Satu lagi kisah haru di perantauan
kutulis agar tidak terkikis oleh waktu. Sebuah kisah di penghujung Mei. Kisah
yang menguji persahabatan. Kisah tentang kebaikan mereka yang tetap ada saat
aku terpuruk. Kisah yang akan aku ingat selamanya. Sengaja aku tulis waktu Hari
Raya Idul Qurban untuk mengenang pengorbanan teman-temanku demi aku. Kalaupun
pada akhirnya ini diposting sekarang, itu karena ada kendala. Kendala
menyelesaikan laporan dulu. Hahaha.
Malam itu, waktu sudah menunjukkan
pukul tujuh lewat. Sebagian dari kita telah meninggalkan ruangan kantor.
Maklum, itu adalah hari Jumat. Hari di mana sebagian besar karyawan mengakhiri
kerjanya dalam seminggu.
Meninggalkan ruangan tak berarti
langsung pulang ke rumah atau kos masing-masing. Tak sedikit yang memilih nongkrong dulu di lobi atau di warung
kopi. Menikmati waktu-waktu yang tersisa sebelum libur di esok hari.
Aku yang semula di ruangan pun
menyusul ke depan. Ke warung kopi tepatnya. Warung kopi sederhana dengan sebuah
gerobak dan tenda kecil yang disokong dua bilah bambu. Di bawahnya ada bangku
panjang untuk para penikmat kopi.
Di
sana telah ada Adit, Edi, Lini, Indah, Daus, dan Nendar. Masing-masing
menceritakan tentang rencana mengisi akhir pekannya. Aku pun menyimaknya dengan
sesekali melontarkan tanggapan atau pertanyaan. Lama nongkrong, tenggorokanku pun merasakan haus. Akhirnya, aku memesan
segelas white coffee kepada pemilik
warung. Kami pun kembali mengobrol. Tak lama kemudian, pesananku telah jadi.
Aku hendak langsung meminumnya, tapi urung karena masih panas. Kutiuplah gelas
itu dan tiba-tiba HP-ku berdering. Kuletakkan gelas itu di meja dan kuangkat
HP-ku. Ternyata telepon dari rumah.
Aku: “Halo, Assalamu’alaikum.”
Ibu: “Wa’alaikumsalam, Aan?”
Aku: “Iya Bu, ada apa?”
Ibu: “Kamu di mana?”
Aku: “Masih di kantor. Baru saja selesai kerja.
Ada apa Bu?”
Ibu: “Baik-baik saja kan?”
Aku: “Iya, baik-baik saja kok. Ibu bagaimana?”
Ibu: “Tadi
ada orang telepon. Mengakunya itu kamu. Suaranya mirip sekali suaramu. Katanya
kamu menabrak orang. Yang satu meninggal, yang satu di rumah sakit. Terus minta
uang untuk mengurus polisi, rumah sakit, sama pemakaman.”
Suara
Ibuku mulai terdengar parau dan sedikit terisak.
Aku: “Minta uang berapa? Dikasih?”
Ibu: “xx juta. Iya, sudah telanjur dikasih. Soalnya
suaranya mirip sekali suaramu An.”
Aku: “Haduuuuh.... Mengapa langsung dikasih?!
Mengapa tidak telepon aku dulu?!
Aku
pun mulai emosional. Berteriak-teriak di depan gerbang kantorku. Tanganku
menghentak-hentak. Begitu pula dengan kakiku. Sesekali tanganku mengacak-acak
rambutku. Duduk, jongkok, dan berdiri lagi. Tak mempedulikan gerimis yang
menyiramku. Bahkan Satpam kantor sampai menegurku agar aku masuk ke dalam
kantor saja tapi aku menampiknya.
Ibu: “Dia bilang HP-mu disita untuk jaminan.”
Aku: “Haduuuh....”
Aku
mulai tak bisa berkata-kata lagi. Mataku berkaca-kaca. Menyadari tak bisa
menjaga keluargaku. Di sisi lain amarahku memuncak. Ingin rasanya menghajar
hingga babak belur orang yang tega menipu orang tuaku. Terselip juga kecewa
pada orang tuaku. Mengapa mudah sekali ditipu. Padahal mereka juga sudah sering
mendengar modus penipuan seperti ini. Namun tak mungkin juga aku memarahi
mereka.
