Minggu, 15 Februari 2015

Rindu Kajian




Assalamu’alaikum wr. wb.

Rutinitas terkadang memasung kita untuk melakukan aktivitas lainnya. Bukan hal yang salah sebab dalam hidup memang perlu skala prioritas. Rutinitas tentu akan selalu menjadi prioritas kita karena adanya tuntutan. Bagi yang bekerja tentu tuntutan untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarga, untuk yang masih sekolah atau kuliah tentu tuntutannya adalah untuk lulus. Pada pembahasan di sini akan saya sempitkan mengenai rutinitas kerja karena memang posisi saya sedang bekerja.

Seperti yang saya sebutkan di atas, kita bekerja karena adanya tuntutan dan hasil yang hendak diperoleh. Dengan bekerja, kita bisa mendapatkan materi apa saja yang kita inginkan. Tentu sesuai kadar yang dihasilkan oleh keringat kita. Namun jujur, meski bisa mendapatkan apa yang kita mau, ingin itu bisa beli, ingin makan ini bisa terwujud, mau jalan-jalan ke sana juga kesampaian, tapi tetap saja ada yang kurang.

Sejak SD kita selalu diajarkan bahwa kebutuhan pokok ada 3, yaitu sandang, pangan, papan. Tapi sebenarnya kebutuhan pokok manusia lebih dari itu. Kebutuhan-kebutuhan yang saya sebutkan di atas tadi adalah kebutuhan untuk fisik kita. Di luar itu, rohani atau jiwa kita juga punya kebutuhan yang mesti dicukupi.

Lalu apa saja kebutuhan itu? Kebutuhan afeksi yang berupa kasih sayang dari orang-orang di lingkungan sekitar, kebutuhan untuk dihargai dan diperlakukan adil, kebutuhan rasa aman, tenang, tentram, dan nyaman. Untuk kebutuhan yang pertama dan kedua dapat diperoleh dari interaksi pergaulan. Sedangkan untuk kebutuhan yang ketiga tidak bisa hanya mengadalkan interaksi pergaulan semata. Rasa aman mungkin bisa diperoleh dengan menerapkan sistem keamanan yang ketat, tapi rasa tenang, tentram, dan nyaman?

Orang yang hidupnya sudah serba berkecukupan secara materi pun belum tentu bisa merasakan tenang, tentram, dan nyaman, karena apa? Karena rasa tenang, tentram, dan nyaman dirasakan oleh hati, oleh rohani, oleh jiwa kita. Orang kaya takut hartanya dicuri, pengusaha takut kalah tender atau nilai sahamnya merosot, dan beragam contoh lain yang mudah ditemukan namun tak bisa disebutkan satu per satu.

Lalu bagaimana agar kita bisa merasakan tenang, tentram, dan nyaman? Karena ketika hal tersebut dirasakan oleh hati kita, maka kita perlu mendekatkan hati kita kepada Sang Pemberi Hati, Allah Ta’ala. Allah sendiri telah menjelaskan hal ini dalam firmannya:

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. "(QS .  Ar-Ra'du: 28)

Sudah jelas bahwa untuk merasakan ketenangan, kita perlu banyak-banyak mengingat Allah. Lakukan apa saja yang bisa mengingatkan kita kepada Allah, seperti menjaga sholat lima waktu, mengerjakan sholat sunnah, berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan menghadiri majelis ilmu.

Sama seperti tubuh kita yang memerlukan makanan, rohani kita juga memerlukan makanan. Apakah makanan untuk rohani kita? Tentu saja ilmu-ilmu yang berguna. Ilmu yang menuntun kita menjalani hidup dengan baik. Meliputi beragam ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits, tafsir Al-Qur’an dan Hadits dari Imam 4 Mahzab, kisah-kisah keteladan dari Rasulullah dan para sahabat, kisah-kisah keteladanan dari nabi-nabi terdahulu, serta beragam kajian ilmu lainnya. Dengan asupan ilmu tersebut, bukan hanya membuat bertambah ilmu kita, tetapi hati juga akan menjadi tenteram karena dekat dengan Allah, sekaligus menambah motivasi diri untuk menjadi lebih baik.
***

Awal mula saya ikut kajian diajak oleh dua sahabat saya sewaktu kuliah. Sebut saja Bunga. Eh salah, maksud saya Wahyu dan Dwi. Hahaha. Dua orang ini sangat gigih dalam memperdalam ilmu agama. Bahkan kajian yang berada di luar kota pun, mereka tidak mau ketinggalan. Dua orang yang telah berusaha menjalankan syariat secara kaffah dan istiqomah.

Awalnya, saya membayangkan bahwa mengikuti kajian itu membosankan. Bisa dibilang saya masih setengah hati. Maklum, itu karena saya hanya melihat pengajian yang ada di sekitar rumah, di mana topiknya itu-itu saja. Namun saya memiliki alasan lain untuk belajar ilmu agama. Alasan yang mungkin terdengar konyol. Yuph, agar bisa mendekati seorang akhwat KAMMI. (Baca tulisan saya: Keuntungan dan Kerugian Kacamata Ketinggalan).

