Rabu, 18 November 2015

Memaknai Istilah Senggol Bacok


Semarang adalah salah satu kota yang miskin konflik. Apa penyebabnya? Budaya Jawa yang kuat melekat dan membentuk karakter penduduknya. Budaya Jawa seperti ramah, sopan, dan menjunjung tata krama menjadi pondasinya. Ditambah budaya “ewuh pekewuh” sebagai bagian dari pengendalian diri orang Jawa. Hingga sangat kecil niat untuk menyakiti orang lain.

Namun hal ini jangan disalah artikan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang Jawa. Mereka pun bisa bertindak kejam jika diperlakukan seperti itu. Apa landasan ini? Jika kita memperhatikan dalam pakaian adat jawa, di mana menyelipkan keris di bagian belakang, ini mengindikasikan hal tersebut. Maksudnya? Orang Jawa akan selalu bersikap baik dengan siapapun. Mereka menjadikan senjata bukan untuk gagah-gagahan ataupun menakuti. Hanya sebagai alat perlindungan diri. Hanya dalam kondisi terdesak saja keris itu terlepas dari sarungnya.

Karakter orang Semarang pun tidak bisa dijauhkan dari filosofi tadi. Orang Semarang tidaklah selembut orang Jogja atau Solo. Perpaduan nilai dengan berbagai budaya lain akibat menjadi kota pesisir penyebabnya. Namun Semarang juga tidak sekasar Jawa Timuran dalam tata pergaulan.

Di Semarang, ada suatu kampung yang cukup terkenal dengan istilah “senggol bacok”. Istilahnya terdengar mengerikan meski sebenarnya lebih ke arah pesan, “Jangan melukai atau mengganggu, kalau tidak ingin dilukai”. Kampung itu letaknya 6-7 kilometer dari kampungku. Beberapa temanku tinggal di sana.

Saat SMA, aku memaknai istilah “senggol bacok” dan menunjukkannya secara harfiah. Jiwa muda dengan emosi yang masih meletup-letup dan hasrat menunjukkan eksistensi yang masih tinggi menjadi dua hal yang melatarbelakanginya. Namun dengan meningginya tingkat pendidikan, bertambahnya usia, dan status pekerjaanku sekarang, aku tidak lagi mengekspresikan secara harfiah istilah tadi. Ada rasa malu jika bertindak demikian. Sebab jika aku masih bertindak seperti itu, apa bedanya aku dengan preman pasar?

Aku akan memilih cara-cara yang elegant tanpa mengurangi makna. Siapa yang melukai, berarti telah siap dilukai. Siapa yang mengganggu, berarti telah siap diganggu.

Saat fisik kita disakiti ataupun dipermalukan, kita tidak perlu membalasnya dengan hal serupa bukan? Meski saat itu terjadi, harga diri kita pasti terkoyak. Cukup itu menjadi alasan untuk tidak berdiam diri.

Lantas apakah "senggol bacok" sama artinya dengan balas dendam? Tentu saja tidak. “Senggol Bacok” sejatinya hanyalah himbauan bernada keras. Sedangkan suatu himbauan hendaknya dipatuhi. Jika tidak, tentu ada konsekuensi logis. Siapa yang menanam kebaikan, akan memanen kebaikan pula. Begitu juga sebaliknya.

Analogi  kerja "senggol bacok" tak ubahnya sebuah rautan. Saat ada pensil yang menusuknya dalam, saat itu pula ia akan merautnya.

Sabtu, 14 November 2015

Mengapa Perlu Jadi Pengusaha?


Sejatinya hidup adalah pilihan, apakah akan bekerja pada pemerintah, orang lain, maupun usaha sendiri. Masing-masing alasan yang menyertainya tidak bisa disalahkan. Namun kalau boleh mengurai sedikit alasan mengapa perlu jadi pengusaha, maka inilah alasannya:
  1. Ada seni tersendiri
Saat kita bekerja ikut orang lain, maka jobdesk kita sudah ditentutakan atau diatur, tetapi saat kita usaha sendiri kitalah yang menentukan jobdesk kita sendiri, bahkan arah gerak usaha mau bagaimana sangat tergantung kelihaian kita membaca situasi. Tentu akan saja ada kendala ataupun hambatan dalam berusaha. Namun disinilah seninya. Upaya kita menghadapi berbagai kendala itu untuk terus melaju akan menghasilkan cerita yang indah kelak. Seperti banyak cerita sukses pengusaha yang lantas menuliskan autobiografinya.
  1. Dapat memaksimalkan keuntungan
Saat kita bekerja ikut orang tentu pendapatan kita sesuai dengan kesepakatan kita di awal bekerja yang dikenal dengan gaji. Ketika perusahaan meraih untung luar biasa, tetap saja yang kita peroleh berupa gaji. Kalau soal bonus itu mungkin, tapi lebih baik tidak terlalu berharap untuk sesuatu yang bersifat sukarela perusahaan.

Sementara jika kita membuka usaha sendiri, saat usaha kita laris atau ramai, tentu keuntungan yang kita dapatkan juga meningkat mengikuti sejauh mana larisnya usaha kita. Namun jika merugi, bisa menjadi sangat merugi, apalagi masih harus tetap menggaji karyawan yang ikut kita. Namun itulah resikonya. Bekerja pada orang pun saat perusahannya merugi, bayang-bayang akan PHK juga mengintai.
  1. Menyiapkan pekerjaan anak kita kelak
Kelak persaingan kerja di masa depan akan menjadi lebih ketat. Apalagi situasi ekonomi negara yang semakin tidak jelas akan berdampak sangat pada sektor usaha dan penyerapan tenaga kerja. Belum lagi jika tenaga kerja asing dengan skill menengah turut didatangkan seperti isu yang saat ini beredar, semakin sempit saja peluang kerja.


Rasanya tak ada orang tua yang menginginkan anaknya kelak kesusahan bekerja. Meskipun ini terdengar seperti nada pesimis pasalnya siapa tahu anak kita kelak punya kemampuan di atas rata-rata yang justru sangat mudah memilih pekerjaan. Ibarat pepatah, sedia payung sebelum hujan jauh lebih baik daripada mencari payung saat sudah hujan. Cukuplah orang tuanya yang susah payah merintis usaha, jatuh bangun menghadapi beragam kendala. Biarkan anak kita nanti punya banyak pilihan. Memilih bekerja sesuai minatnya, memilih bekerja sesuai perusahaan / instansi yang menerimanya, memilih melanjutkan usaha orang tuanya, atau memilih merintis usaha baru yang sesuai minatnya. Poin pentingnya adalah kelak kita tak membiarkan anak kita begitu mengemis terhadap pekerjaan.
 
Kiranya itulah segelintir alasan mengapa perlu jadi pengusaha. Mungkin akan ada alasan-alasan lain yang menyertai, tapi setidaknya tiga alasan di atas merupakan sokogurunya. Hahaha... Sudah minat sekarang berusaha? Ayolah... Kita hanya tahu jalan di depan rusak saat kita telah berjalan, bukan saat kita masih berdiam diri. Toh kalaupun jalan itu rusak, kita masih punya banyak cara untuk bisa melewatinya bukan?!