Senin, 07 Desember 2015

Pilihan


Seperti menanam padi di gurun
Atau menumbuhkan kaktus di gunung


Seperti memelihara lele di akuarium
Atau mencemburkan mas koki ke tambak


Seperti memakai jaket di pantai
Atau mengenakan bikini di gunung


Hidup itu tersedia aneka pilihan
Pilihan tepat membuat tumbuh cepat
Pilihan pas membuatnya nampak pantas


Tapi tak ada yang bisa menyalahkan
Kalau lele tetap bisa hidup di akuarium


Seperti pria tak mampu menolak
Jika seorang wanita berbikini di gunung


Meski pasti banyak yang menyalahkan
Kalau mas koki hanya bertahan beberapa jam


Karena hidup selalu tentang pilihan
Memilih dan dipilih
Atau tidak dipilih


Dan pilihan itu tak datang sendiri
Ia mengangkut persepsi sebagai aditifnya

Malam dan Hujan



Malam itu meneduhkan
Hujan itu  menyejukkan


Malam itu menyandarkan letih
Hujan mengajarkan sabar


Waktu malam, kita menanam mimpi
Waktu hujan, kita merenungi arti


Kalau sekarang gelap
Itu tak akan lama
Karena pagi menjanjikan mentari


Kalau sekarang dingin
Itu sekedar menyadarkanmu
Agar kau tak menyiakan mentari

Rabu, 18 November 2015

Memaknai Istilah Senggol Bacok


Semarang adalah salah satu kota yang miskin konflik. Apa penyebabnya? Budaya Jawa yang kuat melekat dan membentuk karakter penduduknya. Budaya Jawa seperti ramah, sopan, dan menjunjung tata krama menjadi pondasinya. Ditambah budaya “ewuh pekewuh” sebagai bagian dari pengendalian diri orang Jawa. Hingga sangat kecil niat untuk menyakiti orang lain.

Namun hal ini jangan disalah artikan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang Jawa. Mereka pun bisa bertindak kejam jika diperlakukan seperti itu. Apa landasan ini? Jika kita memperhatikan dalam pakaian adat jawa, di mana menyelipkan keris di bagian belakang, ini mengindikasikan hal tersebut. Maksudnya? Orang Jawa akan selalu bersikap baik dengan siapapun. Mereka menjadikan senjata bukan untuk gagah-gagahan ataupun menakuti. Hanya sebagai alat perlindungan diri. Hanya dalam kondisi terdesak saja keris itu terlepas dari sarungnya.

Karakter orang Semarang pun tidak bisa dijauhkan dari filosofi tadi. Orang Semarang tidaklah selembut orang Jogja atau Solo. Perpaduan nilai dengan berbagai budaya lain akibat menjadi kota pesisir penyebabnya. Namun Semarang juga tidak sekasar Jawa Timuran dalam tata pergaulan.

Di Semarang, ada suatu kampung yang cukup terkenal dengan istilah “senggol bacok”. Istilahnya terdengar mengerikan meski sebenarnya lebih ke arah pesan, “Jangan melukai atau mengganggu, kalau tidak ingin dilukai”. Kampung itu letaknya 6-7 kilometer dari kampungku. Beberapa temanku tinggal di sana.

Saat SMA, aku memaknai istilah “senggol bacok” dan menunjukkannya secara harfiah. Jiwa muda dengan emosi yang masih meletup-letup dan hasrat menunjukkan eksistensi yang masih tinggi menjadi dua hal yang melatarbelakanginya. Namun dengan meningginya tingkat pendidikan, bertambahnya usia, dan status pekerjaanku sekarang, aku tidak lagi mengekspresikan secara harfiah istilah tadi. Ada rasa malu jika bertindak demikian. Sebab jika aku masih bertindak seperti itu, apa bedanya aku dengan preman pasar?

Aku akan memilih cara-cara yang elegant tanpa mengurangi makna. Siapa yang melukai, berarti telah siap dilukai. Siapa yang mengganggu, berarti telah siap diganggu.

Saat fisik kita disakiti ataupun dipermalukan, kita tidak perlu membalasnya dengan hal serupa bukan? Meski saat itu terjadi, harga diri kita pasti terkoyak. Cukup itu menjadi alasan untuk tidak berdiam diri.

Lantas apakah "senggol bacok" sama artinya dengan balas dendam? Tentu saja tidak. “Senggol Bacok” sejatinya hanyalah himbauan bernada keras. Sedangkan suatu himbauan hendaknya dipatuhi. Jika tidak, tentu ada konsekuensi logis. Siapa yang menanam kebaikan, akan memanen kebaikan pula. Begitu juga sebaliknya.

