Semarang adalah salah satu kota yang miskin konflik. Apa penyebabnya? Budaya Jawa yang kuat melekat dan membentuk karakter penduduknya. Budaya Jawa seperti ramah, sopan, dan menjunjung tata krama menjadi pondasinya. Ditambah budaya “ewuh pekewuh” sebagai bagian dari pengendalian diri orang Jawa. Hingga sangat kecil niat untuk menyakiti orang lain.
Namun hal ini jangan disalah artikan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang Jawa. Mereka pun bisa bertindak kejam jika diperlakukan seperti itu. Apa landasan ini? Jika kita memperhatikan dalam pakaian adat jawa, di mana menyelipkan keris di bagian belakang, ini mengindikasikan hal tersebut. Maksudnya? Orang Jawa akan selalu bersikap baik dengan siapapun. Mereka menjadikan senjata bukan untuk gagah-gagahan ataupun menakuti. Hanya sebagai alat perlindungan diri. Hanya dalam kondisi terdesak saja keris itu terlepas dari sarungnya.
Karakter orang Semarang pun tidak bisa dijauhkan dari filosofi tadi. Orang Semarang tidaklah selembut orang Jogja atau Solo. Perpaduan nilai dengan berbagai budaya lain akibat menjadi kota pesisir penyebabnya. Namun Semarang juga tidak sekasar Jawa Timuran dalam tata pergaulan.
Di Semarang, ada suatu kampung yang cukup terkenal dengan istilah “senggol bacok”. Istilahnya terdengar mengerikan meski sebenarnya lebih ke arah pesan, “Jangan melukai atau mengganggu, kalau tidak ingin dilukai”. Kampung itu letaknya 6-7 kilometer dari kampungku. Beberapa temanku tinggal di sana.
Saat SMA, aku memaknai istilah “senggol bacok” dan menunjukkannya secara harfiah. Jiwa muda dengan emosi yang masih meletup-letup dan hasrat menunjukkan eksistensi yang masih tinggi menjadi dua hal yang melatarbelakanginya. Namun dengan meningginya tingkat pendidikan, bertambahnya usia, dan status pekerjaanku sekarang, aku tidak lagi mengekspresikan secara harfiah istilah tadi. Ada rasa malu jika bertindak demikian. Sebab jika aku masih bertindak seperti itu, apa bedanya aku dengan preman pasar?
Aku akan memilih cara-cara yang elegant tanpa mengurangi makna. Siapa yang melukai, berarti telah siap dilukai. Siapa yang mengganggu, berarti telah siap diganggu.
Aku akan memilih cara-cara yang elegant tanpa mengurangi makna. Siapa yang melukai, berarti telah siap dilukai. Siapa yang mengganggu, berarti telah siap diganggu.
Saat fisik kita disakiti ataupun dipermalukan, kita tidak perlu membalasnya dengan hal serupa bukan? Meski saat itu terjadi, harga diri kita pasti terkoyak. Cukup itu menjadi alasan untuk tidak berdiam diri.
Lantas apakah "senggol bacok" sama artinya dengan balas dendam? Tentu saja tidak. “Senggol Bacok” sejatinya hanyalah himbauan bernada keras. Sedangkan suatu himbauan hendaknya dipatuhi. Jika tidak, tentu ada konsekuensi logis. Siapa yang menanam kebaikan, akan memanen kebaikan pula. Begitu juga sebaliknya.
Analogi kerja "senggol bacok" tak ubahnya sebuah rautan. Saat ada pensil yang menusuknya dalam, saat itu pula ia akan merautnya.