Yaph,
ini pengalaman pribadi yang menjadi pelajaran penting. Bermula dari urusan
perut yang susah dikendalikan.
Jumat,
sekitar jam 10.00 waktu UNDIP aku diajak oleh seorang teman untuk makan mie di
lantai 3. Waktu itu perutnya sudah keroncongan sampai dangdutan. Saya yang
waktu itu masih ada pekerjaan, tidak mengiyakan namun juga tidak menolak.
Namun
sejam berselang, konser yang sama diusung oleh perutku. Akhirnya aku harus
mengulang lagi ajakannya tadi.
“Jadi
makan nggak Mas Agus?” tanyaku pada
minatnya yang sempat terabaikan.
“Ini
udah jam 11. Apa nggak mepet sama Jumatan?
jawabnya ragu.
“Masih
bisalah. Mie kan cepet. Adzan kan baru jam 12.” cerocosku ngotot karena kelaparan.
“Ok…!”
sahutnya singkat
Akhirnya
kami pun bergegas ke pentry yang ada
di lantai 3. Aku memesan mie goreng tanpa telur kesukaanku sedangkan mas Agus
memesan mi goreng dengan telur plus
meminta jatah telurku dioper ke piringnya.
Suasana
saat itu memang sudah sepi karena masuk jam istirahat. Beberapa pegawai
laki-laki pun sudah mengganti sepatunya dengan sandal untuk melangkah ke
masjid. Namun kami masih berbincang santai sembari menikmati aroma mie yang
mulai masak.
Senyum
kami langsung berkibar tatkala mbak Ju yang merupakan pegawai pentry membawa
nampan berisi dua piring mie pesanan kami. Kami menyambutnya dengan antusias
layaknya juara Olimpiade. Tak perlu sampai setengah menit, piring mie itu sudah
pindah ke tangan kami.
Sedang
asyik-asyiknya menyantap mie buatan mbak Ju, kami dikejutkan dengan sapaan
seorang pria berpakaian hitam berwajah oriental.
“Permisi.
Pak, mau nanya, kalau ruang buat
acara PMK di sebelah mana yaa?” tanyanya.
“Apa
itu PMK?” balas Mas Agus balik bertanya.
“Persekutuan
Mahasiswa Kristen Pak” terang pria tersebut.
“Wah,
saya kurang tahu.” jawab Mas Agus sembari mengunyah sisa-sisa mienya.
Namun
tiba-tiba seorang wanita temannya, yang juga berpakaian hitam dan berwajah
oriental, mengeluarkan pernyataan mengejutkan.
“Nah,
mas ini temannya kan?” sambil menunjuk dan berjalan ke arahku.
Mendadak
aku pun bengong. Mencoba mencernanya kalimatnya
baik-baik. Ketemu juga barusan, kenal apalagi, kok bisa ngaku-ngaku temenku.
Apalagi menjadi anggota organisasi keagamaan non muslim. Helloooo… Kapan aku
pindah keyakinan???
“Wah..
saya nggak tahu bu! Masih baru di
sini” timpalku sekenanya.
“Dia
masih baru. Belum tahu. Mungkin kelas yang pojok itu.” mbak Ju bersuara memberi
titik terang kepada dua orang berwajah oriental tersebut.
Mendengar
keterangan mbak Ju, kedua orang itu kemudian bergegas ke ruang kelas yang
dimaksud dengan meninggalkan ucapan terima kasih terlebih dahulu.
Setelah
mereka menghilang dari pandangan, serempak tawa dari kami bertiga pecah menggelegar.
Seketika itu pula aku jadi sasaran bullyan
dari mas Agus dan mbak Ju. Mereka menganggap mata sipitku dan tampang yang
sedikit keorientalan, membuat aku dikira sebagai temannya. Aku pun heran
sejadi-jadinya. Apalagi saat itu aku memakai baju muslim. Memang sih baju
muslimku model yang modern. Tidak terlalu terlihat sebagai baju muslim. Namun
jika jeli melihat kerahku, jelas itu kerah baju muslim.
Akhirnya
aku dan mas Agus segera menyelesaikan makan untuk kemudian bergeas ke masjid.
Di sepanjang perjalanan, kami berdua masih tertawa mengingat momen yang baru
terjadi. Namun ini pun menjadi tamparan keras sekaligus pelajaran berharga buat
kami. Jika sudah masuk waktu sholat, bergegaslah ke masjid untuk sholat. Jangan
menunda-nunda atau akan dianggap sebagai teman atau bagian kaum dari mereka
yang non muslim.
Tulisan
yang sekedar sebagai self-reminder. Kalau
pun ada sedikit bahasan tentang agama, sama sekali tidak ada arah ke SARA lho
yaa. Ok?! Semoga bermanfaat.