Analogi  kerja "senggol bacok" tak ubahnya sebuah rautan. Saat ada pensil yang menusuknya dalam, saat itu pula ia akan merautnya.

Sabtu, 14 November 2015

Mengapa Perlu Jadi Pengusaha?


Sejatinya hidup adalah pilihan, apakah akan bekerja pada pemerintah, orang lain, maupun usaha sendiri. Masing-masing alasan yang menyertainya tidak bisa disalahkan. Namun kalau boleh mengurai sedikit alasan mengapa perlu jadi pengusaha, maka inilah alasannya:
  1. Ada seni tersendiri
Saat kita bekerja ikut orang lain, maka jobdesk kita sudah ditentutakan atau diatur, tetapi saat kita usaha sendiri kitalah yang menentukan jobdesk kita sendiri, bahkan arah gerak usaha mau bagaimana sangat tergantung kelihaian kita membaca situasi. Tentu akan saja ada kendala ataupun hambatan dalam berusaha. Namun disinilah seninya. Upaya kita menghadapi berbagai kendala itu untuk terus melaju akan menghasilkan cerita yang indah kelak. Seperti banyak cerita sukses pengusaha yang lantas menuliskan autobiografinya.
  1. Dapat memaksimalkan keuntungan
Saat kita bekerja ikut orang tentu pendapatan kita sesuai dengan kesepakatan kita di awal bekerja yang dikenal dengan gaji. Ketika perusahaan meraih untung luar biasa, tetap saja yang kita peroleh berupa gaji. Kalau soal bonus itu mungkin, tapi lebih baik tidak terlalu berharap untuk sesuatu yang bersifat sukarela perusahaan.

Sementara jika kita membuka usaha sendiri, saat usaha kita laris atau ramai, tentu keuntungan yang kita dapatkan juga meningkat mengikuti sejauh mana larisnya usaha kita. Namun jika merugi, bisa menjadi sangat merugi, apalagi masih harus tetap menggaji karyawan yang ikut kita. Namun itulah resikonya. Bekerja pada orang pun saat perusahannya merugi, bayang-bayang akan PHK juga mengintai.
  1. Menyiapkan pekerjaan anak kita kelak
Kelak persaingan kerja di masa depan akan menjadi lebih ketat. Apalagi situasi ekonomi negara yang semakin tidak jelas akan berdampak sangat pada sektor usaha dan penyerapan tenaga kerja. Belum lagi jika tenaga kerja asing dengan skill menengah turut didatangkan seperti isu yang saat ini beredar, semakin sempit saja peluang kerja.


Rasanya tak ada orang tua yang menginginkan anaknya kelak kesusahan bekerja. Meskipun ini terdengar seperti nada pesimis pasalnya siapa tahu anak kita kelak punya kemampuan di atas rata-rata yang justru sangat mudah memilih pekerjaan. Ibarat pepatah, sedia payung sebelum hujan jauh lebih baik daripada mencari payung saat sudah hujan. Cukuplah orang tuanya yang susah payah merintis usaha, jatuh bangun menghadapi beragam kendala. Biarkan anak kita nanti punya banyak pilihan. Memilih bekerja sesuai minatnya, memilih bekerja sesuai perusahaan / instansi yang menerimanya, memilih melanjutkan usaha orang tuanya, atau memilih merintis usaha baru yang sesuai minatnya. Poin pentingnya adalah kelak kita tak membiarkan anak kita begitu mengemis terhadap pekerjaan.
 
Kiranya itulah segelintir alasan mengapa perlu jadi pengusaha. Mungkin akan ada alasan-alasan lain yang menyertai, tapi setidaknya tiga alasan di atas merupakan sokogurunya. Hahaha... Sudah minat sekarang berusaha? Ayolah... Kita hanya tahu jalan di depan rusak saat kita telah berjalan, bukan saat kita masih berdiam diri. Toh kalaupun jalan itu rusak, kita masih punya banyak cara untuk bisa melewatinya bukan?!

Selasa, 02 Juni 2015

SNG dan Petuah Bijak


            SNG atau dalam bahasa awamnya dikenal dengan liputan news daily, yaitu sebuah liputan untuk menyampaikan informasi terbaru kepada masyarakat secara live. Tugas SNG merupakan salah satu tugas yang didalamnya banyak ketidakjelasan, baik soal waktu maupun tempat. Jika ada kejadian luar biasa, jangan harap bisa pulang cepat, tak jarang justru harus siap untuk digeser ke luar kota.