Menurut saya, akhwat yang saya maksud tersebut memang mempesona. Bukan hanya elok rupa, namun kepribadiannya juga luar biasa. Mengenakan jilbab syar’i dan rok panjang yang memang khas KAMMI, pergaulannya terjaga, serta memiliki ilmu agama yang cukup dalam karena ia dikenal juga sebagai murrabi / pembimbing dakwah.

Dari semua informasi yang saya dapatkan dari teman-teman saya yang juga menjadi temannya, akhlaknya tanpa cela. Dia benar-benar menjaga dirinya dari laki-laki yang bukan mahramnya. Berboncengan sepeda motor dengan laki-laki pun dia enggan.. Selalu saja komentar-komentar positif yang muncul saat saya bertanya tentangnya. Bahkan ketika saya berkunjung ke kosnya, dia mempersilahkan saya duduk di kursi panjang teras kosnya, tapi dia sendiri memilih berdiri. Memang jadi kikuk sih, tapi memang harusnya begitu. Ada hijab / pembatas. Ah, entah mengapa ini justru menjadi tantangan tersendiri buat saya.

Ini bisa menjadi semangat saya untuk belajar agama karena dua hal. Pertama, Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 26 yang menyatakan bahwa wanita baik-baik untuk laki-laki-laki yang baik-baik dan sebaliknya.

" Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). "(QS. An-Nur: 26)

Berangkat dari ayat di atas, maka saya berpikir jika saya ingin mendapatkan istri yang baik-baik, maka saya pun harus menjadi laki-laki yang baik-baik. Kedua, dengan juga mengerti ilmu agama, diharapkan bisa nyambung ketika ngobrol dan mengerti pola-pola pendekatan syar’i. Alasan yang kedua maksain banget. Nggak ada dalam Islam pendekatan syar’i, yang ada ta’aruf, khitbah, lalu akad (kalau salah mohon dilurusin).

Namun begitu ikut kajian sekali, motivasi saya langsung berubah. Saya benar-benar butuh kajian ini karena memang butuh ilmunya. Banyak sekali hal-hal yang ternyata belum saya ketahui. Hal-hal yang selama ini dianggap wajar tetapi ternyata berpotensi menimbulkan dosa.

Dari sini saya pun mulai meluruskan niat dan belajar ilmu ikhlas (ingat film Kiamat Sudah Dekat saat Fandy belajar ilmu ikhlas). Pegangan saya masih surat An-Nur ayat 26. Jika memang pada akhirnya berjodoh tentu alhamdulillah, jika tidak berjodoh setidaknya gara-gara mengejar dia ilmu agama saya jadi meningkat. Kesimpulan lainnya adalah jika tidak berjodoh maka saya belum menjadi laki-laki yang benar-benar baik yang pantas mendapatkan wanita baik-baik seperti dia. Alhamdulillah, akhirnya dia sudah menikah, tapi bukan dengan saya. Hiks...

Dari situ saya jadi tahu tentang beberapa hal yang kurang diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentang varian syirik, bid’ah, tentang memanjangkan jenggot, tentang hukum bersentuhan dengan wanita yang bukan muhrimnya, tentang sholat di mana celana tidak boleh menutupi mata kaki, tentang merapatkan kaki dan bahu saat sholat berjamaah, hukum musik, hukum riba, dan beragam hal lainnya. Saya juga jadi tahu sedikit bahasa Arab, seperti syukron, afwan, jazakallah khairan, waiyyakum, barakallahu, ukhti, akhi, dan sebagainya.

Memang dari apa yang saya tahu itu tidak semuanya sudah diamalkan. Bisa dibilang saya memang masih munafik. Seperti tidak menyentuh wanita yang bukan muhrimnya, misalnya dalam bersalaman. Padahal ada hadits shahih yang melarangnya.

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (Hadits Shohih Riwayat. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544)

Meskipun perumpamaannya sudah terdengar sangat mengerikan, tetapi tetap saja ini sulit dilakukan. Apalagi saat Lebaran. Ini disebabkan dalam budaya kita bersalaman sudah menjadi hal yang biasa, termasuk antara laki-laki dan wanita. Tentu lebih mudah jika seorang wanita menolak bersalaman daripada seorang laki-laki yang menolak. Nanti bisa menyinggung dan dianggap sombong, sok ustad, dan yang lebih celaka jika dianggap aliran sesat.

Rasulullah sendiri mengajarkan dakwah yang lembut dan untuk itu memang saya belum bisa. Alih-alih berdakwah, dengan cara yang salah bisa jadi orang tersinggung, menjauh, dan menganggapnya sebagai aliran sesat. Jangan sampai apa yang benar justru jadi salah. Yang saat ini bisa dilakukan cuma meminimalisir tidak menyentuh wanita secara sengaja. Cuma kadang ada aja cewek yang gemes terus saya ditepok. Huh! Kepedean! Haha...

