Di
salah satu sudut Paragon, bersualah dua insan yang tengah mencari jatidirinya.
Lhoh, emang jatidirinya pada di taruh di mana? Ya, di Jatingalehlah… Hahaha…
Bukan-bukan,
dua insan yang terpisahkan karena perbedaan Bapak dan Ibu tadi, sebenarnya
sedang membangun mimpinya masing-masing. Mimpi yang cukup tinggi, mimpi yang
perlu keyakinan diri.
Keduanya
pernah mengalami masa yang begitu dekat dengan gemerlap kehidupan. Iyalah
gemerlap, orang lampu kamarnya konslet, byar…
pet… byar… pet… terus. Hahaha…
Di
Paragon, mereka menyusun lagi puing-puing mimpi yang terserak, layaknya lego
yang jatuh berantakan dihantam kaki-kaki yang melangkah tanpa kepedulian.
Jiaah… bahasanyaa… bias buat “nggotek” pesawat tuh…
Ya,
pada akhirnya mereka menyadari bahwa suatu rumah itu perlu atap, tiang, dan
pondasi. Maklum selama ini mereka menganggap rumah itu cukup sebuah kubah
sederhana, layaknya kurungan ayam atau rumah Patrick. Woooy… Penuliiis…
Banguuuun!!! Jangaaan Ngigauuu…!!!
Kaleeem
Cooy… Jika rumah diibaratkan sebagai sebuah tujuan besar dalam hidup, maka
rumah memerlukan mimpi yang menjulang. Mimpi yang indah. Mimpi yang menunjukkan
karakter dan eksistensi empunya.
Lalu
untuk mendukung atap, maka diperlukan tiang-tiang yang kokoh. Tiang-tiang ini
berupa rangkaian usaha
keras nan rapi dari empunya. Mustahil dengan usaha yang minimal dan asal-asalan,
mampu menyokong atap yang indah.
Pondasi
adalah dasar dari sebuah bangunan. Punya peran yang vital meski tidak telihat.
Tanpa pondasi yang kuat, bangunan di atasnya tak akan berarti dan akan
mengalami kehancuran. Lalu apa yang dimaksud pondasi dalam konteks di sini?
Batu, besi,pasir, dan semen? Salah!
Pondasi
di sini ialah kekuatan spiritual. Hubungan antara seorang hamba dengan Sang
Pencipta yang dijewantahkan dalam bentuk rangkaian ibadah dan doa. Seberapa
kuat pondasi bisa dibangun sangat bergantung pada kekuatan batu dan semennya.
Dalam hal ini, ialah ibadah dan doanya.
Namun
diluar itu, ada satu sikap atau pandangan yang sama, diambil oleh keduanya,
yaitu tawakal. Tawakkal ialah merupakan
sikap menyerahkan keputusan kepada Sang Pengatur setelah berjerih payah dalam berusaha.
Mereka
masih menggantung tinggi mimpi mereka. Namun kali ini diberi “kerekan”. Lhoh… Apa maksudnya?
Maksudnya,setiap
orang berhak untuk mencanangkan mimpi yang tinggi. Namun mimpi itu harus
terukur. Layaknya mengibarkan bendera
Merah Putih, usahakan lagu dan bendera bisa sampai di atas dengan bersamaan.
Tidak ada yang saling mendahului atau mencurangi.
Untuk
itu tinggi tiang bendera juga harus menyesuaikan dengan panjang lagu. Tidak
mungkin menggunakan tiang yang setinggi Monas atau Eiffel. Karena pengibaran
bendera itu memakai lagu kebangsaan, bukan sinetron Tukang Bubur atau
Tersanjung. Hahaha... Makin ngaco aja neh penulisnya...
Membangun
mimpi memang harus terukur dengan kemampuan empunya. Bahasa ilmiahnya,
realistis. Soalnya kalau Real Madrid artinya terus bermimpi bisa juara La Liga
lagi. Hahaha...
Kembali
ke tawakal, kedua insan berlainan rupa ini (yaiyalah, kalau sama berarti
kembar),sejujurnya tak terlalu berharap banyak pada apa yang tengah dikerjakan.
Mereka
hanya mengerjakan apa yang mesti dikerjakan. Mengupayakan yang terbaik menurut
benaknya masing-masing. Lalu mereka menyerahkan proposal usahanya kepada Sang
Pengatur.
Beberapa
waktu berselang, mereka secara bergantian mendapatkan kabar yang mampu
mengerakkan otot bibirnya ke atas. Seperti tubuh dan bayangan, mereka akan
memulai langkah di waktu yang bersamaan.
6
Oktober. Hanya berselang sehari dari HUT TNI. Hari yang tidak istimewa sampai
mereka sadar, bahwa mereka telah mengarungi persahabatan yang istimewa sekian
lama.
Hari
itu, mereka membuang kepingan lego masa lalu yang telah bengkok, patah, dan tergores.
Lalu menyusun lagi lego sesuai mimpi mereka masing-masing, dengan konsep yang
jauh lebih baik, namun realistis.
Hari
itu, 6 Oktober di Paragon. Mall yang katanya paling bagus di Semarang, tapi
menurut mereka biasa saja. Karena yang luar biasa istimewa, ada dalam
persahabatan mereka. Cieeee....
Sekian
cerita aneh dari penulis. Ngerti, alhamdulillah. Nggak ngerti, juga
alhamdulillah. Pokoknya bersyukur. Hehehe...