            Namun tak perlu membahas pekerjaan di sini karena pasti jadi nggak asyik. Lalu apa dong yang mau dibahas? Bahas yang ringan-ringan aja dan renyah. Apa itu? Asmara? So pasti! Tapi bukanlah drama atau roman yang akan diulas disini karena aku nggak bakat untuk nulis yang kayak gitu. Terus? Udah, baca dulu aja, jangan banyak nanya mulu! Hahaha…

            Perjalanan ke lokasi live terkadang memerlukan waktu yang lama, apalagi jika macet. Sembari menunggu tiba di lokasi, ada saja bahan obrolan yang mengemuka. Apa yang akan temen-temen baca berikut adalah obrolan yang berkesan buatku. Tepatnya, nasehat yang berkesan buatku.

1.        Pak Mamat TX

Dalam perjalanan menuju Istana Merdeka untuk live Konferensi Pers kenaikan harga BBM, tanpa ada angin tanpa ada hujan, Pak Mamat menasehatiku.

       “An, kalau milih cewek jangan yang cantik mukanya aja, tapi yang cantik hatinya”

          Tentu saja aku kaget mendengar Pak Mamat berbicara sebijak itu. Jauh sekali dari perangai kesehariannya. Padahal belum ada sebutir gorengan pun yang ia santap. Dia bercerita panjang lebar tentang ini itu. Aku menyimaknya sambil manggut-manggut aja. Meski perjalanan dari KPK menuju Istana terjebak macet, tetapi perjalanan itu tidak terasa membosankan.

2.        Yopi TX dan Andi ME

Tugas bersama dua orang pengantin baru tentu memberi konsekuensi tersendiri. Apalagi menempuh perjalanan jauh ke Istana Bogor untuk antisipasi adanya Konferensi Pers dari Presiden perihal kisruh Kapolri.

Sempat diwarnai insiden mobil mogok sehingga harus diganti, perjalanan pun dilanjutkan dengan lancar. Dua orang teman yang baru menikah itu pun angkat suara.

“An, kalau nikah mas kawinnya jangan seperangkat alat sholat sama Al-Qur’an kalau nggak siap sama konsekuensinya” kata Andi.

“Konsekuensinya berat” Yopi menimpali.

“Kalau seperangkat alat sholat, kamu harus bisa menjaga biar istrimu nggak ninggalin sholat. Kalau Al-Qur’an, kamu harus bisa mengajarkan Al-Qur’an kepada istrimu” terang Andi.

“Iya, aku tahu perihal konsekuensi itu. InsyaAllah nanti aku dan istriku kelak berusaha sama-sama untuk belajar dan saling mengingatkan” jawabku coba menanggapi.

3.        Frans ME

          Agak menyimpang sedikit, kali tidak dalam tugas SNG tetapi tugas program Damai Indonesiaku di Bogor. Om Frans mengingatkanku dan menasehatiku.

“An, kapan kamu nikah? Kerjaan udah ada, udah karyawan tetap, nunggu apalagi? Jangan ditunda-tundalah!” cerocos Om Frans.

Nomermu apa? Indosat apa Telkomsel? Ini aku ada kenalan” lagaknya coba membantu.

“Indosat Om” jawabku yang ingin mengikuti sejauh mana ia beraksi.

          Lalu dia mengeluarkan HP-nya. Dengan telunjuk, ia scrool nomer kontak yang ada. Lagaknya nampak meyakinkan bahwa ia memang berniat membantuku. Akhirnya telunjuknya pun mengetuk layar HP-nya.

“Ini An, Indosat. Semok dan banyak duitnya” kata Frans sambil menyodorkan HP-nya.

          Aku pun untuk menghormatinya, maka kutengok HP-nya. Ulalala… aku langsung shock. Ternyata yang ia perlihatkan adalah foto Mbak Heni, teman sedivisiku sendiri. Owalaaah… dasar Om Frans! Becanda mulu! Nggak pernah serius!
         
          Tapi makasih Om Frans atas perhatian dan nasehatnya. Langkahku masih panjang om, tak perlu buru-buru namun tak berarti menunda-nuda juga. Nanti kalau sudah menemukan yang cocok, pasti dikabarin.

4.        Irman UPM

Sebagai senior sekaligus mantan temen kosan, dia banyak memberiku nasehat. Tentu untuk hal-hal yang positif. Namun entah mengapa justru yang terkenang adalah nasehatnya yang nyeleneh.

“An, mumpung belum nikah, nakal-nakal dulu. Jangan sampai nakalnya telat, udah nikah baru nakal” katanya dengan intonasi layaknya memberi nasehat.

Kalau dinasehati seperti ini, aku jadi bingung. Pokoknya semoga kamu lancar aja deh dalam menyiapkan acara pernikahanmu sampai di hari H! Doakan aku agar bisa segera menyusul.