Aku: “Ya sudah Bu. Aku pulang dulu. Nanti kita
urus ke polisi.”
Ibu: “Tidak usah An. Ibu malu kalau nanti jadi
ramai.”
Aku: “Kita harus lapor ke polisi Bu! Aku nggak terima orang tuaku diperlakukan
seperti ini!”
Ibu: “Ya sudah. Hati-hati nanti kalau pulang.”
Aku pun kembali ke teman-temanku di
warung kopi dengan langkah yang gontai. Mereka menatapku dengan tatapan penuh
keheranan. Lalu serempak mereka menanyakan apa yang terjadi denganku? Mengapa
raut mukaku berubah 180 derajat setelah menerima telepon? Aku pun hanya
menjawab singkat bahwa keluargaku terkena musibah.
Mereka terus merayuku agar aku mau bercerita
detailnya. Akhirnya aku pun menceritakan sebagian dari informasi yang kudapat
dari telepon tadi. Tak mungkin aku menceritakan semuanya.
Meski aku hanya menceritakan
sebagian, emosiku kembali terguncang. Entah refleks atau apa, tanganku
tiba-tiba memukul bambu penyangga tenda kopi. Tentu dengan tenaga ala kadarnya
sebab jika sungguhan tentu akan roboh.
“Sabar
An”, kata Lini lirih dengan tatapan yang meneduhkan.
Sebuah kata normatif, namun di situasi seperti ini
akan terasa sangat bermakna. Mengompres suasana hati yang sedang bergejolak.
Adit dan Edi kemudian mendekatiku. Mereka meminta agar aku tenang dulu lalu
menceritakan semua pelan-pelan.
Belum sempat aku bercerita, justru
Adit yang bercerita padaku bahwa adeganku ketika telepon ditonton Pak Uli, bos
kami.
Aku: “Emang
tadi aku kelihatan lebay banget yaa?”
Adit: “Iya, mantap banget dah aktingmu tadi. Udah
kayak di sinetron-sinetron.”
Aku: “Terus dia bilang apa?”
Adit: “Itu Aan kenapa?
Kok telepon sambil hujan-hujanan? Nanti sakit. Suruh ke sini aja!”
Aku: “Terus?”
Adit: “Nggak
tahu Pak, tadi dapat telepon terus gitu.”
Aku: “Sekarang dia pulang?”
Adit: “Iya, pulang.”
Sejenak aku terdiam. Tak tahu harus
melakukan apa. Aku masih shock dengan
apa yang baru saja kudengar. Namun tiba-tiba tersirat sesuatu di dalam
pikiranku.
Aku
lalu bertanya pada Edi dan Adit apa mereka mnyimpan nomor telepon petinggi
POLRI yang menjadi narasumber? Keduanya menjawab tidak. Lalu aku bertanya pada
Indah yang merupakan admin kami. Mungkin saja dia menyimpan nomor telepon
narasumber karena sering memeriksa laporan. Indah pun menjawab bahwa nomor
telepon narasumber kemungkinan ada di komputer Ratih, mantan admin kami. Aku pun
lantas bergegas kembali ke ruangan UPM.
Mencari nomor telepon petinggi POLRI
sengaja aku lakukan untuk antisipasi jika nanti dipersulit ketika membuat
laporan ke polisi. Aku pun nanti juga akan mengenakan seragam saat lapor.
Biasanya polisi segan dengan awak media.
Setiba
di ruangan, aku langsung mencari file
yang dimaksud di bekas komputer Ratih. Alhamdulilah ada nomor teleponnya dan
langsung aku simpan di HP. Tak lama kemudian Adit, Edi, Indah, dan Lini
menyusulku masuk ke ruangan.
Adit: “Ada nomornya?” tanya Adit usai membuka
pintu.
Aku: “Iya, ada.” jawabku singkat.
