Selasa, 16 Oktober 2012

Jadi Limbad Sebelum Ujian




            Teman-teman kenal Limbad kan? Siapa sih yang hari gini nggak kenal sama Limbad? Terus apa hubungannya Limbad sama ujian? Emang Limbad masih sekolah? Iyaaa Kaleeee... Hehehe... Begini teman-teman yang sedang sekolah bukan Limbad, tapi saya dulu waktu kuliah. Terus maksudnya jadi Limbad apa dong? Jadi Jelek gitu? Oww tidak... Saya mah bersyukur aja sama yang dikasih Tuhan. Buat apa jadi jelek kalau udah dikasih ganteng? Hahaha....

            Selama ini Limbad kan dikenal sebagai pesulap yang selalu menampilkan atraksi ekstrim, menantang bahaya dalam setiap pertunjukannya. Dulu dia pernah beratraksi dengan dilindas alat yang buat mengaspal jalan (maaf nama alatnya lupa). Kurang lebih hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada diri saya, tentu bukan karena kesengajaan. Gilaaa apa? Udah tau bahaya diikutin. Hahaha...

            Langsung aja ke inti permasalahan. Waktu itu masih musim ujian. Kalau sekarang sih udah nggak musim, maklum udah cabut dari kampus. Nah waktu musim itu, sama seperti musim buah yang selalu ada keramaian. Keramaiannya apa hayo? Keramaian pinjem catatan dan fotokopi catatan.

            Ada satu mata kuliah yang catatannya banyak, masih ditambah fotokopi bacaan-bacaan wajib, dilengkapi pula dengan fotokopi makalah yang tak kalah banyaknya. Mata Kuliah apa itu?  Yuph, mata kuliahnya Pak Tri, tepatnya Politik Global.

            Singkat cerita, setelah muter-muter cari bahan dan fotokopi, akhirnya komplit juga bahannya. Tinggal dibaca aja satu-satu. Entah mengapa malam itu, hawanya malas buat belajar. Tapi kalau nggak belajar besok ujian mau diisi apa? Akhirnya, setelah saya sholat isya, sekitar jam 9 malam, bahan-bahan sudah saya persiapkan, tinggal eksekusi. Tiba-tiba HP saya berbunyi. Ternyata dari Budi, teman kampus saya. “An, kamu di rumah nggak?”, kata smsnya. “Iya, ada apa?”, jawabku. “Kamu bisa ke rumahnya Maretha sekarang nggak?”, balasnya. “Ada apa?”,  sahutku. “Pokoknya ke sini dulu aja?”, pintanya dengan agak ngotot. Aku pun sebenarnya heran ada apa tiba-tiba sms gitu. Padahal mau belajar juga. Ah masa bodoh, ke sana dulu aja. Ada apaan sih? Rumahnya juga dekat, paling sebentar.

            Setibanya di sana, saya disambut oleh tiga orang, yaitu Budi, Ali, dan tentunya Maretha sebagai tuan rumah. Ternyata di sana memang terjadi permasalahan. Ali dan Budi tidak bisa pulang karena motornya Ali nggak bisa nyala. Saya lupa apa penyebabnya. Yang jelas motif Budi mengundang saya sudah terkuak, yaitu mau pinjam kunci. Untungnya kunci-kunci tersebut ada dalam bagasi motor saya meskipun Budi nggak bilang.

            Kemudian kami pun mengerumuni motor Ali. Budi dan Ali mengotak-atik motor, saya memegangi lampu emergency, dan Maretha jadi pemandu sorak memberi dukungan. Setelah cukup waktu, akhirnya motor Ali dapat disiasati dan berhasil nyala. Kami kembali ke dalam rumah Maretha untuk cuci tangan dan ngobrol-ngobrol sebentar. Biasa membahas sedikit masalah ujian sebelum akhirnya saya, Ali, dan Budi memutuskan untuk beranjak pulang.

            Sampai rumah saya kaget, ternyata sudah jam 12 malam. Penyakit saya kambuh lagi, biasa penyakit malas belajar. Akhirnya saya keluar sebentar beli wedang jahe, biar badan hangat, mata kembali terang, dan semangat belajar. Setelah menghabiskan segelas wedang jahe saya berniat untuk rileks sebentar. Namun yang terjadi di luar dugaan, saya tertidur sampai pagi.

