Senin, 10 April 2017

Kalau Sudah Waktunya Sholat, Segera ke Masjid


Yaph, ini pengalaman pribadi yang menjadi pelajaran penting. Bermula dari urusan perut yang susah dikendalikan.

Jumat, sekitar jam 10.00 waktu UNDIP aku diajak oleh seorang teman untuk makan mie di lantai 3. Waktu itu perutnya sudah keroncongan sampai dangdutan. Saya yang waktu itu masih ada pekerjaan, tidak mengiyakan namun juga tidak menolak.

Namun sejam berselang, konser yang sama diusung oleh perutku. Akhirnya aku harus mengulang lagi ajakannya tadi.

“Jadi makan nggak Mas Agus?” tanyaku pada minatnya yang sempat terabaikan.
“Ini udah jam 11. Apa nggak mepet sama Jumatan? jawabnya ragu.
“Masih bisalah. Mie kan cepet. Adzan kan baru jam 12.” cerocosku ngotot karena kelaparan.
“Ok…!” sahutnya singkat

Akhirnya kami pun bergegas ke pentry yang ada di lantai 3. Aku memesan mie goreng tanpa telur kesukaanku sedangkan mas Agus memesan mi goreng dengan telur plus meminta jatah telurku dioper ke piringnya.

Suasana saat itu memang sudah sepi karena masuk jam istirahat. Beberapa pegawai laki-laki pun sudah mengganti sepatunya dengan sandal untuk melangkah ke masjid. Namun kami masih berbincang santai sembari menikmati aroma mie yang mulai masak.

Senyum kami langsung berkibar tatkala mbak Ju yang merupakan pegawai pentry membawa nampan berisi dua piring mie pesanan kami. Kami menyambutnya dengan antusias layaknya juara Olimpiade. Tak perlu sampai setengah menit, piring mie itu sudah pindah ke tangan kami.

Sedang asyik-asyiknya menyantap mie buatan mbak Ju, kami dikejutkan dengan sapaan seorang pria berpakaian hitam berwajah oriental.

“Permisi. Pak, mau nanya, kalau ruang buat acara PMK di sebelah mana yaa?” tanyanya.
“Apa itu PMK?” balas Mas Agus balik bertanya.
“Persekutuan Mahasiswa Kristen Pak” terang pria tersebut.
“Wah, saya kurang tahu.” jawab Mas Agus sembari mengunyah sisa-sisa mienya.
Namun tiba-tiba seorang wanita temannya, yang juga berpakaian hitam dan berwajah oriental, mengeluarkan pernyataan mengejutkan.
“Nah, mas ini temannya kan?” sambil menunjuk dan berjalan ke arahku.

Mendadak aku pun bengong. Mencoba mencernanya kalimatnya baik-baik. Ketemu juga barusan, kenal apalagi, kok bisa ngaku-ngaku temenku. Apalagi menjadi anggota organisasi keagamaan non muslim. Helloooo… Kapan aku pindah keyakinan???

“Wah.. saya nggak tahu bu! Masih baru di sini” timpalku sekenanya.
“Dia masih baru. Belum tahu. Mungkin kelas yang pojok itu.” mbak Ju bersuara memberi titik terang kepada dua orang berwajah oriental tersebut.

Mendengar keterangan mbak Ju, kedua orang itu kemudian bergegas ke ruang kelas yang dimaksud dengan meninggalkan ucapan terima kasih terlebih dahulu.

Setelah mereka menghilang dari pandangan, serempak tawa dari kami bertiga pecah menggelegar. Seketika itu pula aku jadi sasaran bullyan dari mas Agus dan mbak Ju. Mereka menganggap mata sipitku dan tampang yang sedikit keorientalan, membuat aku dikira sebagai temannya. Aku pun heran sejadi-jadinya. Apalagi saat itu aku memakai baju muslim. Memang sih baju muslimku model yang modern. Tidak terlalu terlihat sebagai baju muslim. Namun jika jeli melihat kerahku, jelas itu kerah baju muslim.

Akhirnya aku dan mas Agus segera menyelesaikan makan untuk kemudian bergeas ke masjid. Di sepanjang perjalanan, kami berdua masih tertawa mengingat momen yang baru terjadi. Namun ini pun menjadi tamparan keras sekaligus pelajaran berharga buat kami. Jika sudah masuk waktu sholat, bergegaslah ke masjid untuk sholat. Jangan menunda-nunda atau akan dianggap sebagai teman atau bagian kaum dari mereka yang non muslim.

Tulisan yang sekedar sebagai self-reminder. Kalau pun ada sedikit bahasan tentang agama, sama sekali tidak ada arah ke SARA lho yaa. Ok?! Semoga bermanfaat.