Teman-teman kenal Limbad kan? Siapa
sih yang hari gini nggak kenal sama Limbad? Terus apa hubungannya Limbad sama
ujian? Emang Limbad masih sekolah? Iyaaa Kaleeee... Hehehe... Begini
teman-teman yang sedang sekolah bukan Limbad, tapi saya dulu waktu kuliah.
Terus maksudnya jadi Limbad apa dong? Jadi Jelek gitu? Oww tidak... Saya mah
bersyukur aja sama yang dikasih Tuhan. Buat apa jadi jelek kalau udah dikasih
ganteng? Hahaha....
Selama ini Limbad kan dikenal
sebagai pesulap yang selalu menampilkan atraksi ekstrim, menantang bahaya dalam
setiap pertunjukannya. Dulu dia pernah beratraksi dengan dilindas alat yang
buat mengaspal jalan (maaf nama alatnya lupa). Kurang lebih hal yang tidak jauh
berbeda juga terjadi pada diri saya, tentu bukan karena kesengajaan. Gilaaa
apa? Udah tau bahaya diikutin. Hahaha...
Langsung aja ke inti permasalahan. Waktu
itu masih musim ujian. Kalau sekarang sih udah nggak musim, maklum udah cabut
dari kampus. Nah waktu musim itu, sama seperti musim buah yang selalu ada
keramaian. Keramaiannya apa hayo? Keramaian pinjem catatan dan fotokopi
catatan.
Ada satu mata kuliah yang catatannya
banyak, masih ditambah fotokopi bacaan-bacaan wajib, dilengkapi pula dengan
fotokopi makalah yang tak kalah banyaknya. Mata Kuliah apa itu? Yuph, mata kuliahnya Pak Tri, tepatnya
Politik Global.
Singkat cerita, setelah muter-muter
cari bahan dan fotokopi, akhirnya komplit juga bahannya. Tinggal dibaca aja
satu-satu. Entah mengapa malam itu, hawanya malas buat belajar. Tapi kalau
nggak belajar besok ujian mau diisi apa? Akhirnya, setelah saya sholat isya,
sekitar jam 9 malam, bahan-bahan sudah saya persiapkan, tinggal eksekusi. Tiba-tiba
HP saya berbunyi. Ternyata dari Budi, teman kampus saya. “An, kamu di rumah nggak?”,
kata smsnya. “Iya, ada apa?”, jawabku. “Kamu bisa ke rumahnya Maretha sekarang
nggak?”, balasnya. “Ada apa?”, sahutku. “Pokoknya
ke sini dulu aja?”, pintanya dengan agak ngotot. Aku pun sebenarnya heran ada
apa tiba-tiba sms gitu. Padahal mau belajar juga. Ah masa bodoh, ke sana dulu
aja. Ada apaan sih? Rumahnya juga dekat, paling sebentar.
Setibanya di sana, saya disambut
oleh tiga orang, yaitu Budi, Ali, dan tentunya Maretha sebagai tuan rumah. Ternyata
di sana memang terjadi permasalahan. Ali dan Budi tidak bisa pulang karena
motornya Ali nggak bisa nyala. Saya lupa apa penyebabnya. Yang jelas motif Budi
mengundang saya sudah terkuak, yaitu mau pinjam kunci. Untungnya kunci-kunci
tersebut ada dalam bagasi motor saya meskipun Budi nggak bilang.
Kemudian kami pun mengerumuni motor
Ali. Budi dan Ali mengotak-atik motor, saya memegangi lampu emergency, dan
Maretha jadi pemandu sorak memberi dukungan. Setelah cukup waktu, akhirnya
motor Ali dapat disiasati dan berhasil nyala. Kami kembali ke dalam rumah
Maretha untuk cuci tangan dan ngobrol-ngobrol sebentar. Biasa membahas sedikit
masalah ujian sebelum akhirnya saya, Ali, dan Budi memutuskan untuk beranjak
pulang.