Mereka kemudian kembali mencecarku dengan pertanyaan mengenai apa yang baru saja menimpa keluargaku. Namun aku masih menjawab seperlunya. Tapi dari sinilah rangkaian kisah mengharukan itu dimulai. Aku jadi melihat sisi lain dari teman-temanku yang selama ini jarang ditampakkan ketika di kantor.
Adit: “Kena berapa cuy? Itu modusnya kayak yang dialami tanteku.”
Aku: “Ah... sudahlah.”
Adit: “Eh berapa? 5 juta ada? 10 juta ada?”
Aku hanya terdiam ketika ditanya
nominal oleh Adit. Tidak mengiyakan tetapi juga tidak menampik. Aku sendiri kaget
dengan nominal yang tadi disebutkan oleh Ibuku dan aku tidak ingin
teman-temanku juga ikut kaget. Menurutku nominalnya terlalu besar, sangat
besar. Biar aku, keluargaku, polisi, dan Tuhan saja yang tahu.
Aku: “Aku nggak
habis pikir, kenapa orang tuaku bisa
tertipu ya? Padahal sudah sering mendengar modus yang seperti itu.”
Adit: “Itu namanya musibah bro. Nggak bisa disalahkan”
Aku: “Iya sih. Pokoknya aku harus kejar
pelakunya! Aku nggak terima orang
tuaku diperlakukan seperti itu!”
Edi: “Wajar... wajar... namanya anak.”
Edi mencoba memberi pembenaran atas
sikapku yang masih terbalut emosi. Sisi dewasanya terlihat. Memang dia paling
dewasa diantara kami berlima karena cuma dia yang telah berkeluarga.
Lini: “Sabar An, sabar. Namanya musibah. Tapi Ibu
kamu nggak apa-apa kan?”
Aku: “Alhamdulillah, nggak apa-apa.”
Lini: “Setiap peristiwa ada hikmahnya. Uang bisa
dicari, tapi kalau nyawa? Untung Ibu Aan nggak
diapa-apakan.”
Aku: “Iya, benar Lin.”
Edi: “Wah. Itu kalau kata-katanya ada
bandrolnya, aku beli.”

Tidak ada yang menyangka jika Lini yang selama
ini cenderung pendiam di kantor bisa mengeluarkan kata-kata bijak seperti itu.
Selama ini Lini hanya memanggil anak-anak UPM untuk dua alasan. Pertama,
menagih laporan. Kedua, memberikan rembesan.
Namun malam itu dia menjelma menjadi sosok yang beda. Seolah ada sayap yang
muncul dari punggungnya hingga kata-katanya dan tindak-tanduknya bagaikan
malaikat.
Aku lalu minta tolong Lini untuk
mencarikan tiket pesawat buat ke Semarang esok harinya. Aku minta yang dari
Halim saja. Dia lantas mengutak-atik komputernya dengan sedikit bantuanku untuk
menyebutkan identitasku. Akhirnya sebuah tiket Citilink berhasil dicetak berikut cara pembayarannya.
Tiba-tiba Irman datang. Dengan
senyum tersungging di bibirnya karena melihat Lini dan Indah masih di ruangan.
Dia pun berujar dengan percaya dirinya, “Wah, masih pada di kantor nih? Nanti
gaji kamu saya naikkan lima kali lipat!” Dia lalu berlalu masuk ke ruangan khusus
UPM dan terbelalak ketika melihat GM kami masih ada di dalam ruangan. Senyumnya
seketika menghilang tetapi kami yang ada di luar ruangan jadi tertawa
terbahak-bahak. Lumayan, sedikit menghiburku.
Irman yang kemudian mengetahui bahwa
aku sedang mencari tiket pesawat dadakan, menyarankan aku agar ke reservasi
saja. Adit lalu membawaku ke reservasi sedangkan Indah berpamitan pulang. Di
reservasi kami menemui Arbi dan mengutarakan maksudku. Lalu dia mulai membuka
komputernya dan mencari tiket demi tiket. Sama seperti yang diupayakan Lini,
Arbi pun mendapatkan tiket Citilink.