            Akhir kata, semua nasehat teman-teman ini pasti aku dengarkan dan akan aku jadikan sebagai pemicu semangat untuk menyempurnakan setengah agamaku. Terima kasih teman-teman. Sekedar tulisan iseng untuk menghabiskan liburan. Apabila ada kata yang kurang berkenan, dimaafkan aja yaa. Hehehe…


Sabtu, 04 April 2015

Warung Nasi Kucing, Warung Egaliter


            Warung nasi kucing atau sering disebut juga dengan nama kucingan atau angkringan jika di kota Yogyakarta, sejatinya merupakan warung sederhana dengan sebuah gerobak sebagai tempat menaruh beragam jenis makanan dan teko air. Dinamakan nasi kucing bukan berarti warung ini menyediakan daging kucing, melainkan karena porsi nasi yang disuguhkan menyerupai porsi nasi untuk memberi makan kucing.

            Menu nasi kucing biasanya adalah nasi pindang, nasi daging, nasi teri, nasi ayam namun semuanya dalam porsi yang mini. Sebagai pendamping, disediakan beragam jenis makanan, seperti gorengan, sate usus, sate bakso, sate kerang, paru, tempe dan tahu bacem, dan beragam makanan lainnya. Untuk minum, menu andalannya adalah susu jahe dan jahe hangat. Di samping tetap menyediakan minuman populer seperti teh manis dan kopi. Satu hal yang bikin bangga, makanan dan minuman yang tersaji semuanya fresh, asli buatan anak negeri, bukan impor.

            Warung ini banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan. Buka dari jam empat sore hingga yang paling malam sampai jam dua dinihari. Pengunjung warung ini berasal dari banyak kalangan. Dari pelajar, mahasiswa, sopir bus atau truk, buruh pabrik, tukang batu, hingga karyawan-karyawan kantoran yang mentereng.

            Meskipun warung nasi kucing merupakan warung sederhana, berada di tempat yang sederhana, menjual makanan yang sederhana, tidak berarti warung ini hanya bernilai sederhana. Seperti pengunjung warung yang sudah saya sebutkan di atas. Berasal dari berbagai jenis profesi. Dari pekerja kasar sampai ke mereka yang bekerja kantoran. Mereka tetap makan makanan yang sama. Terkadang mereka berjejer duduk lesehan di atas terpal yang digelar ditrotoar atau area lapang disekitarnya.


            Lalu apa saja yang mereka lakukan? Tentu saja makan dan minum adalah hal yang pasti, sembari berbincang ngalor-ngidul tentang berbagai hal. Dari aktivitas mereka sehari-hari, rencana-rencana kecil mereka, sampai ke masalah pujaan hati. Namun ada beberapa hal yang hampir pasti tidak dilakukan di warung nasi kucing. Sangat mencolok bedanya jika dibandingkan dengan makan di tempat makan yang mentereng.

Lalu apa saja aktivitas yang berbeda itu? Yang pertama adalah selfie. Yang kedua tak jauh berbeda dari yang pertama, yaitu foto makanan. Serta yang ketiga adalah aktivitas iseng, seperti memandangi pengunjung lain yang kece.

Selfie di tempat makan adalah aktivitas yang kini lazim dilakukan setelah maraknya media sosial. Selfie biasanya dilakukan sebelum makanan datang, saat  makanan sudah datang, saat makan, dan setelah makan. Tak kalah ketinggalan adalah foto makanan. Biasanya aktivitas ini dilakukan setelah semua makanan yang dipesan terkumpul. Foto-foto itu kemudian diupload ke media sosial. Sedangkan untuk aktivitas memandangi pengunjung lain yang kece biasanya terjadi di tempat makan yang “wah”, di mana pengunjung yang datang telah berdandan maksimal.

Lantas mengapa aktivitas itu tidak terjadi di warung nasi kucing? Jawabannya sederhana. Karena sederhananya tempat mereka makan. Karena sederhananya menu makanan yang disajikan. Serta karena sederhananya dandanan pengunjung-pengunjung yang datang. Mereka biasanya mampir setelah pulang beraktivitas, meski tak jarang yang memang berniat ke warung nasi kucing saja.

Apa akibatnya? Akibatnya ialah mereka menjadi tidak sering-sering mengeluarkan HP yang mereka miliki, kecuali jika ada panggilan atau pesan. Hal ini tanpa disadari mempersempit jurang pemisah antara mereka yang mampu dan mereka yang biasa saja, antara mereka yang ber-HP bagus dan ber-HP biasa. Selain itu, dengan tidak adanya “obyek” menarik yang menjadi perhatian, otomatis perhatian tertuju kepada rekannya masing-masing.

