Selasa, 16 Februari 2016

Cerita Betadine



 
            Sore menjelang maghrib, Andi pulang ke rumahnya dengan terisak dan meringis kesakitan. Lututnya terluka akibat jatuh saat bermain bola. Ia dijegal oleh Tarjo, teman bermainnya saat sedang menggiring bola ke arah gawang tim Tarjo. Sial bagi Andi, lututnya menjadi pijakan saat terjatuh. Akibatnya, gesekan dengan lapangan plesteran tak terelakkan. Yaph, mereka bermain bola di lapangan bulutangkis yang memang plesteran, bukan di lapangan rumput yang memang untuk sepakbola. Maklum, mencari tanah lapang untuk bermain anak di perkotaan sudah semakin sulit.

            “Andi, kenapa kamu  menangis?” tanya Ibu Andi khawatir mendengar anaknya pulang dengan mendesis dan mengaduh.

            “Jatuh Ma saat main bola” jawab Andi lirih sambil menahan sakit yang masih saja berkutat di kakinya.

            “Buruan diobati Ndi! Biar enggak infeksi!” seru Ibu Andi dengan ekspresi sedikit ngeri dengan luka yang menimpa anaknya.

            “Ini revanol, betadine, dan kapas. Kamu bersihin lukamu itu pakai revanol dulu baru kamu  teteskan betadine.” lanjut Ibu Andi memberikan tutorial pengobatan kepada buah hatinya.

            Andi lalu membuka tutup revanol dan menuangkannya pada selembar kapas. Dengan perlahan  ia tempel-tempelkan pada luka di lututnya. Sesekali ia usap dengan sangat hati-hati. Wajahnya meringis menahan perih meski sebenarnya revanol cenderung dingin ketika mengenai luka.

            Usai ia basuh lukanya dengan revanol, ia teteskan  betadine. Sempat ragu karena takut terasa perih, namun akhirnya ia teteskan juga. Betadine meski mengandung yodium seperti obat merah, namun meminimalkan rasa perih ketika diteteskan. Setelah tetesan yang ketiga, ia tutup kembali betadine itu. Lalu ia tiup-tiup lukanya. Entah apa maksudnya. Mungkin dengan ditiup, ia berharap lukanya jadi cepat kering.

            “Andi, kenapa kamu bisa terluka seperti itu ndi?” tanya Betadine penasaran.

            “Biasa Din. Jatuh waktu main bola.” sahut Andi sekenanya.

            “Kamu kan udah biasa main bola. Kok masih aja jatuh sampai terluka seperti itu?” tanya Betadine yang heran sebab terlampau sering Andi terluka sehabis bermain bola.

            “Ah pertanyaanmu ngaco Din. Siapa juga sih yang ingin terluka. Ini kan tidak sengaja.” jawab Andi kesal dengan nada yang meninggi.

            “Hahaha... Maaf Ndi! Aku kan nggak pernah main bola.” balas Betadine enteng.

            “Makanya kalau tidak tahu, jangan gampang memvonis!” cerocos Andi dengan sisa-sisa kekesalannya.

            Lebay ah Ndi. Kayak sinetron aja.” sahut Betadine yang ganti kesal.

         “Bodo!” balas Andi singkat yang nampak enggan menanggapi komentar-komentar yang semakin aneh dari Betadine.

***

            Hari-hari Andi kini dilalui dengan aktivitas yang sama setiap pagi dan sore harinya. Persis setelah mandi, ia membasuh lukanya dengan revanol menggunakan kapas lalu meneteskan betadine di atasnya. Tak lupa ia tiup-tiup lukanya setelah sesi pengobatan selesai.

            “Din, makasih ya! Kamu udah setia dan sabar mengobati aku. Sekarang lukaku udah mulai mengering. Kalau kamu tidak ada, mungkin lukaku masih menganga.” curhat Andi setelah diobati betadine untuk yang kesekian kalinya.

            “Sama-sama Andi. Sebenarnya yodiumku cuma memotivasi sel dan jaringanmu untuk membentuk yang baru buat menggantikan yang terluka. Kuncinya ada di kesungguhan sel dan jaringanmu sendiri. Jika sel dan jaringanmu enggan membentuk yang baru, kamu tetesin aku berliter-liter tetap tidak akan sembuh.” balas betadine dengan merendah.

