Seringkali kita terjebak pada rasa
takut ataupun khawatir akan sesuatu yang belum terjadi. Perasaan yang membuat
kita menjadi ragu untuk bertindak ataupun melangkah. Misalnya kita takut
bepergian manakala langit tampak mendung. Kita takut kehujanan apabila kita
bepergian di saat itu juga. Namun apa yang kita rasakan saat hujan ternyata
tidak kunjung datang? Sementara waktu kita telah terbuang hanya untuk terdiam
menunggu hujan bahkan janji pun sudah telanjur dibatalkan. Dalam hidup selalu
ada dua kemungkinan: baik – buruk, positif – negatif, berhasil – gagal,
diterima – ditolak, terjadi – tidak terjadi, dan sebagainya. Banyak dari
kemungkinan itu yang memerlukan usaha dari kita untuk membuat sesuatu yang
sebelumnya kurang mungkin menjadi mungkin. Selain tentu ada kuasa Allah yang
bermain dan menentukan segalanya.
Contoh
lain adalah saat kita menerima panggilan kerja di luar kota dengan jarak yang
jauh serta tidak ada sanak saudara di sana. Apalagi jika itu baru tes awal.
Pasti terlintas di benak kita hitung-hitungan ekonomisnya berbanding peluang
diterima atau tidak. Sangat mungkin kita berpikir untuk melepas peluang
pekerjaan tersebut manakala dirasa biaya yang harus dikeluarkan terlampau
besar. Ada semacam ketakutan bahwa nominal besar yang kita keluarkan akan
menjadi sia-sia apabila dalam tes nanti gagal. Namun ada juga yang tetap berani
mencoba meskipun dia harus bertaruh sangat besar. Ini merupakan pilihan
masing-masing.
Saya
menulis ini bukan untuk mengajarkan ataupun menasehati apalagi menyombongkan
diri. Saya yakin teman-teman sudah mengerti bahkan mungkin lebih berpengalaman
dalam hal mengelola sebuah peluang. Di sini saya hanya ingin berbagi sedikit
cerita mengenai pengalaman saya. Harapannya bisa lebih memotivasi teman-teman.
Meski cerita motivasi telah banyak beredar di pasaran, tapi saya jamin cerita
saya akan terasa exclusive. Hwakaka... udah kayak promosi produk atau acara tv
aja...
*****
Pertengahan
Januari lalu saya resign dari
pekerjaan saya. Pasca resign, yang
ada di pikiran saya adalah bagaimana secara cepat mendapatkan pekerjaan
pengganti yang lebih baik. Ada lowongan di koran dan internet yang sekiranya
kualifikasi saya memenuhi langsung saya apply.
Ajakan untuk ikut Job Fair dari
teman-teman juga saya iyakan meski dalam hati saya sudah malas mengikuti acara
seperti ini. Entah sudah berapa kali Job
Fair saya ikuti namun tak pernah membuahkan hasil. Justru 3 kali saya
mendapatkan pekerjaan bukan melalui Job
Fair. Setelah dua kali Job Fair
di Semarang belum memecahkan kutukan, saya pun berikrar layaknya Mahapatih
Gadjah Mada. “Job Fair UGM adalah Job Fair terakhir yang saya ikuti.
Apabila tidak membuahkan hasil juga, saya tidak akan mengikuti Job Fair lagi dan memilih mencari kerja
dengan cara lain atau berwirausaha”, begitu ikrar saya kepada beberapa teman
saya yang hanya mendapatkan tanggapan es batu alias dingin-dingin ajah.
Hingga
hari yang ditentukan tiba. Kami berangkat mengikuti Job Fair UGM. Namun karena saya tidak mendapat panggilan untuk hari
pertama pasca Job Fair, saya pun
pulang Semarang. Kebetulan di Semarang juga ada tes dari sebuah bank berlabel
BUMN meski secara hati saya kurang tertarik apalagi posisinya juga tidak saya
minati. Namun teror umur dan teror situasi membuat saya tetap mengikuti tes
tersebut. Tak lama berselang ada panggilan tes di Jogja dari sebuah perusahan rokok
yang sudah ternama. Harapan sempat melambung tinggi manakala penempatan di
Semarang dan hanya menyisakan tes kesehatan yang belum dijalani. Seminggu terlewati
tidak ada kabar. Saya pun harus ikhlas untuk tidak memikirkannya lagi. Harapan
yang tersisa tinggal dari bank BUMN di mana saya sudah lolos dari tahap awal.
Saat
di rasa Job Fair Jogja sudah tidak menyisakan harapan buat saya. Tiba-tiba pada
hari Jum’at pukul setengah sembilan malam HP saya berdering dan menampakkan
nomor Jakarta. Nomor siapakah gerangan? Mungkinkah panggilan tes? Harap-harap
cemas saya terjawab saat saya angkat.