Pada akhirnya aktivitas yang mereka lakukan pun sama, meski berasal dari kalangan yang berbeda. Dengan minimnya aktivitas menggunakan HP dan fokus pandangan yang tidak terbelah, maka berdampak positif pada meningkatnya intensitas obrolan diantara mereka. Tentu ini akan sangat baik untuk memupuk persahabatan menjadi lebih erat. Tak jarang ide segar atau rencana besar muncul dari obrolan sederhana, di tempat sederhana, dalam nuansa yang tenang di bawah payung malam yang meneduhkan.

Kawan, ada satu hal lagi yang perlu kita ketahui dengan lebih dalam. Sebenarnya apa motivasi orang-orang datang ke warung nasi kucing? Untuk makan atau minum? Yaph, sepertinya itu bukan jawaban yang salah. Tetapi ada hal yang lebih dari itu. Apa coba?

Mari kita telaah rencana-rencana. Orang yang malam-malam kelaparan tentu akan menemukan makanan yang mengenyangkan dan itu sulit dipenuhi di warung nasi kucing dengan porsi makannya. Dia bisa memilih makan di warung nasi goreng yang sama-sama buka malam hari. Orang yang ingin makan enak tentu tidak akan menjadi warung nasi kucing sebagai prioritasnya, tetapi bisa memilih warung seafood atau yang lainnya.

Lantas apa motivasinya orang-orang datang ke warung nasi kusing? Tak lain hanya untuk nongkrong. Warung nasi kucing dengan segala kondisinya memang layak untuk menjadi tempat nongkrong. Berada di tempat terbuka dengan tiupan angin yang sepoi-sepoi menciptakan suasana yang alami. Duduk lesehan sehingga menciptakan suasana kekeluargaan layaknya di rumah. Jauh dari hingar bingar musik jedag-jedug sehingga tiap obrolan lebih mudah dimengerti. Jauh dari nuansa hedonisme menjadikan tiap orang menjadi apa adanya. Berada di pinggir jalan yang mudah dijangkau dengan parkir yang tidak jauh dari tongkrongan. Waktu tutup yang bisa diulur sampai semua pengunjung pergi menjadi faktor kunci bersama harga makanan dan minuman yang terjangkau oleh kantong.

Dengan kondisi semacam itu, maka banyak orang menjadikan warung nasi kucing sebagai tempat tongkrongannya. Meski sebenarnya sebagian dari pengunjung itu mampu untuk nomgkrong di tempat yang lebih elite. Lagi-lagi keunikan nuansa di warung nasi kucing sebagai faktor pembedanya. Banyak hal yang lebih mengental di warung nasi kucing daripada di tempat yang lebih elite. Karena apa? Seperti yang tadi sudah saya jelaskan, karena di warung nasi kucing kita hanya fokus pada teman-teman kita sedangkan di tempat yang lebih elite, fokus kita bisa terbelah pada hal menarik lainnya yang terpampang di sana.

Warung nasi kucing, warung sederhana yang menanamkan nilai-nilai yang luar biasa. Orang dari berbagai kalangan boleh singgah, termasuk mereka yang jadi bos. Tetapi semuanya harus tunduk pada norma yang seolah-olah tumbuh di warung nasi kucing. Tidak ada kemewahan yang dipamerkan. Semuanya sederhana, harus sederhana. Semuanya sama, diperlakukan sama dan melakukan hal yang sama. Itulah mengapa saya menyebut warung nasi kucing sebagai warung egaliter, warung kesetaraan. Di samping istilah warung persahabatan yang layak juga disematkan ke warung seperti ini.



Minggu, 15 Februari 2015

Rindu Kajian




Assalamu’alaikum wr. wb.

Rutinitas terkadang memasung kita untuk melakukan aktivitas lainnya. Bukan hal yang salah sebab dalam hidup memang perlu skala prioritas. Rutinitas tentu akan selalu menjadi prioritas kita karena adanya tuntutan. Bagi yang bekerja tentu tuntutan untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarga, untuk yang masih sekolah atau kuliah tentu tuntutannya adalah untuk lulus. Pada pembahasan di sini akan saya sempitkan mengenai rutinitas kerja karena memang posisi saya sedang bekerja.

Seperti yang saya sebutkan di atas, kita bekerja karena adanya tuntutan dan hasil yang hendak diperoleh. Dengan bekerja, kita bisa mendapatkan materi apa saja yang kita inginkan. Tentu sesuai kadar yang dihasilkan oleh keringat kita. Namun jujur, meski bisa mendapatkan apa yang kita mau, ingin itu bisa beli, ingin makan ini bisa terwujud, mau jalan-jalan ke sana juga kesampaian, tapi tetap saja ada yang kurang.