Sampai rumah saya kaget, ternyata
sudah jam 12 malam. Penyakit saya kambuh lagi, biasa penyakit malas belajar. Akhirnya
saya keluar sebentar beli wedang jahe, biar badan hangat, mata kembali terang,
dan semangat belajar. Setelah menghabiskan segelas wedang jahe saya berniat
untuk rileks sebentar. Namun yang terjadi di luar dugaan, saya tertidur sampai
pagi.
Akhirnya setelah Subuh baru saya
belajar. Dimulai dari baca catatan dan salah satu bacaan wajib. Sekitar jam 9
saya sudahi aktivitas belajar saya. Masih ada satu bacaan wajib dan makalah
presentasi teman-teman yang belum saya baca. Namun saya memutuskan untuk segera
berkemas. Jika ada waktu, nanti dibaca di kampus saja.
Selesai berkemas pada jam setengah
sepuluh, saya bergegas secepat mungkin ke kampus. Alokasi waktu perjalanan 20
menit untuk tiba di sana. Jadwal ujiannya sendiri jam sepuluh. Ya apes-apesnya
sampai sana tepat waktulah. Maklum, jam segitu lagi macet-macetnya.
Benar seperti yang saya perkirakan.
Kemacetan panjang terjadi di Kalibanteng. Sejak jam setengah sembilan sampai
Maghrib Kalibanteng selalu macet. Jalanan dipenuhi oleh truk-truk besar. Seperti
pengendara motor pada umumnya, saya pun mencari celah diantara truk-truk
tersebut untuk merangsek ke depan. Saya ingin segera belok ke jalan tikus di
belakang agen bus Coyo agar terbebas dari kemacetan. Saya terus berusaha
menyelinap diantara mobil, bus, dan truk hingga sampai di depan sela-sela
antara truk kontainer dengan truk Pertamina. Agak ragu saya untuk menyelinap,
karena jaraknya sempit. Pas banget untuk motor. Tapi karena sudah diburu waktu,
akhirnya saya menyelinap diantaranya dan berhenti di samping kepala truk. Saya tidak
bisa merangsek lebih depan lagi karena sudah tidak ada celah lagi di depan.
Ketika kendaraan di depan saya mulai
maju, saya pun segera berusaha memacu motor saya. Tapi saya merasakan kok ada
yang aneh. Kaki kiri saya kok sulit diangkat. Saya pun kemudian menengok ke
samping, melihat apa yang terjadi dengan kaki saya. Serta merta saya terbelalak
dan teriak Waaaaaaaaaa...... Ternyata kaki saya tepat berada di bawah ban truk
dan tertindih olehnya. Meskipun saya sudah berteriak sedemikian kencang dan histeris
tidak ada tindakan yang dilakukan oleh sopir truk tersebut. Akhirnya saya buka
helm saya dan menoleh ke belakang sembari tetap teriak. Bapak-bapak pengendara
motor di belakang saya yang mengetahui kondisi saya langsung menggedor-gedor
pintu truk. Barulah setelah itu truk itu mundur dan kaki saya dapat terangkat. Ada
sekitar 2-3 menit kaki saya tertindih truk. Lucunya, saya baru merasa sakit
setelah melihat kaki saya tertindih truk.
Setelah kaki saya terbebas dari
jepitan ban truk, hal pertama yang saya lakukan adalah memeriksa kaki. Saya
pegang dan saya raba seluruh telapak kaki kiri saya. Alhamdulillah kaki saya
masih utuh meskipun harus merasakan nyeri yang teramat sangat. Di situ saya
benar-benar bersyukur bahwa kaki saya masih utuh.
Klakson kendaraan-kendaraan yang
berbunyi berulang-ulang ketika saya berhenti memeriksa kaki saya sangatlah
mengganggu, meskipun sebenarnya kendaraan saya sudah saya tepikan ke kanan
jalan (sisi yang lebih dekat). Entah apa yang dibilang orang-orang pada waktu
itu. Setelah memastikan kaki utuh, pikiran saya kembali ke ujian. Tidak ada
waktu untuk menanggapi omongan orang, termasuk untuk marah-marah atau memaki
sopir. Ini saya lakukan karena saya memiliki pengalaman pahit dalam mengurus
ujian susulan, di mana sangat ribet dan harus disertai surat rawat inap. Memang
sih sempat terlintas untuk langsung memeriksakan diri ke rumah sakit biar tahu
kondisi kaki saya, tapi saya urungkan. Saya lebih mementingkan ikut ujian dulu.
