Selasa, 16 April 2013

Ke Mana Ilmu Kita?



          Orang yang sedang belajar sering diibaratkan dengan menimba ilmu. Kita susah payah sekolah, kuliah, mengikuti majelis taklim / pengajian, maupun mengikuti seminar / kursus. Banyak waktu, tenaga, pikiran, serta biaya yang kita keluarkan untuk mendapatkan ilmu atau memperdalam ilmu. 

Ibarat orang menimba air, kita telah berjalan jauh membawa ember kosong kemudian kita turunkan timba dan menariknya pelan-pelan disertai dengan cucuran keringat karena dalam dan berat. Kita lakukan itu berulang-ulang hingga semua ember yang kita bawa terisi penuh. Apabila bak ataupun gentong di rumah kita masih belum penuh, kita pun menimba lagi.

 Dalam belajar menuntut ilmu tidaklah mudah. Ingat berapa kali ada hambatan maupun kesulitan yang kita hadapi sehingga membuat kita marah, kesal, resah, maupun khawatir. Hujan dan sakit sering menjadi bumbu cerita. Hingga akhirnya kita bisa menggenapkan ilmu kita dan lulus. Semua jerih payah kita juga tidak akan menjadi sia-sia karena Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu seperti dalam firman-Nya:

“Allah akan meninggikan (mengangkat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” (QS 58 : 11)

            Dunia kerja berbeda dengan dunia kuliah ataupun sekolah. Semua orang setuju akan ini. Dalam bekerja sering tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang kita pelajari. Banyak orang yang tidak mempermasalahkannya. Tapi sering kita lupa nilai-nilai dasar ketika bekerja. Nilai-nilai yang mungkin ditanamkan manakala kita masih SD. Hal yang sangat sederhana yang sulit dilakukan oleh orang dewasa. Misalnya kejujuran, disiplin, ketaatan, kerajinan, tenggang rasa, saling menghormati, dan sebagainya. 

            Di tingkat sekolah yang lebih tinggi, apalagi jika kita memperdalam ilmu agama. Mempelajari banyak hal-hal yang nampak sederhana namun sebenarnya tidak sederhana karena membawa konsekuensi besar. Misalnya mengambil atau memakan yang bukan hak kita, konsekuensinya doa dan amalan kita lainnya akan kita tergadai alias sulit dikabulkan sebagaimana disampaikan hadits berikut:

”Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan,’Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?” ( HR. Muslim)

”Ketahuilah, bahwa suapan haram jika masuk dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama 40 hari.” (HR. At Thabrani).


Sudah sangat jelas besarnya resiko yang akan kita tanggung manakala kita makan dengan makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal. Bayangkan doa dan amalan kita lainnya tidak diterima, bagaimana mungkin kita bisa melanjutkan hidup saat doa kita sudah tidak dikabulkan?

Namun oleh sebagian kalangan, mengambil sedikit yang bukan haknya acap kali dinilai wajar. Entah itu dinamakan uang bensin, uang capek, uang terima kasih atau apalah. Mungkin sudah banyak orang yang masa bodoh dengan peraturan maupun masalah agama. Yang dipikirkan bukan lagi masalah benar atau salah, boleh atau tidak boleh tapi bagaimana mendapatkan yang lebih dan lebih dari haknya meskipun haknya juga telah terpenuhi.

            Mereka yang bertindak demikian bukan berarti mereka tidak tahu atau tidak punya ilmu, namun entah ditaruh di mana ilmu mereka. Begitu pula dengan agama mereka, apakah tetap dipelihara dalam hati, pikiran, dan tindakan atau hanya tinggal tersurat di KTP saja. 

            Kita susah payah menimba ilmu, apakah akan kita biarkan ilmu kita tumpah berceceran di pinggir jalan? Ataukah kita tinggalkan begitu saja ember ilmu kita di sumur tempat kita menimba tanpa membawanya pulang? Atau justru terang-terangan kita buang ilmu kita karena kita merasa sudah kadaluwarsa? 

Yang sebenarnya harus dicermati apakah kita orang yang berilmu bertindak sama dengan orang yang tidak punya ilmu? Lalu apa bedanya kita dengan orang yang tidak punya ilmu? Apakah orang yang telah diberikan hidayah dan tahu agama bertindak sama dengan orang atheis yang tidak mengenal agama? Apakah seorang sarjana memiliki cara berpikir dan bertindak sama dengan lulusan SMP atau SMA?

Jika memang demikian, mengapa kita harus sekolah tinggi-tinggi, mendatangi majelis taklim atau pengajian jika setelah kita kembali tidak ada bedanya dengan sebelum kita pergi. Padahal ancaman terhadap orang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya sangatlah besar seperti dalam kedua hadits berikut:

“Seorang alim (berpengetahuan) yang tidak beramal (mengamalkan ilmunya) seperti lampu yang membakar dirinya sendiri” (HR Ad-Dailami)

“Orang yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat ialah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya” (HR Al-Baihaqi)

            Meskipun konsekuensinya sangat besar apabila kita tidak mengamalkan ilmu kita, tapi masih banyak orang yang mengabaikannya. Mereka seperti punya dalil sendiri yang diberi nama fleksibel, wajar, dan biasa. Fleksibel, wajar, biasa adalah kata-kata ambigu yang tidak pernah memiliki definisi maupun batasan yang jelas. Sampai mana orang dikatakan fleksibel atau wajar? Sampai mana orang dikatakan aneh ataupun kaku? Itu semua merupakan kata-kata yang berada dalam lingkaran abu-abu. Dengan kata lain mentolerir hal yang salah menjadi kebenaran bersama dan diturunkan secara turun temurun.

Pikiran saya tetap sulit menerima ini. Yang saya takutkan bukan pada hal yang bersifat keduniawian melainkan lebih kepada tanggung jawab kepada Yang di Atas. Kita mengetahui hal yang salah tetapi kita tetap melakukan hal yang salah. 

Lalu apa gunanya kita mempunyai ilmu untuk mengetahui mana yang benar dengan mana yang salah. Apa hal ini juga yang nanti kita ajarkan ke anak-anak kita? Apakah kita bangga menjadi orang yang bergelimang harta tapi tidak semuanya halal? Apa ini juga yang kita mau dari anak-anak kita kelak? Apakah kita bangga dan senang memberikan makanan, pakaian, dan mainan kepada istri dan anak kita dengan uang yang abu-abu? Bukankah dengan begitu kita telah menjerumuskan mereka, mengajak mereka kepada hal yang dimurkai Allah.

            Kalau kita membeli barang dan barang tersebut kemudian tidak berfungsi pasti kita akan membawanya ke toko di mana kita beli dan meminta ganti dengan yang baru atau meminta ganti rugi. Pernah tidak terlintas dalam pikiran kita jika kita menjadi barang yang tidak berfungsi? Menjadi seorang anak yang jauh dari harapan orang tua? Pernahkah kita berpikir betapa kecewanya mereka yang mungkin lebih besar dibandingkan dengan kecewanya kita membeli produk gagal?

Jika barang bisa diganti tetapi jika kita telah telanjur mengecewakan orang tua bagaimana? Apakah kita mau minta dimasukkan kembali dalam kandungan dan diganti dengan anak yang sesuai harapan? Tidak mungkin! Lalu apakah kita mau mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan orang tua sejak kita dalam kandungan hingga kita sebesar sekarang?
 
            Ada istilah bahwa ilmu itu lentera kehidupan. Dikatakan demikian karena ilmu dapat menjadi penerang langkah kita sehingga kita bisa memijak di tempat yang benar, bukan tempat yang salah. Namun jika kita telah punya ilmu lalu tetap memilih memijak di tempat yang salah, maka ada di mana ilmu kita? Apa gunanya kita belajar dan punya ilmu? Sebuah tulisan yang saya harap bisa menjadi cermin untuk diri kita.




.



1 komentar:

  1. menahan nafas bacanya..

    renungan..mau dibawa ke mana ilmu kita

    BalasHapus