Dinar:
“Selamat malam. Dengan mas Huda Rahadian?
Saya:
“Iya benar.”
Dinar: “Saya Dinar dari TV (menyebut
salah satu tv nasional). Kami mengundang Anda untuk interview dan psikotest pada besok senin di kantor kami di jalan
xxx Jakarta. Bisa?
Saya: “Bisa”, jawab saya tanpa pikir
panjang.
Dinar: “Bawa pensil HB yaa...”
Saya: “Iyaa Bu...”
Segera hal ini saya sampaikan kepada
orang tua saya. Mereka senang tapi mereka juga menanyakan bagaimana seandainya
saya dipanggil dari perusahaan rokok? Saya katakan bahwa kemungkinan itu kecil.
Lalu bagaimana dengan bank X yang sudah ketahuan jadwal tes lanjutannya di mana
hanya berselang dua hari usai dari tes di tv? Saya katakan bahwa saya memang
ingin kerja di media. Apalagi ini skalanya nasional. Sementara jika kerja di
bank hati saya pasti sulit untuk merasa nyaman karena memang saya agak anti
dengan bank.
Jujur yang semakin menambah kuat keinginan
saya kerja di media adalah dari teman-teman dekat saya. Rudy dan Yuda beberapa
hari sebelum Job Fair datang ke rumah
saya dan mendorong serta menyarankan agar sebaiknya saya kerja di media.
Menurut mereka saya cocok bekerja di situ. Jauh sebelumnya Guruh dan Yuda turut
menginformasikan bahwa ada lowongan menulis di majalah gadget dan meminta saya mencobanya karena mereka beranggapan itu
tepat untuk saya. Lebih jauh ke belakang Dwi saat berada di Gunung Lawu meminta
untuk saya mencoba melamar di media karena dari pandangannya pekerjaan itu
sesuai dengan diri saya. Alasan kuat yang mulanya memercikkan keinginan saya
kerja di media adalah ketika dua kali tulisan saya dapat masuk ke media cetak
skala provinsi.
Kembali
ke pasca telepon. Setelah memikirkan masak-masak untung ruginya, termasuk soal
biaya dengan orang tua, akhirnya diputuskan untuk memenuhi panggilan tv tadi.
Memang saya perlu konsultasi dengan orang tua karena sudah tidak ada biaya.
Gaji terakhir saya sudah habis untuk biaya tes di Jakarta dan Bogor seminggu
pasca resign. Memang sempat muncul kekhawatiran bahwa kegagalan di Bogor akan
terulang dan uang akan melayang begitu saja. Namun tekad yang kuat bisa menepis
ketakutan itu. Justru karena mengeluarkan biaya besar, saya harus berupaya
bahwa pekerjaan ini harus saya dapatkan. Kasihan biaya yang dikeluarkan orang
tua. Malu juga rasanya pulang ke rumah membawa berita kegagalan. Karena pasti
bukan itu yang diharapkan orang tua.
Esoknya
saya mencari tiket kereta. Niat mencari ekonomi namun ternyata telah habis.
Terpaksa membeli ekonomi AC yang harganya berlipat-lipat. Berangkat dari
Semarang Sabtu malam tiba di Jakarta Minggu pagi. Segera saya mencari alamat
kantornya. Setelah dapat, kemudian saya mencari kos di sekitarnya. Terkejut
juga dengan harga kos di Jakarta. Setelah lobi, akhirnya bisa kos untuk
seminggu namun dengan harga yang hampir sama dengan harga kos sebulan jika di
Semarang. Shock Terapy pertama di
ibukota.
Senin
saya mengikuti interview dan psikotes.
Bubaran psikotest, tiga orang disuruh tinggal dan tiga orang lagi dipulangkan.
Saya termasuk ke dalam yang dipulangkan. Semenit kemudian diralat. Saya diminta
menunggu dulu di lobby. Selang 10 – 15 menit kemudian, Sabrina staf HCD
memberitahu saya bahwa tes lanjutannya tidak dilakukan hari ini dan saya
diperbolehkan untuk pulang. Pikiran jelek pun langsung terbit dalam benak saya.
Terpaksa esoknya saya pulang dengan lemas dan membawa sekantong rasa malu atas
kegagalan. Peluang terakhir saya kini tinggal di bank BUMN.