            “Iya sih, Tapi tetap itu berkat kamu Din.” timpal Andi dengan ngotot.

            “Ah kamu Ndi. Aku kan jadi malu.” kata Betadine dengan senyum tersipu-sipu.

Andi pun tertawa mendengarnya.

***

            Seminggu berselang,  lutut Andi yang terluka telah  mengering. Bekas lukanya telah mengeras berwarna kehitaman. Di sela-selanya telah mengintip kulit baru yang berwarna merah muda.  Meski begitu, ia belum sembuh benar. Kakinya belum bisa buat diajak berjalan cepat maupun berlari. Namun demikian, ia telah merapikan revanol, kapas, dan betadine kembali ke kotak P3K. Menemani perban kembali yang memang tidak dikeluarkan untuk pengobatan Andi. Dengan begitu, pengobatan untuk luka Andi telah dicukupkan.

            Seminggu kemudian, luka Andi benar-benar telah sembuh. Ia mulai tampak riang dan beraktivitas seperti sedia kala. Namun tak lagi ia melirik kotak P3K tempat sahabat-sahabatnya saat terluka. Apalagi untuk menyapa mereka. Kotak P3K itu pun kini mulai berdebu.

            “Din, si Andi keterlaluan ya. Masak dia nggak pernah menengok kamu lagi, mencari kamu, padahal kamu kan udah berjasa banget buat dia, udah menyembuhkan lukanya.” komen perban menggunjingkan Andi.

            “Ssst... kamu nggak boleh ngomong gitu Per! Kalau dia nggak mencari aku, itu baik. Artinya nggak ada luka yang kambuh atau luka baru lagi.” tegas Betadine pada perban untuk menepis komentarnya tentang Andi.

            “Tapi jujur Per, aku juga kangen saat Andi mengaduh dan merintih ketika aku obati. Saat dia bercerita tentang lukanya dan pesimis akan kesembuhannya. Tingkahnya yang terus meniup lukanya meski aku bilang tidak akan berpengaruh, tapi tetap saja dilakukan. Saat dia memegang lukanya yang mulai mengering dan bersemangat menceritakan apa hal yang akan dilakukan ketika sudah sembuh.” curhat betadine mengenang saat-saat bisa begitu dekat dengan Andi.

            “Eh, aku kok jadi jahat gini.” ralatnya sedetik kemudian.

            “Tapi tetap harusnya Andi mencari kamu Din. Paling tidak, sekedar menyapa. Tidak terus meninggalkan begitu saja setelah sembuh. Nanti gilliran terluka, baru nyariin kamu lagi.” timpal Perban yang masih menyesalkan sikap Andi kepada Betadine.

            “Per, kalau dia cari aku buat apa? Aku mau dijadikan pengganti kecap buat teman dia makan karena warnaku mirip kecap? Nggak kan?! Ada-ada aja kamu Per.” balas Betadine dengan bijak.

            “Per, kalau masalah menyembuhkan lukanya memang sudah jadi tugasku. Yang salah itu, kalau dia terluka, aku tidak berusaha menyembuhkannya.” tambah Betadine lagi memperkuat penjelasannya sebelumnya.

            “Tapi tahu nggak kamu Din, Andi bermain sama bola lagi. Tiap hari dia dibawa mulu. Padahal, gara-gara dia Andi terluka. Kamu yang justru mengobati, malah dicuekin.” papar Perban dengan agak sewot.

            “Ya wajarah Per, anak seusia dia main bola. Nanti kalau dia sudah agak besar, mainannya beralih ke laptop kayak kakaknya. Tidak ada yang salah Per. Tidak ada juga yang perlu dipermasalahkan.”  terang Betadine lebih rinci kepada Perban dengan diawali menghela nafas terlebih dulu.

            “Ah kamu Din! Diperlakukan seperti itu masih saja bersikap baik.” seloroh Perban yang keheranan dengan sikap yang ditunjukkan Betadine.