            Akhirnya setelah Subuh baru saya belajar. Dimulai dari baca catatan dan salah satu bacaan wajib. Sekitar jam 9 saya sudahi aktivitas belajar saya. Masih ada satu bacaan wajib dan makalah presentasi teman-teman yang belum saya baca. Namun saya memutuskan untuk segera berkemas. Jika ada waktu, nanti dibaca di kampus saja.

            Selesai berkemas pada jam setengah sepuluh, saya bergegas secepat mungkin ke kampus. Alokasi waktu perjalanan 20 menit untuk tiba di sana. Jadwal ujiannya sendiri jam sepuluh. Ya apes-apesnya sampai sana tepat waktulah. Maklum, jam segitu lagi macet-macetnya.

            Benar seperti yang saya perkirakan. Kemacetan panjang terjadi di Kalibanteng. Sejak jam setengah sembilan sampai Maghrib Kalibanteng selalu macet. Jalanan dipenuhi oleh truk-truk besar. Seperti pengendara motor pada umumnya, saya pun mencari celah diantara truk-truk tersebut untuk merangsek ke depan. Saya ingin segera belok ke jalan tikus di belakang agen bus Coyo agar terbebas dari kemacetan. Saya terus berusaha menyelinap diantara mobil, bus, dan truk hingga sampai di depan sela-sela antara truk kontainer dengan truk Pertamina. Agak ragu saya untuk menyelinap, karena jaraknya sempit. Pas banget untuk motor. Tapi karena sudah diburu waktu, akhirnya saya menyelinap diantaranya dan berhenti di samping kepala truk. Saya tidak bisa merangsek lebih depan lagi karena sudah tidak ada celah lagi di depan.

           Ketika kendaraan di depan saya mulai maju, saya pun segera berusaha memacu motor saya. Tapi saya merasakan kok ada yang aneh. Kaki kiri saya kok sulit diangkat. Saya pun kemudian menengok ke samping, melihat apa yang terjadi dengan kaki saya. Serta merta saya terbelalak dan teriak Waaaaaaaaaa...... Ternyata kaki saya tepat berada di bawah ban truk dan tertindih olehnya. Meskipun saya sudah berteriak sedemikian kencang dan histeris tidak ada tindakan yang dilakukan oleh sopir truk tersebut. Akhirnya saya buka helm saya dan menoleh ke belakang sembari tetap teriak. Bapak-bapak pengendara motor di belakang saya yang mengetahui kondisi saya langsung menggedor-gedor pintu truk. Barulah setelah itu truk itu mundur dan kaki saya dapat terangkat. Ada sekitar 2-3 menit kaki saya tertindih truk. Lucunya, saya baru merasa sakit setelah melihat kaki saya tertindih truk.

            Setelah kaki saya terbebas dari jepitan ban truk, hal pertama yang saya lakukan adalah memeriksa kaki. Saya pegang dan saya raba seluruh telapak kaki kiri saya. Alhamdulillah kaki saya masih utuh meskipun harus merasakan nyeri yang teramat sangat. Di situ saya benar-benar bersyukur bahwa kaki saya masih utuh. 

            Klakson kendaraan-kendaraan yang berbunyi berulang-ulang ketika saya berhenti memeriksa kaki saya sangatlah mengganggu, meskipun sebenarnya kendaraan saya sudah saya tepikan ke kanan jalan (sisi yang lebih dekat). Entah apa yang dibilang orang-orang pada waktu itu. Setelah memastikan kaki utuh, pikiran saya kembali ke ujian. Tidak ada waktu untuk menanggapi omongan orang, termasuk untuk marah-marah atau memaki sopir. Ini saya lakukan karena saya memiliki pengalaman pahit dalam mengurus ujian susulan, di mana sangat ribet dan harus disertai surat rawat inap. Memang sih sempat terlintas untuk langsung memeriksakan diri ke rumah sakit biar tahu kondisi kaki saya, tapi saya urungkan. Saya lebih mementingkan ikut ujian dulu. Nanti sehabis ujian saja baru periksa.