Kamis
saya mengikuti psikotest di Bank BUMN. Setelah itu praktis saya hanya
menganggur tidak jelas di rumah. Cemas mulai jadi selimut diri. Bosan tiba-tiba
menjadi teman terdekat. Hingga pada hari Senin nomor telepon Jakarta kembali
membunyikan HP saya. Tanpa babibu langsung saya angkat. Ternyata dari Dinar
lagi, orang yang sudah tega mewawancarai saya. lhoh?! Dia memberitahu saya
bahwa jadwal wawancara saya dengan user
esok paginya. Serta merta saya tolak dengan alasan sudah di Semarang. Meski
sebenarnya ada dua alasan besar. Pertama, capek saya belum hilang. Kedua, saya
merasa tidak percaya diri dengan jerawat saya yang lagi panen. Saya berpendapat
bahwa saya tidak mungkin menampilkan yang terbaik saat wawancara dengan membawa
sekeranjang jerawat. Lantas saya minta dijadwalkan ulang. Dengan harapan capek
saya sudah hilang dan jerawat telah berguguran. Dari seberang telepon pun
menjawab, “Baik nanti saya jadwalkan ulang dengan user. Nanti akan dihubungi
lagi”.
Beberapa
menit kemudian saya menyesali keputusan saya menolak wawancara user. Masalah
waktu tes yang mepet sebetulnya bukan kendala besar karena tiket kereta bisnis
pasti selalu tersedia di hari kerja. Masalah capek sebetulnya juga tidak
capek-capek amat. Masalah jerawat, persetan deh dengan jerawat. Toh dulu saya
pernah diterima kerja dengan wajah yang berjerawat ketika wawancara HRD dan
user meski intensitas jerawatnya lebih sedikit.
Posisi
saya di sini mengingatkan saya ketika saya berhenti di tengah-tengah saat
mendaki gunung. Tidak ada keindahan yang dapat saya lihat. Tidak ada kepuasan
yang saya dapatkan. Hanya rasa letih yang saya dapatkan, disertai kaki lecet,
serta biaya yang terbuang sia-sia. Akan sangat berbeda jika saya bisa menyampai
puncak seperti teman-teman saya yang lain. Bisa berfoto di atas awan saat sunrise. Upah yang pas untuk membayar
semua letih. Pelajaran yang sangat berharga dari gunung untuk ditarik ke
kehidupan nyata. Jika saya tidak mengikuti tes user maka semua uang, waktu, dan
tenaga saya akan terbuang percuma. Sementara jika saya mengikuti tes user meski
harus ada biaya dan tenaga tambahan namun memiliki peluang untuk membawa hasil.
Menyadari
telah membuat kesalahan, saya segera menelepon balik Dinar. Namun tidak
diangkat. Begitu juga saat saya telepon dengan nomor rumah. Akhirnya saya pun
pasrah. Mungkin ini konsekuensi dari menolak sebuah peluang. Benar kata banyak
orang bahwa peluang hanya datang sekali, maka mesti dimanfaatkan dengan baik. Kini
saya tinggal menggantungkan harapan dari Bank BUMN dan harus bersiap mengubur
impian kerja di media.
Namun
suatu sore mengubah segalanya. Sekitar pukul setengah empat, Dinar kembali
menelepon saya dan menginformasikan bahwa jadwal interview saya dengan user pada hari jumat jam tiga sore dengan Pak
Renaldi. Kali ini saya tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Saat ditanya,
“Bisa datang?” Tak sampai mata mengedip saya langsung menjawab, “Bisa Bu!”
Jeda
waktu sehari cukup untuk mempersiapkan yang dibutuhkan. Tidak terlalu ribet,
hanya pakaian pribadi, peralatan mandi, dan berkas sederhana. Tak lupa saya
menghubungi Rudy dan Runa yang saat itu menggantikan kos saya. Mereka sedang
mengikuti Job Fair UI. Saya salut dengan perjuangan mereka yang begitu gigih
mengejar peluang. Setelah mereka ACC saya numpang di kos mereka sehari, saya
lantas berburu tiket kereta. Kamis malam saya berangkat ke Jakarta. Di saat
bersamaan justru Runa balik ke Semarang. Di dalam kereta saya bertemu dengan
seorang yang bekerja di Trans TV. Saya berharap ini pertanda baik. Dia sendiri
habis ada acara di Semarang. Akhirnya kami mengobrol banyak mengenai dunia pertelevisian.
Mengaduk-aduk dapur televisi. Setelah
Subuh saya langsung meluncur ke kos dan mendapati Rudy seorang diri di pojok
kamar.
Tak
lama berselang, Rudy pun pergi karena ada acara. Saya pun memilih keluar
berjalan-jalan di sekitar kos. Setelah sholat Jum’at, baru saya ke lokasi tes. Wawancara
sendiri mulai jam tiga lewat. Cukup lama proses wawancara berlangsung yang
kadang harus terhenti karena user ada tamu. Inti dari wawancara sebenarnya
hanya pada pertanyaan, “Antara kejujuran dan kepintaran, kamu pilih yang mana?”