Bedanya Arbi melalui agen dan pembayarannya bisa dititip secara cash ke dia.
Edi tiba-tiba menyusul menghampiri
kami sambil menyerahkan uang rembesan
dari Lini. Alhamdulillah, di saat genting seperti ini uang rembesan bisa keluar. Ini pertama kalinya selama jadi UPM, uang
rembesan bisa keluar di jam sembilan malam. Subhanallah, Lini benar-benar
menjadi malaikatku malam itu.
Setelah tiket dicetak dan berdiskusi
dengan Adit, akhirnya aku memutuskan untuk membayar tiket dari Arbi. Di situ
aku tidak ada uang pas meski sebenarnya uang rembesanku lebih dari cukup untuk membayarnya. Seketika itu juga
Adit mengeluarkan beberapa puluhan ribu dan menyerahkannya ke Arbi untuk
menambal kekurangan pembayaran tiketku. Ia pun tidak mau diganti. Sungguh malam
itu aku melihat sosok Adit yang berbeda. Tiba-tiba Lini datang menyusul kami.
Lini: “Gimana
An? Dapat tiketnya?”
Aku: “Alhamdulillah dapat. Makasih yah!”
Akhirnya kami kembali ke ruangan,
mengambil tas, berpamitan pada Irman yang tugas malam, lalu pulang. Sambil
berjalan ke parkiran, aku dan Lini saling berbincang. Berbincang mengenai
kesamaan garis hidup yang menjadikan kami anak rantau dan anak pertama dalam keluarga.
Berbincang mengenai besarnya tanggung jawab kami, tentang kerinduan pada orang
tua, dan tentang keinginan membahagiakan mereka yang ada di seberang sana.
Adit
dan Edi lalu menghampiri kami dengan motornya masing-masing. Aku membonceng Edi
karena tidak membawa motor sementara Lini membonceng Adit. Dalam perjalanan,
aku bertanya pada Edi.
Aku: “Mas, buru-buru nggak?”
Edi: “Ada apa?”
Aku: “Aku mau sharing.
Aku bingung besok ngomong apa sama
orang tuaku.”
Edi: “Ow ya sudah, Ayo!”
Edi kemudian mendekatkan motornya ke
motor Adit dan mengajak bicara Lini.
Edi: “Lin, kamu buru-buru nggak?”
Lini: “Nggak,
ada apa?”
Edi: “Aan mau sharing.”
Lini: “Ow ya sudah. Di mana?”
Edi: “Cari angkringan aja gimana?”
Adit: “Iya, di angkringan aja Ed.”

Amgkringan
sederhana, dengan beralaskan terpal dan tikar yang digelar di atas trotoar.
Sebuah gerobak makan terparkir di sebelahnya. Masing-masing kami kemudian
mengambil makanan yang disukai. Aneka sate dan gorengan menjadi jenis makanan
yang terbanyak. Sate-sate itupun kemudian dikumpulkan untuk dibakar. Kami pun
memesan minuman susu jahe kecuali Adit yang lebih doyan teh manis.
Setelah
semua makanan dan minuman tersaji, aku pun memulai pembicaraan.
Aku: “Teman-teman jujur aku bingung besok harus ngomong gimana ya sama orang tuaku?”
Lini: “An, nanti kamu jangan marahin Ibu kamu.
Dengarkan ceritanya baik-baik. Dihibur biar nggak
sedih. Kehilangan uang nggak masalah,
yang penting Ibu Bapak Aan nggak
apa-apa, Aannya juga nggak apa-apa, nggak seperti yang diceritakan di
telepon.
Edi: “Ini... nih! Kalau ada bandrolnya, aku
beli!”
Adit: “Wuaaah... gileeee...”
Kembali Edi dan Adit terpesona oleh
kata-kata Lini. Aku pun demikian. Bertambah kagum pada pola pikirnya. Kata-katanya
terdengar sejuk di telinga. Hatiku yang sedang berkecamuk dibuatnya seolah
diolesi es krim. Lini pun hanya tersenyum malu-malu mendengar semua komentar itu.
