya di sana juga merasa kecil, meski saya menyandang gelar mahasiswa tetapi saya belum meraih apapun. Sementara mereka telah mempunyai kehidupan, telah bekerja dan berkeluarga sedangkan saya masih belum jelas. Kita juga harus menghargai siapapun, termasuk orang yang tidak kita kenal sekalipun karena bisa jadi kita membutuhkan bantuan dia dan hanya dia yang bisa membantu kita.

            Terima kasih kepada seluruh warga Rusunawa Kaligawe. Mohon maaf aspirasi kalian tidak bisa saya sampaikan kepada pemerintah, tidak lain untuk melindungi sebagian dari kalian yang juga telah membantu penelitian saya. Saya tidak ingin hanya mengambil manfaat dari kalian, kemudian tidak memperdulikan kalian, atau bahkan menyengsarakan kalian. Setidaknya  saya berusaha untuk menjadi orang yang tahu cara berterima kasih. Namun saya juga berharap kekurangan yang ada di Rusunawa Kaligawe bisa dibenahi suatu saat nanti. Skripsi saya ini juga saya persembahkan untuk kalian, para warga di Rusunawa Kaligawe.

            Bagi teman-teman yang lain, inilah sedikit gambaran yang dapat saya berikan mengenai pemanfataan Rusunawa Kaligawe. Dimana muncul sejumlah fenomena yang menarik dan mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dari sini kita pun menjadi tahu, bahwa budaya kapitalisme bisa terjadi di mana saja dalam hal apa saja. Selama uang menjadi dewanya, maka akan selalu ada ketidakadilan, akan selalu terjadi si kuat menindas yang lemah.

Untuk teman-teman yang akan memulai membuat skripsi, coba galilah fenomen-fenomena yang mungkin saat ini masih samar-samar dan belum banyak orang yang tahu. Judul skripsi yang bagus memang membanggakan, namun bisa menggali fenomena yang samar-samar juga tidak kalah membanggakan. Semoga pengalaman kecil ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.

4 komentar:

  1. ASS WR WB. luar biasa sekali tulisannya pas banget dng jdl skripsi sy. barangkali bisa berbagi file skripsi nya mass. email hanangew@gmail.com

    BalasHapus
  2. ASS WR WB. luar biasa sekali tulisannya pas banget dng jdl skripsi sy. barangkali bisa berbagi file skripsi nya mass. email hanangew@gmail.com

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum wr. wb. Pas sekali mas tulisannya hanya sama di lokasi saya yaitu Rumah Susun Kaligawe. Barangkali mas berkenan bisa berbagi file skripsinya mas, email 23naufal@gmail.com

    BalasHapus