Sore menjelang maghrib, Andi pulang
ke rumahnya dengan terisak dan meringis kesakitan. Lututnya terluka akibat
jatuh saat bermain bola. Ia dijegal oleh Tarjo, teman bermainnya saat sedang
menggiring bola ke arah gawang tim Tarjo. Sial bagi Andi, lututnya menjadi
pijakan saat terjatuh. Akibatnya, gesekan dengan lapangan plesteran tak terelakkan. Yaph,
mereka bermain bola di lapangan bulutangkis yang memang plesteran, bukan di lapangan rumput yang memang untuk sepakbola.
Maklum, mencari tanah lapang untuk bermain anak di perkotaan sudah semakin
sulit.
“Andi, kenapa kamu menangis?” tanya
Ibu Andi khawatir mendengar anaknya pulang dengan mendesis dan mengaduh.
“Jatuh Ma saat main bola”
jawab Andi lirih sambil menahan sakit yang masih saja berkutat di kakinya.
“Buruan diobati Ndi! Biar enggak
infeksi!” seru Ibu Andi dengan ekspresi sedikit ngeri dengan luka yang menimpa
anaknya.
“Ini revanol, betadine, dan kapas.
Kamu bersihin lukamu itu pakai revanol dulu baru kamu teteskan betadine.” lanjut Ibu Andi memberikan
tutorial pengobatan kepada buah hatinya.
Andi lalu membuka tutup revanol dan
menuangkannya pada selembar kapas. Dengan perlahan ia tempel-tempelkan pada luka di lututnya.
Sesekali ia usap dengan sangat hati-hati. Wajahnya meringis menahan perih meski
sebenarnya revanol cenderung dingin ketika mengenai luka.

“Andi, kenapa kamu bisa terluka seperti itu ndi?” tanya Betadine
penasaran.
“Biasa Din. Jatuh waktu main bola.” sahut Andi
sekenanya.
“Kamu
kan udah biasa main bola. Kok masih aja jatuh sampai terluka seperti itu?”
tanya Betadine yang heran sebab terlampau sering Andi terluka sehabis bermain
bola.
“Ah pertanyaanmu ngaco Din. Siapa juga sih yang ingin
terluka. Ini kan tidak sengaja.” jawab Andi kesal dengan nada yang meninggi.
“Hahaha... Maaf Ndi! Aku kan nggak pernah main bola.” balas Betadine
enteng.
“Makanya kalau tidak tahu, jangan gampang memvonis!” cerocos Andi dengan
sisa-sisa kekesalannya.
“Lebay
ah Ndi. Kayak sinetron aja.” sahut Betadine yang ganti kesal.
“Bodo!”
balas Andi singkat yang nampak enggan menanggapi komentar-komentar yang semakin
aneh dari Betadine.
***
Hari-hari Andi kini dilalui dengan
aktivitas yang sama setiap pagi dan sore harinya. Persis setelah mandi, ia
membasuh lukanya dengan revanol menggunakan kapas lalu meneteskan betadine di
atasnya. Tak lupa ia tiup-tiup lukanya setelah sesi pengobatan selesai.
“Din, makasih ya! Kamu udah
setia dan sabar mengobati aku. Sekarang lukaku udah mulai mengering. Kalau kamu tidak ada, mungkin lukaku masih
menganga.” curhat Andi setelah
diobati betadine untuk yang kesekian kalinya.
“Sama-sama Andi. Sebenarnya yodiumku
cuma memotivasi sel dan jaringanmu untuk membentuk yang baru buat menggantikan
yang terluka. Kuncinya ada di kesungguhan sel dan jaringanmu sendiri. Jika sel
dan jaringanmu enggan membentuk yang baru, kamu tetesin aku berliter-liter tetap tidak akan sembuh.” balas betadine
dengan merendah.
“Iya sih, Tapi tetap itu berkat kamu Din.” timpal Andi dengan ngotot.
“Ah kamu Ndi. Aku kan jadi malu.”
kata Betadine dengan senyum tersipu-sipu.
Andi
pun tertawa mendengarnya.
