Sabtu, 26 Juli 2014

Nuansa yang Hilang


Dulu aku bosan dan malas rasanya setiap lebaran makan opor ayam. Aku selalu protes pada ibuku untuk membuat masakan yang berbeda. Inovasi kataku. Seperti masak rawon atau apalah. Namun saat ini aku benar-benar kangen opor ayam buatannya dipadu dengan sambal goreng hati dan ketupat hasil karyaku.

Ternyata Allah benar-benar mengabulkan pintaku. Tahun kemarin aku sama sekali tidak merasakan makanan buatan ibuku. Beruntung ada seorang teman bernama Daus yang membawakan ketupat sayur waktu malam takbiran. Akhirnya, merasakan juga makanan lebaran. Ini semakin terasa mengharukan karena nyaris saja aku buka puasa terakhir dengan makan daging babi. Maklum, banyak warung yang sudah tutup. Hanya warung milik orang Cina dan Mc Donald's yang masih buka.

Meski demikian, nuansa lebaran belum sepenuhnya aku rasakan. Apalagi membayangkan bagaimana orang tuaku bersilaturahmi ke rumah tetangga-tetangga yang anak cucunya pada kumpul, sementara anaknya yang cuma semata wayang tak ada di tengah-tengahnya. Hingga berair mata ini membayangkannya. Beruntung aku mendapatkan tugas di lapangan yang mempertemukanku dengan ustad favoritku, Yusuf Mansyur. Ini membuatku bisa lebih menikmati lebaran di perantauan.

Tahun ini jadi lebaran kedua di mana aku tak bisa menikmati makanan buatan ibuku. Mungkin ini karma untukku. Sekarang aku sangat ingin makan opor ayam buatan beliau, membantunya memarut kelapa seperti dulu, belanja ketupat sehabis subuh lalu mengisinya, mengecek air ketupat waktu dimasak, menggoreng kerupuk udang, mencuci stoples, dan memasukkan kue ke dalam stoples. Ah, aku sangat ingin melakukan itu lagi.

Aku kangen nuansa itu. Aku kangen saat ibuku marah-marah karena dapur kotor akibat percikan minyak waktu aku menggoreng krupuk. Aku kangen mengambil ayam kampung yang kami pesan lalu menyembelihkannya ke tetanggaku. Aaaahhh...

Sedikit nuansa ramadhan menjelang lebaran ala rumah telah aku rasakan. Adalah dua orang temanku, Lini dan Dian yang mengantarkan nuansa itu kepadaku. Aku ingat hari-hari terakhir menjelang lebaran, aku selalu mengantarkan ibuku belanja minyak, sirup, kacang mede, tepung, bumbu, stoples, dan serbet / taplak meja. Meski tak serepot ketika mengantarkan ibuku belanja, tapi menemani mereka berdua belanja, terutama saat mencari stoples, sudah cukup menghadirkan nuansa yang hilang di ramadhan kemarin.

Entah lebaran kali ini akan kujalani seperti apa? Tapi aku patut berterima kasih kepada Daus, Lini, dan Dian yang telah membawakan nuansa yang nyaris hilang dalam hidupku. Terima kasih yaa kawan! Kalian sesuatu bingitz...