            Di perjalanan, saya mengendarai motor dengan satu tangan. Maklum, tangan kiri saya sesekali memegangi kaki saya.  Sementara pikiran saya juga tidak fokus ke jalan. Masih terbayang kejadian beberapa menit sebelumnya yang membuat pikiran saya menjadi kacau. Saya membayangkan andai saja kaki saya tidak bisa diangkat dan tubuh saya tertarik ke arah truk, entah apa yang terjadi pada diri saya. Saya benar-benar merasakan batas antara hidup dan mati saat itu begitu tipis. Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan saya tanpa kekurangan suatu apapun sehingga saya pun masih memiliki kesempatan memperbaiki diri.

Entah jam berapa tiba di kampus. Yang jelas, kelas untuk ujian dengan parkiran terbilang jauh. Saya pun berusaha bergegas untuk segera sampai di kelas. Namun kondisi kaki yang nyeri membuat jalan saya pincang dan tidak bisa cepat. Meski demikian, saya tidak mau terlihat pincang. Saya tetap berusaha jalan tegap dan mengayuh kaki dengan cepat meski tetap tidak bisa secepat biasanya. 

            Ketika masuk kelas, saya ditanya oleh pengawas, “Kenapa baru datang?”. “Kecelakaan Pak”, jawab saya singkat. Saya pun segera mengambil soal dan lembar jawab yang ada di meja pengawas dan bergegas ke bangku saya. Di sini saya bersyukur lagi karena masih diperbolehkan mengikuti ujian. Padahal dalam aturan, paling lambat hanya 20 menit. Sementara saya merasa terlambat lebih dari setengah jam.

        Ketika melihat soal, saya kaget. Semua soal yang ditanyakan adalah materi-materi yang belum sempat saya pelajari. Tapi masa bodoh. Tidak ada waktu untung bengong atau berpikir lama. Saya sudah terlambat setengah jam. Sementara soalnya banyak. Terlalu banyak berpikir, ujian saya tidak selesai nanti. Akhirnya saya langsung mengerjakan soal-soal tersebut. Apa yang ada di pikiran saya langsung saya tulis. Entah itu benar, salah, atau benar-benar ngawur. Yang penting semua soal harus dikerjakan dan penuh. Akhirnya semua soal dapat diselesaikan tepat waktu.

            Selesai ujian, seperti biasa saya bersama serombongan teman-teman saya pergi ke kantin untuk mengisi perut. Saya pun berusaha berjalan biasa meski harus menahan nyeri yang tidak terkira.  Sesampainya di kantin, kami pun langsung memesan makanan. Sambil menunggu pesanan, kami saling becanda. Saya pun ikut menanggapi meski kurang antusias. Bagaimana mau antusias dengan kondisi seperti ini?!  

Saya saat itu memang menjadi lebih pendiam. Saya simpan energi saya untuk menahan rasa nyeri yang melanda. Daripada saya harus terus meringis dan merintih kesakitan, lebih baik diam kan?! Gelagat yang tidak biasa ini tercium oleh Guruh. Dia pun bertanya, “An kenapa megangin kaki mulu?”. Saya pun hanya menjawabnya singkat, “Habis terinjak truk”. Dia seolah tak percaya dan menanyaiku lebih detail dan saya pun hanya menjawab seadanya. Meskipun di situ ramai, namun hanya sedikit yang menanggapi perbincangan kami karena sebagian sudah sibuk dengan makanannya atau perbincangan lainnya.

            Seusai makan, seperti biasa kami pergi ke mushola. Habis sholat Dzuhur kami nongkrong di mushola. Hal seperti itu sudah biasa kami lakukan sejak awal kuliah. Maklum, cuaca siang hari di Semarang sangat panas sehingga kami malas untuk beranjak dari tempat kami. Kami pun kemudian ngobrol-ngobrol santai. Entah bagaimana mulanya, kisah mengenai kaki saya langsung mengemuka. Dari situ kemudian muncul beragam pertanyaan, komentar, dan tanggapan. Tapi ada satu komentar yang akan saya ingat seumur hidup, yaitu komentarnya Wiwid. “Lhah, truk kok dijegal?”, begitu komentarnya dengan santai dan tanpa dosa. Serta merta kami yang ada di situ tertawa terpingkal-pingkal, termasuk saya pun ikut tertawa.