Padahal dia yang cuma melihat tingkahnya Andi saja sudah merasa kesal.
            “Ah, berisik kamu Per! Ganggu aja obat mau istirahat.” ganti Betadine kini yang berseru kesal kepada Perban.

            “Yee... dibilangin malah kayak gitu! Awas yaa!” sahutnya kesal karena dibilang berisik oleh Betadine.

***

Senin, 08 Februari 2016

Karena Mereka Begitu Indah



Samudera cinta…

Dari palung hati…

Tak terukur dalamnya hingga saat…

Perpisahan tiba…                               (Lagu Cinta, Dewa 19)


            Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Sebuah hal yang lumrah dalam cerita hidup anak manusia. Diantara keduanya pasti telah terangkum banyak peristiwa. Peristiwa-peristiwa itulah yang akhirnya aku tuliskan dalam cerita ini agar tidak kabur tersapu oleh waktu.

            Awal aku di tv one, aku bertemu dengan seorang gadis yang sedang duduk di lobi. Gadis manis, tinggi, kurus, dan berjilbab. Ternyata dia juga karyawan baru dan hari itu adalah hari pertamanya bekerja. Sementara aku, hari itu hendak tanda tangan kontrak. Kami berkenalan, ternyata namanya Dian. Dua suku terakhir dari namaku. Hahaha…

            Sehari berselang, aku resmi mengenakan seragam tv one. Aku pun kembali bertemu dengan Dian. Dia telah duduk manis, rapi, dan tentu telah berseragam di ruangan finance tv one. Saat itu aku sedang diperkenalkan ke rekan-rekan finance satu per satu. Ternyata aku dan dian sedivisi, bahkan satu ruangan. Waktu terus berjalan mengikuti alur yang ditetapkan Sang Pencipta. Kami pun diangkat sebagai karyawan tetap dalam waktu yang bersamaan.

            Meski seruangan, pekerjaan kami berbeda. Aku di lapangan dan dia mengurus pengajuan budget di kantor. Namun tak berarti kerja kami tak bersinggungan. Dian sering aku repotkan untuk membantu mengurus budget, khususnya budget luar kota, apalagi jika budgetnya kurang dan waktunya mepet. Dari sharing budget akhirnya sampai sharing ke hal-hal yang lain.



           Dian merupakan pendengar yang baik. Dia memberi masukan tanpa menghakimi. Satu hal yang bakal membuat aku kangen adalah gaya ketawanya yang khas. Dian punya gaya ketawa yang panjang lebar bin kenceng banget. Kalau diingingatkan tangannya langsung menutup mulutnya. Terus bilang, “Aan kok gitu sih?!”. Jaga terus tawamu itu Di! Jangan sampai sedih dan galau merenggutnya. Nanti kalau ketemu, aku tagih. Hahaha…


            Oya, satu lagi yang bikin aku bangga sama Dian. Sekarang dia sudah mulai istiqomah mengenakan rok panjang. Mulai terbuka semangat di hatinya untuk belajar agama lebih dalam. Terus seperti itu ya Dian…!

            Perjalanan waktu juga membuatku menemukan sosok yang selalu ada dan ringan membantu. Awal bertemu sih, aku agak rikuh karena orangnya nampak pendiam. Tapi aku tahu, dia orang Jawa. Tidak ada alasan buatku untuk tidak bisa akrab dengannya.

            Sampai di suatu libur, tepatnya hari senin ketika itu, aku diajak dia main ke Ancol bersama dengan Gesta dan Adit. Mulai dari situlah awal keseruan tercetus. Sejak itu, entah bertiga atau berempat, kita sering untuk sekedar jalan atau nongkrong. Hingga saat-saat terberat ketika aku atau keluargaku tertimpa musibah, dia tetap ada. Memberi bantuan yang dia bisa berikan. Teman tukeran jadwal agar aku bisa pulang kampung lama. Teman yang mengisi penilaianku saat aku masih di kampung. Termasuk teman yang membantuku di saat terakhir di tv one.

            Satu hal yang aku petik pelajaran darinya adalah aku akan belajar menolong siapun yang membutuhkan. Berusaha untuk tidak pernah menolak orang yang minta tolong. Sebab seperti itulah caranya bersikap kepadaku. Oh ya, sampai lupa sebut nama orang ganteng yang baik hati ini karena keasyikan bercerita. Dia adalah Edi Supheno. Edi Suryono sih nama aslinya, tapi dia lebih populer dengan nama panggung Supheno Mbalelo.