Sejak SD kita selalu diajarkan bahwa kebutuhan pokok ada 3, yaitu sandang, pangan, papan. Tapi sebenarnya kebutuhan pokok manusia lebih dari itu. Kebutuhan-kebutuhan yang saya sebutkan di atas tadi adalah kebutuhan untuk fisik kita. Di luar itu, rohani atau jiwa kita juga punya kebutuhan yang mesti dicukupi.

Lalu apa saja kebutuhan itu? Kebutuhan afeksi yang berupa kasih sayang dari orang-orang di lingkungan sekitar, kebutuhan untuk dihargai dan diperlakukan adil, kebutuhan rasa aman, tenang, tentram, dan nyaman. Untuk kebutuhan yang pertama dan kedua dapat diperoleh dari interaksi pergaulan. Sedangkan untuk kebutuhan yang ketiga tidak bisa hanya mengadalkan interaksi pergaulan semata. Rasa aman mungkin bisa diperoleh dengan menerapkan sistem keamanan yang ketat, tapi rasa tenang, tentram, dan nyaman?

Orang yang hidupnya sudah serba berkecukupan secara materi pun belum tentu bisa merasakan tenang, tentram, dan nyaman, karena apa? Karena rasa tenang, tentram, dan nyaman dirasakan oleh hati, oleh rohani, oleh jiwa kita. Orang kaya takut hartanya dicuri, pengusaha takut kalah tender atau nilai sahamnya merosot, dan beragam contoh lain yang mudah ditemukan namun tak bisa disebutkan satu per satu.

Lalu bagaimana agar kita bisa merasakan tenang, tentram, dan nyaman? Karena ketika hal tersebut dirasakan oleh hati kita, maka kita perlu mendekatkan hati kita kepada Sang Pemberi Hati, Allah Ta’ala. Allah sendiri telah menjelaskan hal ini dalam firmannya:

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. "(QS .  Ar-Ra'du: 28)

Sudah jelas bahwa untuk merasakan ketenangan, kita perlu banyak-banyak mengingat Allah. Lakukan apa saja yang bisa mengingatkan kita kepada Allah, seperti menjaga sholat lima waktu, mengerjakan sholat sunnah, berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan menghadiri majelis ilmu.

Sama seperti tubuh kita yang memerlukan makanan, rohani kita juga memerlukan makanan. Apakah makanan untuk rohani kita? Tentu saja ilmu-ilmu yang berguna. Ilmu yang menuntun kita menjalani hidup dengan baik. Meliputi beragam ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits, tafsir Al-Qur’an dan Hadits dari Imam 4 Mahzab, kisah-kisah keteladan dari Rasulullah dan para sahabat, kisah-kisah keteladanan dari nabi-nabi terdahulu, serta beragam kajian ilmu lainnya. Dengan asupan ilmu tersebut, bukan hanya membuat bertambah ilmu kita, tetapi hati juga akan menjadi tenteram karena dekat dengan Allah, sekaligus menambah motivasi diri untuk menjadi lebih baik.
***

Awal mula saya ikut kajian diajak oleh dua sahabat saya sewaktu kuliah. Sebut saja Bunga. Eh salah, maksud saya Wahyu dan Dwi. Hahaha. Dua orang ini sangat gigih dalam memperdalam ilmu agama. Bahkan kajian yang berada di luar kota pun, mereka tidak mau ketinggalan. Dua orang yang telah berusaha menjalankan syariat secara kaffah dan istiqomah.

Awalnya, saya membayangkan bahwa mengikuti kajian itu membosankan. Bisa dibilang saya masih setengah hati. Maklum, itu karena saya hanya melihat pengajian yang ada di sekitar rumah, di mana topiknya itu-itu saja. Namun saya memiliki alasan lain untuk belajar ilmu agama. Alasan yang mungkin terdengar konyol. Yuph, agar bisa mendekati seorang akhwat KAMMI. (Baca tulisan saya: Keuntungan dan Kerugian Kacamata Ketinggalan).

Menurut saya, akhwat yang saya maksud tersebut memang mempesona. Bukan hanya elok rupa, namun kepribadiannya juga luar biasa. Mengenakan jilbab syar’i dan rok panjang yang memang khas KAMMI, pergaulannya terjaga, serta memiliki ilmu agama yang cukup dalam karena ia dikenal juga sebagai murrabi / pembimbing dakwah.