Sejak saat itu saya mendapatkan trade mark “Jegal Truk”. Bahkan waktu kami KKL, Wiwid setiap melihat truk selalu mengulang-ulang komentarnya. Saya pun tersenyum geli, tapi juga senang. Bahkan saat teman saya Yuda yang berbadan besar kecelakaan dengan mobil hingga tangannya patah, Wiwid kembali mengeluarkan komentar yang menggelitik. “Aan aja yang badannya kecil terlindas truk nggak papa, kamu yang badannya besar tabrakan sama mobil tangannya patah.”, begitu komentarnya dengan santai. Saya yang geli mendengarnya pengen ketawa tapi nggak jadi untuk menghormati Yuda.

Kembali pada kisah di mushola. Setelah lelah tertawa dan becanda, akhirnya saya berpamitan dengan teman-teman saya untuk pulang memeriksakan kaki. Kurang lebih jam setengah tiga waktu itu. Sampai rumah saya masih bersikap biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Saya nggak ingin Ibu saya menjadi khawatir. Namun setelah Ayah saya pulang kerja, saya baru cerita. Akhirnya saya di bawa pijat ke sangkal putung di Boja. Bagaimana rasanya di pijat? Saya sudah meraung-raung seperti harimau. Tukang pijatnya bilang ini nggak papa. Saya cuma disuruh ngasih parem.

Rasa sakit ini baru benar-benar hilang setelah enam bulan. Sebelumnya memang untuk menapak bisa, tapi jika kaki dimiringkan akan terasa sakit. Begitu pula saat saya main basket dan terinjak seorang teman, rasa sakitnya kembali kambuh. Termasuk ketika saya naik gokard dan nyungsep di mana kaki kiri saya terjepit remnya, kembali saya harus merasakan sakit. Saya pijat ke sangkal putung dua kali. Pertama setelah kecelakaan, yang kedua beberapa minggu sesudahnya. Hingga saat ini saya belum pernah memeriksakan kai saya ke dokter. Suatu saat saya ingin periksa dan melihat hasil rontgennya. Secara kasat mata memang bentuk kaki kiri saya sudah beda, menjadi lebih landai. Ini saya bandingkan dengan kaki kanan saya.

Lalu bagaimana dengan ujiannya? Ternyata ketika pembagian KHS (Kartu Hasil Studi), mata kuliah Politik Global yang saya kerjakan pasca kecelakaan mendapatkan nilai A. Hebatnya lagi, itu nilai A satu-satunya dari mata kuliah yang diujikan. Mata kuliah lainnya, saya mendapatkan nilai B semua. Memang ada satu mata kuliah lagi yang mendapatkan nilai A, yaitu Metode Penelitian Kualitatif. Namun mata kuliah ini hanya mengumpulkan tugas tiap minggu. Ujiannya pun cuma mengumpulkan tugas. Saya bersyukur waktu itu. Yang penting tidak ada nilai C. Tapi untuk mata kuliah Politik Global, saya benar-benar surprise. Tidak belajar, datang terlambat, tidak bisa mengerjakan, serta harus menahan rasa sakit tapi mendapatkan nilai A. 

Melihat semua kenyataan ini, saya merasa ada kuasa Illahi yang ikut berperan. Pertama, saya merasa telah diselamatkan dari kecelakaan yang lebih parah. Andai saja truk itu terus berjalan maju pasti akan melindas kaki saya dan pasti kaki saya akan hancur atau bisa saja badan saya ikut terpental ke arah truk. Padahal truk itu punya kesempatan untuk maju karena kendaraan di depannya sudah maju. Jika itu terjadi, hancur sudah masa depan saya. Tapi yang terjadi truk itu tidak memaksa maju dan akhirnya mau mundur agar kaki saya bisa lepas dari tindihan ban truk. Kedua, hasil ujian saya yang mendapatkan nilai A. Dengan kondisi yang telah saya ceritakan di atas, di tambah dengan kenyataan bahwa mata kuliah ini sulit mendapatkan nilai bagus dan kebanyakan hanya mendapat nilai C, apa yang saya dapatkan sangatlah spesial.