Nanti sehabis ujian saja baru periksa.
Di perjalanan, saya mengendarai
motor dengan satu tangan. Maklum, tangan kiri saya sesekali memegangi kaki saya. Sementara pikiran saya juga tidak fokus ke
jalan. Masih terbayang kejadian beberapa menit sebelumnya yang membuat pikiran
saya menjadi kacau. Saya membayangkan andai saja kaki saya tidak bisa diangkat
dan tubuh saya tertarik ke arah truk, entah apa yang terjadi pada diri saya.
Saya benar-benar merasakan batas antara hidup dan mati saat itu begitu tipis.
Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan saya tanpa kekurangan suatu apapun
sehingga saya pun masih memiliki kesempatan memperbaiki diri.
Entah
jam berapa tiba di kampus. Yang jelas, kelas untuk ujian dengan parkiran
terbilang jauh. Saya pun berusaha bergegas untuk segera sampai di kelas. Namun kondisi
kaki yang nyeri membuat jalan saya pincang dan tidak bisa cepat. Meski demikian,
saya tidak mau terlihat pincang. Saya tetap berusaha jalan tegap dan mengayuh
kaki dengan cepat meski tetap tidak bisa secepat biasanya.
Ketika masuk kelas, saya ditanya
oleh pengawas, “Kenapa baru datang?”. “Kecelakaan Pak”, jawab saya singkat. Saya
pun segera mengambil soal dan lembar jawab yang ada di meja pengawas dan
bergegas ke bangku saya. Di sini saya bersyukur lagi karena masih diperbolehkan
mengikuti ujian. Padahal dalam aturan, paling lambat hanya 20 menit. Sementara saya
merasa terlambat lebih dari setengah jam.
Ketika melihat soal, saya kaget. Semua
soal yang ditanyakan adalah materi-materi yang belum sempat saya pelajari. Tapi
masa bodoh. Tidak ada waktu untung bengong atau berpikir lama. Saya sudah
terlambat setengah jam. Sementara soalnya banyak. Terlalu banyak berpikir,
ujian saya tidak selesai nanti. Akhirnya saya langsung mengerjakan soal-soal
tersebut. Apa yang ada di pikiran saya langsung saya tulis. Entah itu benar,
salah, atau benar-benar ngawur. Yang penting semua soal harus dikerjakan dan
penuh. Akhirnya semua soal dapat diselesaikan tepat waktu.
Selesai ujian, seperti biasa saya
bersama serombongan teman-teman saya pergi ke kantin untuk mengisi perut. Saya pun
berusaha berjalan biasa meski harus menahan nyeri yang tidak terkira. Sesampainya di kantin, kami pun langsung
memesan makanan. Sambil menunggu pesanan, kami saling becanda. Saya pun ikut
menanggapi meski kurang antusias. Bagaimana mau antusias dengan kondisi seperti
ini?!
Saya saat itu memang
menjadi lebih pendiam. Saya simpan energi saya untuk menahan rasa nyeri yang
melanda. Daripada saya harus terus meringis dan merintih kesakitan, lebih baik
diam kan?! Gelagat yang tidak biasa ini tercium oleh Guruh. Dia pun bertanya, “An
kenapa megangin kaki mulu?”. Saya pun hanya menjawabnya singkat, “Habis
terinjak truk”. Dia seolah tak percaya dan menanyaiku lebih detail dan saya pun
hanya menjawab seadanya. Meskipun di situ ramai, namun hanya sedikit yang
menanggapi perbincangan kami karena sebagian sudah sibuk dengan makanannya atau
perbincangan lainnya.