Saya jawab, “Kejujuran”. Lalu ada seorang bapak yang datang dan hendak
menyerahkan sesuatu ke Pak Renaldi. Saat itu kemudian Pak Renaldi berucap, “Ini
nanti atasan kamu!” Kemudian saya mengobrol dengan Pak Uli, orang yang dimaksud
oleh Pak Renaldi. Saat itu saya tidak mau berpikir macam-macam. Pokoknya
sebelum tanda tangan kontrak saya tidak akan berpikir sudah diterima.
Perbincangn
selanjutnya adalah antara saya dengan Ibu Neysa yang merupakan Asisten Manager.
Setelah dirasa cukup, Bu Neysa mempersilahkan saya pulang. Sebelum pulang saya
sempatkan dulu sholat Ashar di masjid kantor. Ternyata selama saya sholat ada
banyak telepon dan semuanya nomor Jakarta. Serta merta saya kembali ke lobby
dan memang diberitahu untuk menunggu dulu.
Entah
pukul setengah enam atau sudah pukul enam, yang jelas langit sudah mulai gelap.
Saya diminta masuk ke ruangan HCD menemui Ibu Lia yang merupakan Manager HCD.
Di sana disampaikan semua hak-hak yang akan saya peroleh. Kemudian dijadwalkan
tanda tangan kontrak pada hari senin dan aktif bekerja pada hari selasa.
Alhamdulillah, saya sujud syukur. Nyaris saja saya menyia-nyiakan peluang
bekerja di sini. Nyaris saya mengubur impian kerja di media. Nyaris saya
terjebak dan terbelenggu pikiran-pikiran negatif saya. Akhirnya semua letih
terbayarkan dan tidak kembali ke rumah dengan membawa berita kegagalan.
Sampai
tulisan ini saya tulis, sebenarnya saya masih terus belajar dan berjuang. Bagaimana
dapat bekerja dengan baik dan membuat pekerjaan itu menyenangkan. Saya sendiri
tidak tahu sampai kapan saya ada di sini, maklum kontrak. Tapi yang pasti, saya
bersyukur bisa ada di sini dan ingin menimba ilmu yang banyak selagi di sini
dengan tidak melupakan asa untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Penting bagi
kita untuk memelihara harapan. Karena dari situlah kita menemukan energi untuk
melangkah ke depan.
Secara
keseluruhan, inti dari cerita ini kembali pada filosofi mendaki gunung.
Teruslah berusaha sampai ke puncak meskipun sulit. Jika berhenti di
tengah-tengah hanya akan mendapatkan letih dan tidak akan pernah mendapatkan
kepuasan seperti berada di puncak gunung, berada di atas awan. Jalan untuk
mendaki tidak mudah tapi bukan berarti tidak bisa dilewati karena banyak orang
yang telah berhasil. Hanya tinggal diri kita mau mencoba atau tidak? Mau
berusaha jalan atau tidak? Semua kesulitan akan mendapatkan jawabannya saat
kita telah berjalan. Bukan pada saat kita belum jalan. Kita bisa memilih jalan
yang lebih enak, menghindari semak belukar, menghindari tanah pinggiran tebing yang
labil, berpegang pada dahan pohon. Semua itu jawaban atas pertanyaan di benak
kita mengenai sulitnya mendaki kuning. Jangan takut mencoba dan berusaha!
Inilah hidup!
Special
thanks to My Best Friends: Rudy, Runa, Ian, Guruh, Yuda, Dwi, Wahyu, Ryan
saya sudah interview user lalu diminta menunggu paling lama 2 minggu,, apakah artinya lolos atau tidak ya mas?
BalasHapusMaaf baru buka blog lagi. Mungkin saat ini sudah ada hasilnya. Dalam wawancara, kalimat di atas sudah umum jadi penutup. Biasanya apabila ada tindak lanjut untuk proses selanjutnya, tidak sampai dua minggu. Hanya dalam hitungan hari akan dihubungi. Namun jika sudah lewat dua minggu belum dihubungi, maka lebih baik tidak usah mengharapkannya lagi. Fokus cari lowongan lainnya.
HapusMakasih mas motivasinya. Saya baru saja resign dari tempat lama saya dan sempet down karena blm dapet penggantinya sampr sekarang meski udah coba berulang2 kali. Mungkin usaha saya kurang keras dan doanya kurang mantap. Awalnya saya selalu berpikir positif pasti akan ada penggantinya, tp ditengah2 mulai down lagi. Setelah baca tulisan mas alhamdulillah termotivasi
BalasHapus