Aku: “Padahal aku aja nggak pernah meminta uang sebanyak itu sama orang tuaku. Diberi pun
waktu aku pulang selalu aku tolak. Eh ini yang bukan siapa-siapa malah seperti
itu. Aku takut kalau ini mengancam keberangkatan haji Ibuku.”
Lini: “Namanya juga musibah An. Siapa tahu nanti
diganti yang lebih besar sama Allah. Kita juga nggak tahu nanti Ibu Aan kalau haji di sana bagaimana? Kenapa-napa atau nggak. Ini rahasia Allah.”
Aku: “Iya, ada benarnya juga.”
Edi: “Lin, harganya berapa? Biar aku beli!”
Adit: “Berapa harganya? Sini, aku bayarin!”
Lini makin tersipu-sipu mendengar
komentar Edi dan Adit sembari menutupkan slayer
tipis ke wajahya yang putih. Kontras sekali dengan pekatnya malam itu.
Aku: “Teman-teman, dengan kejadian seperti ini
membuarku berpikir apakah aku harus masih harus bekerja di Jakarta? Aku merasa nggak bisa menjaga orang tuaku. Meski
aku juga sadar kalau di Semarang, aku kerja apa? Kebanyakan lowongan kerja di
sana cuma sebagai Sales sama Debt Collector.”
Adit: "Jangan gitu bro. Ini musibah. Bisa menimpa
siapa saja. Katakanlah kamu di Semarang nih, tapi kalau kamu nggak kerja, itu justru menambah beban
orang tuamu.”
Aku: “Iya sih, Mas. Tapi kalau aku membawa orang
tuaku ke Jakarta, aku belum sanggup. Aku benar-benar merasa nggak bisa melindungi mereka.”
Lini: “Ini musibah, An! Mau kamu di Semarang, di
Jakarta, yang namanya musibah tetap aja
bisa datang.”
Aku: “Benar juga Lin.”
Lama mengobrol, temggorakanku
akhirnya kekeringan. Aku lalu mengambil gelas yang ada di depanku. Meneguk susu
jahe yang menjadi menu andalan di angkringan. Namun baru kali itu aku merasakan
susu jahe yang tidak terlalu hangat. Masih kalah hangatnya dengan kebersamaan
dan perhatian teman-temanku yang mereka curahkan padaku malam itu.
Kulihat gelas-gelas lain juga
tinggal setengah airnya. Makanan hanya tersisa beberapa saja di piring. Lini
sudah menyandarkan punggungnya pada dinding toko yang sudah tutup. Adit masih
menghisap rokoknya yang tinggal seujung jari. Edi pun demikian, sambil
mengutak-atik HP-nya.
Sungguh malam yang berat untukku. Di
saat kerjaan sedang banyak-banyaknya, justru dibenturkan dengan situasi yang
seperti ini.
Aku: “Laporan numpuk. Ada aja masalah kayak
begini.”
Adit: “Udah pulang An. Pulang aja dulu. Tenangin
orang tuamu. Masalah laporan gampang. Dikerjakan nanti aja bisa. Masalah jadwalmu besok, biar aku sama anak-anak yang handle. Pokoknya kamu selesaikan dulu
masalahmu di kampung.”
Aku: “Iya sih Mas, aku kalau tidak pulang juga nggak bisa kerja dengan tenang. Makasih ya Mas.”
Adit: “Udah,
santai saja.”

Hatiku mulai tenang dengan wejangan
dari teman-temanku tadi. Namun masih ada sedikit resah yang terselip manakala
mengetahui HP-ku ternyata telah mati sedari tadi.
Aku: “Mas Edi, ada power bank nggak? HP-ku mati. Takut kalau ada kabar dari rumah.”
Edi: “Ini.” Sambil ia menyerahkan powerbank-nya kepadaku.
Ternyata benar, ketika HP menyala,
ada sms dari bapakku. Intinya mengabarkan kalau kondisi Ibu sudah istirahat,
sudah tidak terlalu shock. Peminjaman
powerbank yang hanya beberapa menit
namun sangat berarti. Setidaknya menepis galauku untuk sementara waktu.