Seusai makan, seperti biasa kami
pergi ke mushola. Habis sholat Dzuhur kami nongkrong di mushola. Hal seperti
itu sudah biasa kami lakukan sejak awal kuliah. Maklum, cuaca siang hari di
Semarang sangat panas sehingga kami malas untuk beranjak dari tempat kami. Kami
pun kemudian ngobrol-ngobrol santai. Entah bagaimana mulanya, kisah mengenai
kaki saya langsung mengemuka. Dari situ kemudian muncul beragam pertanyaan,
komentar, dan tanggapan. Tapi ada satu komentar yang akan saya ingat seumur
hidup, yaitu komentarnya Wiwid. “Lhah, truk kok dijegal?”, begitu komentarnya
dengan santai dan tanpa dosa. Serta merta kami yang ada di situ tertawa terpingkal-pingkal,
termasuk saya pun ikut tertawa.
Sejak
saat itu saya mendapatkan trade mark “Jegal Truk”. Bahkan waktu kami KKL, Wiwid
setiap melihat truk selalu mengulang-ulang komentarnya. Saya pun tersenyum
geli, tapi juga senang. Bahkan saat teman saya Yuda yang berbadan besar
kecelakaan dengan mobil hingga tangannya patah, Wiwid kembali mengeluarkan
komentar yang menggelitik. “Aan aja yang badannya kecil terlindas truk nggak
papa, kamu yang badannya besar tabrakan sama mobil tangannya patah.”, begitu
komentarnya dengan santai. Saya yang geli mendengarnya pengen ketawa tapi nggak
jadi untuk menghormati Yuda.
Kembali
pada kisah di mushola. Setelah lelah tertawa dan becanda, akhirnya saya
berpamitan dengan teman-teman saya untuk pulang memeriksakan kaki. Kurang lebih
jam setengah tiga waktu itu. Sampai rumah saya masih bersikap biasa seperti
tidak terjadi apa-apa. Saya nggak ingin Ibu saya menjadi khawatir. Namun setelah
Ayah saya pulang kerja, saya baru cerita. Akhirnya saya di bawa pijat ke sangkal
putung di Boja. Bagaimana rasanya di pijat? Saya sudah meraung-raung seperti
harimau. Tukang pijatnya bilang ini nggak papa. Saya cuma disuruh ngasih parem.
Rasa
sakit ini baru benar-benar hilang setelah enam bulan. Sebelumnya memang untuk
menapak bisa, tapi jika kaki dimiringkan akan terasa sakit. Begitu pula saat
saya main basket dan terinjak seorang teman, rasa sakitnya kembali kambuh. Termasuk
ketika saya naik gokard dan nyungsep di mana kaki kiri saya terjepit remnya,
kembali saya harus merasakan sakit. Saya pijat ke sangkal putung dua kali. Pertama
setelah kecelakaan, yang kedua beberapa minggu sesudahnya. Hingga saat ini saya
belum pernah memeriksakan kai saya ke dokter. Suatu saat saya ingin periksa dan
melihat hasil rontgennya. Secara kasat mata memang bentuk kaki kiri saya sudah
beda, menjadi lebih landai. Ini saya bandingkan dengan kaki kanan saya.
Lalu
bagaimana dengan ujiannya? Ternyata ketika pembagian KHS (Kartu Hasil Studi),
mata kuliah Politik Global yang saya kerjakan pasca kecelakaan mendapatkan
nilai A. Hebatnya lagi, itu nilai A satu-satunya dari mata kuliah yang
diujikan. Mata kuliah lainnya, saya mendapatkan nilai B semua. Memang ada satu
mata kuliah lagi yang mendapatkan nilai A, yaitu Metode Penelitian Kualitatif. Namun
mata kuliah ini hanya mengumpulkan tugas tiap minggu. Ujiannya pun cuma mengumpulkan
tugas. Saya bersyukur waktu itu. Yang penting tidak ada nilai C. Tapi untuk
mata kuliah Politik Global, saya benar-benar surprise. Tidak belajar, datang
terlambat, tidak bisa mengerjakan, serta harus menahan rasa sakit tapi
mendapatkan nilai A.