            Banyak hal yang pasti bikin kangen dengan sosok manusia satu ini. Mulai dari Via Vallen, Dian Marshanda, Rena KDI, Reza Lawangsewu, Selimut Tetangga, Wedi Karo Bojomu, Keloas, dan Perawan Kalimantan. Banyak kan?! Sebenarnya nggak juga sih. Itu bisa diringkas jadi satu hal, yaitu penyanyi dangdut Panturaan beserta lagu-lagunya. Hahaha…

            Satu pesanku untuk Mas Pheno, kalau karaokean bawa motor sendiri mas. Masak iya, udah bayarin karokean, malah ditinggalin sendiri. Teman-temanmu pada jahat mas. Oya, salam buat Vio. Hahaha. Nanti, kalau ketemu lagi, pokoknya ndangdutan lagi yach?! Ok?!

            Di luar Mas Pheno, ada lagi seorang adik yang gemesin dan baik meski sering usil. Pertama aku masuk ruang finance, dia sudah ada di dalam. Mengenakan kaos ungu sembari duduk sendirian di pojokan. Dulu rambutnya panjang berombak dengan menyisakan sedikit poni untuk menutupi dahinya. Alhamdulillah, sekarang dia sudah berubah drastis. Sudah berhijab dan mulai mengenakan rok panjang pula. Subhanallah pokoknya dah.

            Dia merupakan partner ndangdutan Mas Pheno. Semua lagu dangdut hafal, terutam lagu-lagu dangdut baru yang alay-alay. Siapakah dia? Yuph, dia adalah Indah Dewi Pertiwi. Eh salah, Indah Sukma Dewi maksudnya. Seorang admin yang paling sering aku repotkan dalam beberapa bulan terakhir. Makasih banyak ya Indah.

            Ada satu hal yang mengharukan dari Indah. Yaph, dia sekarang mulai sering mengulang kata-kataku, “Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi lima menit kemudian”. Dulu kata-kata itu aku gunakan untuk mengajak sholat teman-temanku, tapi mereka masih sibuk dengan aktivitasnya. Karena sebal, aku pun berkata demikian. Masak iya panggilan Tuhan kita kesampingkan. Hahaha…

            Waktu pun akhirnya membawa aku menjadi karyawan senior. Maksudnya, ada lagi karyawan-karyawan baru yang masuk dan lebih fresh. Salah satunya adalah anak gaul selatan yang benama Nendar. Dia ini satu-satunya anak baru yang aku tandemin waktu pertama bertugas.  Anaknya asyik dan seru. Sehabis sama-sama tugas arus mudik, aku sering diajakin nongkrong ke tempat tongkrongannya yang ngehits abis.

            Pernah aku dan nendar terjebak dalam situasi di antara hidup dan mati di tengah laut. Saat itu kami sedang snorkeling. Aku yang tidak bisa renang memberanikan diri karena yakin aman setelah mengenakan pelampung. Setelah cukup lama bermain-main di air, kami pun hendak kembali ke perahu. Di saat itu kaki Nendar tiba-tiba kram dan dia lalu bergelayut di lenganku. Aku meski tak bisa berenang, memamapahnya sembari menyibak-nyibak air agar lekas sampai perahu. Namun apa daya, perahu tak kunjung mendekat, justru semakin menjauh. Akhirnya kami ditolong Mas Arya sama Pak Uli saat itu.


            Peringatan buat kamu Ndar, kalau kaki kram di tengah laut jangan minta tolong sama teman yang nggak bisa renang yach! Tapi ini sekaligus menjadi hal yang unik karena aku yang tak bisa berenang membantu nendar yang sebenarnya bisa berenang. Kalau mau belajar teamwork, ya seperti ini. Berusaha membantu meski tidak tahu berhasil apa tidak. Membuang ego masing-masing. Awalnya di perahu kita berapa orang, ketika sampai darat jumlahnya pun harus sama. Jangan sampai ketika ada yang sakit justru ditinggal dan dibiarkan di lautan. Sok bijak dulu aku. Hahaha…

            Waktu terus membawaku untuk merasakan tugas yang belum pernah aku rasakan. Akhirnya aku merasakan tugas arus mudik selama 20 hari penuh. Meski sebelumnya pun pernah merasakan, meski cuma tiga hari. 