Memanjangkan jenggot dulu pernah saya lakukan. Namun memasuki masa-masa pencarian kerja terpaksa jenggot dicukur. Standar muka rapi atau berpenampilan menarik di Indonesia masih sulit mencantumkan jenggot. Alasan lain yang kurang disukai perusahaan karena jenggot identik dengan teroris. Jelas ini ngawur banget tapi itulah persepsi yang berkembang di masyarakat. Padahal memanjangkan jenggot sendiri dianjurkan Rasulullah, salah satunya agar berbeda dengan orang-orang yang musyrik sebagaimana diutarakan dalam hadits berikut:

"Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah (jangan cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian. "(HR. Al-Bukhari no. 5892)

Untuk musik, dulu memang sempat saya tinggalkan. Kalau sekarang sih, mulai kecanduan lagi. Jika ditanya mengapa? Saya pun sulit menjelaskan. Yang pasti di dunia kita sekarang, kita susah menghindar sedetik pun dari musik karena hegemoni musik sudah menjangkau semua aspek di semua tempat.

Dulu butuh waktu lama saya bisa menerima ketentuan ini. Tidak lain karena sudah menjamur pula musik-musik religi, baik yang modern maupun tradisional. Bahkan tak jarang di acara pengajian pun diselingi dengan pertunjukan musik.

Namun Dwi mengatakan, “Orang yang pintar akan menundukkan akalnya pada Al-Qur’an dan Hadits karena mereka tahu bahwa akal itu memiliki keterbatasan tapi Al-Qur’an dan hadits adalah sumber kebenaran yang hakiki”. Lalu dia membukakan hadits perihal larangan musik.

"Akan ada beberapa kaum dari ummatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi laki-laki), khamar, dan musik." [Diriwayatkan oleh Al-Bukhary secara mu'allaq, Abu Dawud, Al-Baihaqy, dan Ibnu Hibban dari Abu 'Amir atau Abu Malik Al-Asy'ary]

Iya, memang saya masih munafik banget. Berlumuran dosa pula. Sudah tahu ilmunya masih saja dilanggar. Entah godaan zaman dan pergaulan yang terlalu kuat atau memang iman saya yang terlalu lemah. Cuma saya ingin suatu saat nanti benar-benar menjadi muslim yang kaffah. Untuk saat ini saya masih kesulitan. Mungkin bahasa kesulitan kurang tepat karena terlalu mengada-ada, tapi memang saya tak menemukan kata lain untuk mendeskripsikan yang  saya alami sekarang.

Saat ini rutinitas membatasi gerak saya. Ditambah saya yang belum mengenal kota ini sepenuhnya. Mana tempat yang menyelenggarakan kajian, mana alamatnya. 

Belajar agama saat ini hanya didapat dari membaca artikel on line dan membaca buku. Terkadang jika mendapatkan tugas di KPK, maka sehabis Zuhur baru bisa mengikuti kajian singkat yang diadakan pengurus mushola setempat. Biasanya membahas satu hadits dengan durasi antara 15-30 menit saja. Lumayan untuk menyiram jiwa yang kering.

Memang masih ada cara lain sih mendapatkan ilmu agama. Termasuk jika beruntung memegang program religi semacam Damai Indonesiaku, Hijab Stories, Butiran Ilmu, atau Asmaul Husna. Makanya kalau bisa seluruh urusan crew bisa selesai dulu sebelum shooting, jadi ketika shooting bisa mendegarkan dakwah uztadnya. Pokoknya jangan sampai hidup ini hanya diisi keperluan dunia saja. Siraman rohani memang perlu bahkan sangat perlu untuk menetralisir racun dunia yang semakin menggila.

Ilmu tetaplah ilmu. Kebenaran tetaplah kebenaran. Dakwah yang baik memang disertai dengan keteladanan. Namun dakwah yang tidak disertai keteladanan, bahkan jika pendakwah justru berbuat sebaliknya, jangan ikuti kelakuan pendakwahnya tapi ikuti ilmu benar yang telah disampaikannya.

Bagi saya, nasihat dari seorang  penjahat pun akan saya dengar dan akan saya kerjakan selama nasehatnya memang baik dan benar. Kita bisa belajar ilmu dari siapa saja. Meski memang harus hati-hati. Selama ada dalil kuat dan shahih yang menyertainya, bisa kita terima. Namun jika hanya opini, pendapat, kata si fulan, maka tak perlu didengar serius. Karena agama itu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, bukan berdasarkan pendapat atau opini.

Akhir kata, saya mohon maaf sekiranya ada kesalahan atau ketidakpantasan yang tersampaikan. Saya hanya manusia kecil nan kotor yang menyimpan asa untuk menjadi muslim yang baik. Oya, kalau ada teman-teman yang tahu tempat kajian rutin di sekitar Jakarta , bisa dishare. Saya benar-benar rindu kajian! Mari sebarkan semangat menuntut ilmu dan berusaha menjadi insan yang lebih baik!


Wasslamu’alaikum wr. wb.