Melihat
semua kenyataan ini, saya merasa ada kuasa Illahi yang ikut berperan. Pertama,
saya merasa telah diselamatkan dari kecelakaan yang lebih parah. Andai saja
truk itu terus berjalan maju pasti akan melindas kaki saya dan pasti kaki saya
akan hancur atau bisa saja badan saya ikut terpental ke arah truk. Padahal truk
itu punya kesempatan untuk maju karena kendaraan di depannya sudah maju. Jika itu
terjadi, hancur sudah masa depan saya. Tapi yang terjadi truk itu tidak memaksa
maju dan akhirnya mau mundur agar kaki saya bisa lepas dari tindihan ban truk.
Kedua, hasil ujian saya yang mendapatkan nilai A. Dengan kondisi yang telah
saya ceritakan di atas, di tambah dengan kenyataan bahwa mata kuliah ini sulit
mendapatkan nilai bagus dan kebanyakan hanya mendapat nilai C, apa yang saya
dapatkan sangatlah spesial.
Jelas
pada peristiwa ini Allah telah menyelamatkan saya dari bencana yang lebih
besar. Pasti itu. Namun apakah ini cuma-cuma karena takdir? Saya tidak bisa dan
tidak berani menjawabnya. Yang jelas beberapa saat setelah itu, saya teringat
dakwah dari Ustad Yusuf Mansyur mengenai keajaiban sedekah. Salah satunya dapat
terhindar dari bencana yang lebih besar. Bukan bermaksud pamer atau bagaimana. Namun
saya sempat berpikir, apa bantuan sederhana yang tak berarti dari saya kepada
Ali dan Budi yang telah menyelamatkan saya dari kecelakaan yang lebih besar?
Wallahu Alam.
Berikut
beberapa dalil yang menyebutkan faedah sedekah dalam menghindarkan bencana:
§ Rasulullah
saw bersabda, “Sedekah dapat mencegah 70 macam bencana, yang paling ringan
adalah penyakit kusta dan supak” (HR. Thabrani).
§ Rasulullah
saw bersabda, “Bersegeralah kalian untuk mengeluarkan sedekah, karena sungguh
bencana tak dapat melewati sedekah” (HR. Thabrani).
§ Rasulullah
saw bersabda, “Obatilah orang sakit diantara kalian dengan sedekah” (HR. Baihaqi).
§ Hadits
qudsi, Allah berfirman, “Wahai Anak Adam, kosongkan gudangmu untuk memenuhi apa
yang ada di sisi-Ku. Niscaya Engkau akan selamat dari kebakaran, kebanjiran,
pencurian, dan kejahatan” (HR. Thabrani)
§ Rasulullah
saw bersabda, “Sungguh sedekah dapat memadamkan panasnya kubur orang yang
bersedekah dan sungguh orang mukmin akan bernaung pada hari kiamat dengan
payungan sedekahnya” (HR. Thabrani)
Itulah
tadi salah satu pengalaman getir ketika kuliah. Yang otomatis membuat
perjalanan kuliah saya menjadi berwarna. Tidak selalu mulus tapi berhasil
mengakhiri masa-masa sulit dengan senyum manis. Makanya kalau ada pekerjaan
yang meminta menitipkan ijazah, saya berpikir seribu kali dulu. Bukan hanya
soal lamanya waktu kuliah dan biaya, namun karena untuk mendapatkannya pun saya
nyaris mengadu nyawa.
Mengenai
faedah sedekah dapat menghindarkan bencana, saya percaya. Entah apa yang
terjadi pada diri saya bisa menjadi buktinya atau tidak. Niat saya di sini
hanya berbagi pengalaman. Tidak ada niatan untuk pamer. Namun tidak ada
salahnya kita berpikir positif bahwa pertolongan kecil tadi yang memudahkan
pertolongan dari Allah. Ketika saya mengatakan seperti ini, tidak lain hanya
untuk memotivasi minimal diri saya sendiri, untuk ringan tangan membantu orang
dan tidak berat untuk mengeluarkan sedekah.
Yang
jelas Allah adalah Hakim yang paling adil. Dia pasti akan memberikan imbalan
yang setimpal atau bahkan lebih besar kepada hambanya yang berbuat kebaikan.
So, kalau ada kesempatan berbuat baik, maka lakukanlah dan tak perlu berpikir
yang macam-macam. Semoga ada yang bisa dipetik dari berbagi pengalaman ini.