Dari semua informasi yang saya dapatkan dari teman-teman saya yang juga menjadi temannya, akhlaknya tanpa cela. Dia benar-benar menjaga dirinya dari laki-laki yang bukan mahramnya. Berboncengan sepeda motor dengan laki-laki pun dia enggan.. Selalu saja komentar-komentar positif yang muncul saat saya bertanya tentangnya. Bahkan ketika saya berkunjung ke kosnya, dia mempersilahkan saya duduk di kursi panjang teras kosnya, tapi dia sendiri memilih berdiri. Memang jadi kikuk sih, tapi memang harusnya begitu. Ada hijab / pembatas. Ah, entah mengapa ini justru menjadi tantangan tersendiri buat saya.

Ini bisa menjadi semangat saya untuk belajar agama karena dua hal. Pertama, Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 26 yang menyatakan bahwa wanita baik-baik untuk laki-laki-laki yang baik-baik dan sebaliknya.

" Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). "(QS. An-Nur: 26)

Berangkat dari ayat di atas, maka saya berpikir jika saya ingin mendapatkan istri yang baik-baik, maka saya pun harus menjadi laki-laki yang baik-baik. Kedua, dengan juga mengerti ilmu agama, diharapkan bisa nyambung ketika ngobrol dan mengerti pola-pola pendekatan syar’i. Alasan yang kedua maksain banget. Nggak ada dalam Islam pendekatan syar’i, yang ada ta’aruf, khitbah, lalu akad (kalau salah mohon dilurusin).

Namun begitu ikut kajian sekali, motivasi saya langsung berubah. Saya benar-benar butuh kajian ini karena memang butuh ilmunya. Banyak sekali hal-hal yang ternyata belum saya ketahui. Hal-hal yang selama ini dianggap wajar tetapi ternyata berpotensi menimbulkan dosa.

Dari sini saya pun mulai meluruskan niat dan belajar ilmu ikhlas (ingat film Kiamat Sudah Dekat saat Fandy belajar ilmu ikhlas). Pegangan saya masih surat An-Nur ayat 26. Jika memang pada akhirnya berjodoh tentu alhamdulillah, jika tidak berjodoh setidaknya gara-gara mengejar dia ilmu agama saya jadi meningkat. Kesimpulan lainnya adalah jika tidak berjodoh maka saya belum menjadi laki-laki yang benar-benar baik yang pantas mendapatkan wanita baik-baik seperti dia. Alhamdulillah, akhirnya dia sudah menikah, tapi bukan dengan saya. Hiks...

Dari situ saya jadi tahu tentang beberapa hal yang kurang diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentang varian syirik, bid’ah, tentang memanjangkan jenggot, tentang hukum bersentuhan dengan wanita yang bukan muhrimnya, tentang sholat di mana celana tidak boleh menutupi mata kaki, tentang merapatkan kaki dan bahu saat sholat berjamaah, hukum musik, hukum riba, dan beragam hal lainnya. Saya juga jadi tahu sedikit bahasa Arab, seperti syukron, afwan, jazakallah khairan, waiyyakum, barakallahu, ukhti, akhi, dan sebagainya.

Memang dari apa yang saya tahu itu tidak semuanya sudah diamalkan. Bisa dibilang saya memang masih munafik. Seperti tidak menyentuh wanita yang bukan muhrimnya, misalnya dalam bersalaman. Padahal ada hadits shahih yang melarangnya.

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (Hadits Shohih Riwayat. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544)

Meskipun perumpamaannya sudah terdengar sangat mengerikan, tetapi tetap saja ini sulit dilakukan. Apalagi saat Lebaran. Ini disebabkan dalam budaya kita bersalaman sudah menjadi hal yang biasa, termasuk antara laki-laki dan wanita. Tentu lebih mudah jika seorang wanita menolak bersalaman daripada seorang laki-laki yang menolak. Nanti bisa menyinggung dan dianggap sombong, sok ustad, dan yang lebih celaka jika dianggap aliran sesat.

Rasulullah sendiri mengajarkan dakwah yang lembut dan untuk itu memang saya belum bisa. Alih-alih berdakwah, dengan cara yang salah bisa jadi orang tersinggung, menjauh, dan menganggapnya sebagai aliran sesat. Jangan sampai apa yang benar justru jadi salah. Yang saat ini bisa dilakukan cuma meminimalisir tidak menyentuh wanita secara sengaja. Cuma kadang ada aja cewek yang gemes terus saya ditepok. Huh! Kepedean! Haha...