***
Seminggu berselang, lutut Andi yang terluka telah mengering. Bekas lukanya telah mengeras
berwarna kehitaman. Di sela-selanya telah mengintip kulit baru yang berwarna
merah muda. Meski begitu, ia belum
sembuh benar. Kakinya belum bisa buat diajak berjalan cepat maupun berlari.
Namun demikian, ia telah merapikan revanol, kapas, dan betadine kembali ke
kotak P3K. Menemani perban kembali yang memang tidak dikeluarkan untuk
pengobatan Andi. Dengan begitu, pengobatan untuk luka Andi telah dicukupkan.
Seminggu kemudian, luka Andi
benar-benar telah sembuh. Ia mulai tampak riang dan beraktivitas seperti sedia
kala. Namun tak lagi ia melirik kotak P3K tempat sahabat-sahabatnya saat
terluka. Apalagi untuk menyapa mereka. Kotak P3K itu pun kini mulai berdebu.
“Din, si Andi keterlaluan ya. Masak
dia nggak pernah menengok kamu lagi,
mencari kamu, padahal kamu kan udah
berjasa banget buat dia, udah menyembuhkan lukanya.” komen perban menggunjingkan Andi.
“Ssst... kamu nggak boleh ngomong gitu
Per! Kalau dia nggak mencari aku, itu
baik. Artinya nggak ada luka yang
kambuh atau luka baru lagi.” tegas Betadine pada perban untuk menepis
komentarnya tentang Andi.
“Tapi jujur Per, aku juga kangen saat Andi mengaduh dan merintih
ketika aku obati. Saat dia bercerita tentang lukanya dan pesimis akan kesembuhannya.
Tingkahnya yang terus meniup lukanya meski aku bilang tidak akan berpengaruh,
tapi tetap saja dilakukan. Saat dia memegang lukanya yang mulai mengering dan
bersemangat menceritakan apa hal yang akan dilakukan ketika sudah sembuh.” curhat betadine mengenang saat-saat bisa
begitu dekat dengan Andi.
“Eh, aku kok jadi jahat gini.” ralatnya sedetik kemudian.
“Tapi tetap harusnya Andi mencari
kamu Din. Paling tidak, sekedar menyapa. Tidak terus meninggalkan begitu saja
setelah sembuh. Nanti gilliran terluka, baru nyariin kamu lagi.” timpal Perban yang masih menyesalkan sikap Andi
kepada Betadine.
“Per, kalau dia cari aku buat apa?
Aku mau dijadikan pengganti kecap buat teman dia makan karena warnaku mirip
kecap? Nggak kan?! Ada-ada aja kamu Per.” balas Betadine dengan
bijak.
“Per, kalau masalah menyembuhkan
lukanya memang sudah jadi tugasku. Yang salah itu, kalau dia terluka, aku tidak
berusaha menyembuhkannya.” tambah Betadine lagi memperkuat penjelasannya
sebelumnya.
“Tapi tahu nggak kamu Din, Andi bermain sama bola lagi. Tiap hari dia dibawa
mulu. Padahal, gara-gara dia Andi terluka. Kamu yang justru mengobati, malah dicuekin.” papar Perban dengan
agak sewot.
“Ya wajarah Per, anak seusia dia
main bola. Nanti kalau dia sudah agak besar, mainannya beralih ke laptop kayak
kakaknya. Tidak ada yang salah Per. Tidak ada juga yang perlu dipermasalahkan.”
terang Betadine lebih rinci kepada
Perban dengan diawali menghela nafas terlebih dulu.
“Ah kamu Din! Diperlakukan seperti
itu masih saja bersikap baik.” seloroh Perban yang keheranan dengan sikap yang
ditunjukkan Betadine.
Padahal
dia yang cuma melihat tingkahnya Andi saja sudah merasa kesal.
“Ah, berisik kamu Per! Ganggu aja obat mau istirahat.” ganti Betadine
kini yang berseru kesal kepada Perban.
“Yee... dibilangin malah kayak gitu! Awas yaa!” sahutnya kesal karena dibilang berisik oleh Betadine.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar