Orang yang sedang belajar sering
diibaratkan dengan menimba ilmu. Kita susah payah sekolah, kuliah, mengikuti
majelis taklim / pengajian, maupun mengikuti seminar / kursus. Banyak waktu,
tenaga, pikiran, serta biaya yang kita keluarkan untuk mendapatkan ilmu atau
memperdalam ilmu.
Dalam belajar menuntut ilmu tidaklah
mudah. Ingat berapa kali ada hambatan maupun kesulitan yang kita hadapi
sehingga membuat kita marah, kesal, resah, maupun khawatir. Hujan dan sakit
sering menjadi bumbu cerita. Hingga akhirnya kita bisa menggenapkan ilmu kita
dan lulus. Semua jerih payah kita juga tidak akan menjadi sia-sia karena Allah
akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu seperti dalam firman-Nya:
“Allah akan meninggikan
(mengangkat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” (QS 58 : 11)
Dunia kerja berbeda dengan dunia
kuliah ataupun sekolah. Semua orang setuju akan ini. Dalam bekerja sering tidak
sesuai dengan disiplin ilmu yang kita pelajari. Banyak orang yang tidak
mempermasalahkannya. Tapi sering kita lupa nilai-nilai dasar ketika bekerja. Nilai-nilai
yang mungkin ditanamkan manakala kita masih SD. Hal yang sangat sederhana yang
sulit dilakukan oleh orang dewasa. Misalnya kejujuran, disiplin, ketaatan,
kerajinan, tenggang rasa, saling menghormati, dan sebagainya.
Di tingkat sekolah yang lebih
tinggi, apalagi jika kita memperdalam ilmu agama. Mempelajari banyak hal-hal
yang nampak sederhana namun sebenarnya tidak sederhana karena membawa
konsekuensi besar. Misalnya mengambil atau memakan yang bukan hak kita,
konsekuensinya doa dan amalan kita lainnya akan kita tergadai alias sulit
dikabulkan sebagaimana disampaikan hadits berikut:
”Seorang lelaki melakukan perjalanan
jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit
dan mengatakan,’Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal makanannya haram dan
mulutnya disuapkan dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterima doa itu?” ( HR. Muslim)
”Ketahuilah, bahwa suapan haram jika
masuk dalam perut salah satu dari kalian, maka amalannya tidak diterima selama
40 hari.”
(HR. At Thabrani).
Sudah
sangat jelas besarnya resiko yang akan kita tanggung manakala kita makan dengan
makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal. Bayangkan doa dan amalan
kita lainnya tidak diterima, bagaimana mungkin kita bisa melanjutkan hidup saat
doa kita sudah tidak dikabulkan?
Namun
oleh sebagian kalangan, mengambil sedikit yang bukan haknya acap kali dinilai
wajar. Entah itu dinamakan uang bensin, uang capek, uang terima kasih atau
apalah. Mungkin sudah banyak orang yang masa bodoh dengan peraturan maupun
masalah agama. Yang dipikirkan bukan lagi masalah benar atau salah, boleh atau
tidak boleh tapi bagaimana mendapatkan yang lebih dan lebih dari haknya
meskipun haknya juga telah terpenuhi.
Mereka yang bertindak demikian bukan
berarti mereka tidak tahu atau tidak punya ilmu, namun entah ditaruh di mana
ilmu mereka. Begitu pula dengan agama mereka, apakah tetap dipelihara dalam hati,
pikiran, dan tindakan atau hanya tinggal tersurat di KTP saja.
Kita susah payah menimba ilmu,
apakah akan kita biarkan ilmu kita tumpah berceceran di pinggir jalan? Ataukah kita
tinggalkan begitu saja ember ilmu kita di sumur tempat kita menimba tanpa
membawanya pulang? Atau justru terang-terangan kita buang ilmu kita karena kita
merasa sudah kadaluwarsa?
Yang
sebenarnya harus dicermati apakah kita orang yang berilmu bertindak sama dengan
orang yang tidak punya ilmu? Lalu apa bedanya kita dengan orang yang tidak
punya ilmu? Apakah orang yang telah diberikan hidayah dan tahu agama bertindak
sama dengan orang atheis yang tidak mengenal agama? Apakah seorang sarjana memiliki
cara berpikir dan bertindak sama dengan lulusan SMP atau SMA?
Jika
memang demikian, mengapa kita harus sekolah tinggi-tinggi, mendatangi majelis
taklim atau pengajian jika setelah kita kembali tidak ada bedanya dengan
sebelum kita pergi. Padahal ancaman terhadap orang yang memiliki ilmu namun
tidak mengamalkannya sangatlah besar seperti dalam kedua hadits berikut:
“Seorang alim (berpengetahuan) yang
tidak beramal (mengamalkan ilmunya) seperti lampu yang membakar dirinya
sendiri” (HR Ad-Dailami)
“Orang yang paling pedih siksaannya
pada hari kiamat ialah seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya” (HR
Al-Baihaqi)
Meskipun konsekuensinya sangat besar
apabila kita tidak mengamalkan ilmu kita, tapi masih banyak orang yang
mengabaikannya. Mereka seperti punya dalil sendiri yang diberi nama fleksibel,
wajar, dan biasa. Fleksibel, wajar, biasa adalah kata-kata ambigu yang tidak
pernah memiliki definisi maupun batasan yang jelas. Sampai mana orang dikatakan
fleksibel atau wajar? Sampai mana orang dikatakan aneh ataupun kaku? Itu semua
merupakan kata-kata yang berada dalam lingkaran abu-abu. Dengan kata lain
mentolerir hal yang salah menjadi kebenaran bersama dan diturunkan secara turun
temurun.
Pikiran
saya tetap sulit menerima ini. Yang saya takutkan bukan pada hal yang bersifat
keduniawian melainkan lebih kepada tanggung jawab kepada Yang di Atas. Kita mengetahui
hal yang salah tetapi kita tetap melakukan hal yang salah.
Lalu
apa gunanya kita mempunyai ilmu untuk mengetahui mana yang benar dengan mana
yang salah. Apa hal ini juga yang nanti kita ajarkan ke anak-anak kita? Apakah kita
bangga menjadi orang yang bergelimang harta tapi tidak semuanya halal? Apa ini
juga yang kita mau dari anak-anak kita kelak? Apakah kita bangga dan senang
memberikan makanan, pakaian, dan mainan kepada istri dan anak kita dengan uang
yang abu-abu? Bukankah dengan begitu kita telah menjerumuskan mereka, mengajak
mereka kepada hal yang dimurkai Allah.
Kalau kita membeli barang dan barang
tersebut kemudian tidak berfungsi pasti kita akan membawanya ke toko di mana
kita beli dan meminta ganti dengan yang baru atau meminta ganti rugi. Pernah tidak
terlintas dalam pikiran kita jika kita menjadi barang yang tidak berfungsi? Menjadi
seorang anak yang jauh dari harapan orang tua? Pernahkah kita berpikir betapa
kecewanya mereka yang mungkin lebih besar dibandingkan dengan kecewanya kita
membeli produk gagal?
Jika
barang bisa diganti tetapi jika kita telah telanjur mengecewakan orang tua
bagaimana? Apakah kita mau minta dimasukkan kembali dalam kandungan dan diganti
dengan anak yang sesuai harapan? Tidak mungkin! Lalu apakah kita mau mengganti
seluruh biaya yang dikeluarkan orang tua sejak kita dalam kandungan hingga kita
sebesar sekarang?
Ada istilah bahwa ilmu itu lentera
kehidupan. Dikatakan demikian karena ilmu dapat menjadi penerang langkah kita
sehingga kita bisa memijak di tempat yang benar, bukan tempat yang salah. Namun
jika kita telah punya ilmu lalu tetap memilih memijak di tempat yang salah,
maka ada di mana ilmu kita? Apa gunanya kita belajar dan punya ilmu? Sebuah tulisan
yang saya harap bisa menjadi cermin untuk diri kita.
menahan nafas bacanya..
BalasHapusrenungan..mau dibawa ke mana ilmu kita