Jelas pada peristiwa ini Allah telah menyelamatkan saya dari bencana yang lebih besar. Pasti itu. Namun apakah ini cuma-cuma karena takdir? Saya tidak bisa dan tidak berani menjawabnya. Yang jelas beberapa saat setelah itu, saya teringat dakwah dari Ustad Yusuf Mansyur mengenai keajaiban sedekah. Salah satunya dapat terhindar dari bencana yang lebih besar. Bukan bermaksud pamer atau bagaimana. Namun saya sempat berpikir, apa bantuan sederhana yang tak berarti dari saya kepada Ali dan Budi yang telah menyelamatkan saya dari kecelakaan yang lebih besar? Wallahu Alam.

Berikut beberapa dalil yang menyebutkan faedah sedekah dalam menghindarkan bencana:

§  Rasulullah saw bersabda, “Sedekah dapat mencegah 70 macam bencana, yang paling ringan adalah penyakit kusta dan supak” (HR. Thabrani).

§  Rasulullah saw bersabda, “Bersegeralah kalian untuk mengeluarkan sedekah, karena sungguh bencana tak dapat melewati sedekah” (HR. Thabrani).

§  Rasulullah saw bersabda, “Obatilah orang sakit diantara kalian dengan sedekah” (HR. Baihaqi).

§  Hadits qudsi, Allah berfirman, “Wahai Anak Adam, kosongkan gudangmu untuk memenuhi apa yang ada di sisi-Ku. Niscaya Engkau akan selamat dari kebakaran, kebanjiran, pencurian, dan kejahatan” (HR. Thabrani)

§  Rasulullah saw bersabda, “Sungguh sedekah dapat memadamkan panasnya kubur orang yang bersedekah dan sungguh orang mukmin akan bernaung pada hari kiamat dengan payungan sedekahnya” (HR. Thabrani)

Itulah tadi salah satu pengalaman getir ketika kuliah. Yang otomatis membuat perjalanan kuliah saya menjadi berwarna. Tidak selalu mulus tapi berhasil mengakhiri masa-masa sulit dengan senyum manis. Makanya kalau ada pekerjaan yang meminta menitipkan ijazah, saya berpikir seribu kali dulu. Bukan hanya soal lamanya waktu kuliah dan biaya, namun karena untuk mendapatkannya pun saya nyaris mengadu nyawa.

Mengenai faedah sedekah dapat menghindarkan bencana, saya percaya. Entah apa yang terjadi pada diri saya bisa menjadi buktinya atau tidak. Niat saya di sini hanya berbagi pengalaman. Tidak ada niatan untuk pamer. Namun tidak ada salahnya kita berpikir positif bahwa pertolongan kecil tadi yang memudahkan pertolongan dari Allah. Ketika saya mengatakan seperti ini, tidak lain hanya untuk memotivasi minimal diri saya sendiri, untuk ringan tangan membantu orang dan tidak berat untuk mengeluarkan sedekah.

Yang jelas Allah adalah Hakim yang paling adil. Dia pasti akan memberikan imbalan yang setimpal atau bahkan lebih besar kepada hambanya yang berbuat kebaikan. So, kalau ada kesempatan berbuat baik, maka lakukanlah dan tak perlu berpikir yang macam-macam. Semoga ada yang bisa dipetik dari berbagi pengalaman ini. 


4 komentar:

  1. Subhanallah, Aan...ngeri banget ceritanya..tapi itulah skenario Alloh Yang Maha Indah..

    makasii sudah berbagi cerita..An taruh di link sahabat,yaa? :D

    BalasHapus
  2. jiiaa, baru baca ane an,, wkwk, jadi inget knp g sekalian jegal kereta api, wkwkw
    sukses sob,
    komen jg blog ku justdolan.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Iya taruh ajah. Makasih An. Daripada jegal kereta api mending aku makan kereta api (wingko babad), hahaha... eh, carane gawe ben iso difollow py?

    BalasHapus
  4. cari google friend connect di widget, Aan..ada, ndak?

    BalasHapus