            Apa sih yang sebenarnya dikhawatirkan dalam arus mudik? Kekhawatirannya cuma satu, yaitu meninggalkan orang-orang terdekat dalam waktu yang lama. Namun semua itu sudah terbiasa buatku yang anak rantau. Toh, dua lebaran sebelumnya juga tidak berkumpul dengan keluarga.

            Justru melalui arus mudik ini aku menjadi semakin dekat dengan teman-teman di lapangan yang selama ini hanya sebatas kenal saja. Saat itu aku berpikir mereka inilah keluargaku. Jika terjadi sesuatu denganku, merekalah yang pertama menolongku. Bukan temanku di Jakarta atau keluargaku di Semarang.

Aku benar-benar menyatu dengan mereka. Menikmati kebersamaan dengan mereka. Aku melupakan Jakarta beserta segala pernak-perniknya. Aku pun melupakan Semarang dan mengurung kerinduan tentangnya.

            Banyak cerita di arus mudik. Dari HP-ku yang hilang dihari pertama yang lantas disindir Azis dengan beli perleng sejuta. Dompet dan jam tangan yang nyaris hilang sampai Antoni begitu khawatir sama aku. Sabun Bath Thub yang sering diambil sama cowok yang ingin putih. Horornya lampu mati di Hotel Dian. Perjalanan mencari sate kambing di Brebes. Mengejar kereta demi telur asin. Barista sirup Mantan. Serta banyak hal lainnya yang rasa-rasanya cocok untuk jadi judul FTV. Hahaha...

Tapi yang paling berkesan adalah video musikal ini. Video tepat di saat yang tepat. Di saat kami baru saja lepas dari orang terdekat dan terjerat dalam kerinduan yang dalam dengan mereka. Di saat lelah telah menggurita akibat tuntutan live seharian. Upaya yang kami ciptakan untuk menghibur diri kami sendiri sembari menunggu untuk live berikutnya.


 
            Kembali tentang momen di video ini. Aku jadi lebih mengenal mereka. Antoni yang ngeselin tapi perhatian, Christie yang kalem tapi menggoda, Sintya yang bawel tapi kreatif, dan Azis yang cerewet tapi baik. Yang pasti momen video ini bisa terselenggara berkat kehebatan Pak Azis menata audio OBVAN sebagai sarana karaoke.

            Sempat dulu ingin mengirim video ini ke seseorang, tapi urung aku lakukan. Lagu Begitu Indah rasanya kurang cocok diberikan kepada orang yang dalam waktu sekejap mudah melupakan. Hiks.. Baper dikit. Tahu siapa yang begitu indah? Yaph, merekalah yang saat itu ada di dekatku. Banyak tingkah mereka yang membuat aku tertawa. Banyak cara mereka yang membuat aku terhibur dan dihargai.

            Satu lagi yang membuat aku terharu. Di penghujung arus mudik aku sakit hingga melewatkan makan malam terakhir bersama mereka. Tahu apa yang mereka lakukan? Saat aku mulai bisa bangun dan keluar kamar, mereka mengantarkanku mencari makanan. Joni, Bowo, dan Bengbeng. Mereka tidak makan, hanya menemani aku makan saja. Meskipun aku bilang aku yang bayar, tetap mereka tidak mau makan. So sweet banget deh mereka! Hahaha…

            Semua cerita tentang mereka, tentang teman-temanku semua, akan selalu begitu indah untuk diceritakan berulang kali. Sama seperti aku tak pernah bosan playback video di atas.


Terang saja aku merindunya…

Terang saja aku mendambanya…

Karena dia… karena dia..

Begitu Indah…                                    (Begitu Indah, Padi)


            Sukses buat kalian semua. Terima kasih atas semuanya dan mohon maaf atas kesalahanku. Semoga kelak ada kesempatan buat kita seru-seruan lagi. Hahaha…