Memanjangkan jenggot dulu pernah saya lakukan. Namun memasuki masa-masa pencarian kerja terpaksa jenggot dicukur. Standar muka rapi atau berpenampilan menarik di Indonesia masih sulit mencantumkan jenggot. Alasan lain yang kurang disukai perusahaan karena jenggot identik dengan teroris. Jelas ini ngawur banget tapi itulah persepsi yang berkembang di masyarakat. Padahal memanjangkan jenggot sendiri dianjurkan Rasulullah, salah satunya agar berbeda dengan orang-orang yang musyrik sebagaimana diutarakan dalam hadits berikut:

"Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah (jangan cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian. "(HR. Al-Bukhari no. 5892)

Untuk musik, dulu memang sempat saya tinggalkan. Kalau sekarang sih, mulai kecanduan lagi. Jika ditanya mengapa? Saya pun sulit menjelaskan. Yang pasti di dunia kita sekarang, kita susah menghindar sedetik pun dari musik karena hegemoni musik sudah menjangkau semua aspek di semua tempat.

Dulu butuh waktu lama saya bisa menerima ketentuan ini. Tidak lain karena sudah menjamur pula musik-musik religi, baik yang modern maupun tradisional. Bahkan tak jarang di acara pengajian pun diselingi dengan pertunjukan musik.

Namun Dwi mengatakan, “Orang yang pintar akan menundukkan akalnya pada Al-Qur’an dan Hadits karena mereka tahu bahwa akal itu memiliki keterbatasan tapi Al-Qur’an dan hadits adalah sumber kebenaran yang hakiki”. Lalu dia membukakan hadits perihal larangan musik.

"Akan ada beberapa kaum dari ummatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi laki-laki), khamar, dan musik." [Diriwayatkan oleh Al-Bukhary secara mu'allaq, Abu Dawud, Al-Baihaqy, dan Ibnu Hibban dari Abu 'Amir atau Abu Malik Al-Asy'ary]

Iya, memang saya masih munafik banget. Berlumuran dosa pula. Sudah tahu ilmunya masih saja dilanggar. Entah godaan zaman dan pergaulan yang terlalu kuat atau memang iman saya yang terlalu lemah. Cuma saya ingin suatu saat nanti benar-benar menjadi muslim yang kaffah. Untuk saat ini saya masih kesulitan. Mungkin bahasa kesulitan kurang tepat karena terlalu mengada-ada, tapi memang saya tak menemukan kata lain untuk mendeskripsikan yang  saya alami sekarang.

Saat ini rutinitas membatasi gerak saya. Ditambah saya yang belum mengenal kota ini sepenuhnya. Mana tempat yang menyelenggarakan kajian, mana alamatnya. 

Belajar agama saat ini hanya didapat dari membaca artikel on line dan membaca buku. Terkadang jika mendapatkan tugas di KPK, maka sehabis Zuhur baru bisa mengikuti kajian singkat yang diadakan pengurus mushola setempat. Biasanya membahas satu hadits dengan durasi antara 15-30 menit saja. Lumayan untuk menyiram jiwa yang kering.

Memang masih ada cara lain sih mendapatkan ilmu agama. Termasuk jika beruntung memegang program religi semacam Damai Indonesiaku, Hijab Stories, Butiran Ilmu, atau Asmaul Husna. Makanya kalau bisa seluruh urusan crew bisa selesai dulu sebelum shooting, jadi ketika shooting bisa mendegarkan dakwah uztadnya. Pokoknya jangan sampai hidup ini hanya diisi keperluan dunia saja. Siraman rohani memang perlu bahkan sangat perlu untuk menetralisir racun dunia yang semakin menggila.

Ilmu tetaplah ilmu. Kebenaran tetaplah kebenaran. Dakwah yang baik memang disertai dengan keteladanan. Namun dakwah yang tidak disertai keteladanan, bahkan jika pendakwah justru berbuat sebaliknya, jangan ikuti kelakuan pendakwahnya tapi ikuti ilmu benar yang telah disampaikannya.

Bagi saya, nasihat dari seorang  penjahat pun akan saya dengar dan akan saya kerjakan selama nasehatnya memang baik dan benar. Kita bisa belajar ilmu dari siapa saja. Meski memang harus hati-hati. Selama ada dalil kuat dan shahih yang menyertainya, bisa kita terima. Namun jika hanya opini, pendapat, kata si fulan, maka tak perlu didengar serius. Karena agama itu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, bukan berdasarkan pendapat atau opini.

Akhir kata, saya mohon maaf sekiranya ada kesalahan atau ketidakpantasan yang tersampaikan. Saya hanya manusia kecil nan kotor yang menyimpan asa untuk menjadi muslim yang baik. Oya, kalau ada teman-teman yang tahu tempat kajian rutin di sekitar Jakarta , bisa dishare. Saya benar-benar rindu kajian! Mari sebarkan semangat menuntut ilmu dan berusaha menjadi insan yang lebih baik!


Wasslamu’alaikum wr. wb.