Malam mulai beranjak pagi. Raut muka
lelah semakin jelas terpampang di wajah kami. Jalanan mulai sepi. A ngkringan
pun sudah mau tutup. Mau tak mau kami harus enyah dari sana. Adit membereskan
apa saja yang kami makan dan ia tak mau diganti.
Ketika
hendak pulang, Lini kembali membuat hal yang mengejutkanku. Ia ingin
mengantarkanku ke kosan. Aku sudah bilang padanya bahwa itu tak perlu namun dia
tetap memaksa. Nampaknya dia masih mengkhawatirkanku. Jadilah empat orang
perantauan duduk di atas dua motor menuju ke kosanku. Empat orang perantauan
yang mencoba mencari arti bahagia di ibukota. Menyatu karena rasa yang sama.
Rasa ingin menikmati hidup.
Edi: “Sudah, tidak apa-apa, kalau biasanya kamu
yang mengantarkan dia, biarkan dia ganti sekali-kali mengantarkan kamu.”
Aku: “Ya sudah jika maunya begitu.”
Sesampainya di depan kosan, aku
turun dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Sungguh itu malam yang
menguras emosiku. Aku marah, sedih, tapi juga terharu atas sikap yang
diperlihatkan teman-temanku. Terima kasih teman, aku senang dan bangga punya
teman seperti kalian. Terima kasih juga buat Isra yang sudah mau bertukar
jadwal denganku di saat aku sudah tidak tahu lagi harus bertukar jadwal dengan
siapa.
Ujian
sesungguhnya bagi persahabatan bukanlah yang ada di saat kita senang tetapi
yang tetap ada di saat kita mengalami kesusahan. Ini sungguh ironi mengingat
beberapa hari sebelumnya kita masih sempat tertawa lepas, menyanyi sambil
bergoyang, diikuti colek-colekan sambal
di dalam ruang karoeke. Namun seketika berubah 180 derajat setelah mendapatkan
telepon dari rumah. Memang hidup itu seperti roda yang terus berputar. Kadang
di atas, kadang di bawah.
Kawan,
jangan pernah sungkan memintaku membantu kalian ketika kalian mengalami
kesulitan. Apa yang bisa aku lakukan, pasti aku lakukan. Bahkan jika harus
meneteskan darah demi kalian. Tapi darahnya, darah nyamuk aja yach?! Hahaha.
Aku
sangat beruntung mempunyai teman-teman seperti kalian. Kalianlah keluargaku di
Jakarta. Sabar menasehati, tak lelah memberikan motivasi. Selalu membuatku
tersenyum dengan beragam tingkah dan polah kalian. Kalian terlalu berharga
untukku. Sangat berharga. Jika gadget
bisa kita cari kapanpun dan di manapun kita mau, tapi teman seperti kalian? Tidak
mudah ditemukan. Benar kata Sheila on 7,
“Arti Teman Lebih Dari Sekedar Materi”.
Kawan,
ada sebuah hadits yang menarik dari Rasulullah saw. Hadits yang menceritakan
tentang keutamaan seseorang yang telah berbuat baik kepada sesamanya. Diriwayatkan
dari Jabir, Rasulullah saw bersabda,”Orang
beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak
bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat
bagi orang lain.” (HR. Thabrani dan Daruquthni). Kawan, semoga kalian
termasuk orang-orang yang dimaksud oleh hadits ini.
"Tapi dari sinilah rangkaian kisah mengharukan itu dimulai. Aku jadi melihat sisi lain dari teman-temanku yang selama ini jarang ditampakkan ketika di kantor."
BalasHapusteman yang baik seperti bintang diLangit, kita tidak bisa seLaLu meLihatnya tapi kita tau dia seLaLu ada disana .
"Aku membonceng Edi karena tidak membawa motor sementara Lini membonceng Adit."
LINI MEMBONCENG ADIT *setauku Lini memang sudah punya S*M :p, tapi sepertinya dia akan berfikir 2x jika untuk membonceng adit . HeHeHe :D
Nggak ada yang salah Ndah dengan kalimatnya, Membonceng berbeda dengan memboncengkan.
BalasHapus