Senin, 15 Oktober 2012

Larangan Jilbab di Perancis Ditinjau dari Segi HAM




Postingan saya kali ini merupakan makalah saya untuk mata kuliah Studi Eropa. Di sini saya mengangkat ketidakadilan dan diskriminasi di sebuah negara yang konon menjadi cikal bakal lahirnya nilai-nilai demokrasi. Makalah ini terpilih menjadi salah satu makalah terbaik untuk dipresentasikan. Semoga dapat diambil manfaatnya. Monggo dipun sekeca'aken...!!!


BAB I
PENDAHULUAN
 
            Perancis adalah salah satu negara besar di Eropa Barat dengan populasi umat Islam yang terbesar. Saat ini sekitar enam juta umat Muslim tinggal di Perancis. Sekitar setengah dari mereka memiliki kewarganegaraan Perancis. Mereka terdiri dari penduduk Perancis asli dan penduduk pendatang. Para pendatang ini berasal dari negara-negara Afrika bagian utara atau Senegal maupun negara-negara bekas jajahan Perancis lainnya. Meski memiliki populasi yang lumayan besar, umat Muslim di Perancis hanya menjadi kelompok minoritas di negara yang berpenduduk sektar 64 juta orang tersebut.[1]
            Perancis merupakan salah satu negara demokrasi yang cukup terkemuka di dunia. Selama ini Perancis juga dikenal sebagai penganut kuat paham sekularisme, yaitu menghendaki adanya pemisahan antara agama dengan kehidupan negara. Sejumlah kebijakan-kebijakan yang kontroversial mengenai identitas-identitas keagamaan sering muncul. Diantaranya di tahun 1989, pemerintah Perancis melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah umum yang mengakibatkan muncul protes keras. Pada tahun 2004, Perancis melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan seperti salib, jilbab, dan topi Yahudi di tempat-tempat umum. Yang terbaru adalah disahkannya undang-undang yang melarang burqa (pakaian wanita yang hampir menutupi seluruh tubuhnya). Bahkan bagi yang mengenakan akan dikenai denda.
            Wacana mengenai jilbab dan burqa di Eropa memang mengemuka akhir-akhir ini. Meski jilbab saat ini tidaklah terlalu asing bagi masyarakat eropa karena telah bertambah banyak yang mengenakan, tetapi burqa masih dianggap sebagai suatu hal yang asing yang mesti disingkirkan. Upaya untuk melarang burqa tidak hanya terjadi di Perancis, melainkan juga di Belgia, Spanyol, Belanda, dan Italia. Namun penulis hanya akan menyorot di Perancis saja. Perancis selain dikenal dengan negara demokrasi juga dikenal karena prinsip-prinsip revolusi Perancis ikut menjiwai masalah-masalah hak azasi manusia dan perubahan-perubahan di negara lain. Tiga prinsip revolusi Perancis yang terkenal itu adalah Liberte (kebebasan), Egalite (kesetaraan), dan Fraternity (persaudaraan).
            Makalah ini kemudian akan membahas lebih lanjut pada bab berikutnya mengenai pentingnya jilbab dan cadar bagi muslimah? Bagaimanakah kebijakan-kebijakan kontroversial dari Pemerintah Perancis terkait identitas keagamaan? Bagaimanakah pelarangan jilbab dan burqa ditinjau dari nilai-nilai hak-hak azasi manusia? Dan bagaimana reaksi organisasi internasional terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Perancis terkait jilbab dan burqa?
            Tujuan makalah ini antara lain untuk menggambarkan bagaimana di negara demokrasi yang mempunyai revolusinya mampu mengilhami bagi perubahan kehidupan dunia saat itu, terutama mengenai kebebasan dan kesetaraan, ternyata masih membatasi sejumlah hak-hak individu yang termasuk ke dalam hak-hak dasar. Manfaat yang diharapkan dapat dipeoleh dari makalah ini adalah suatu pelajaran maupun referensi mengenai bagaimana memadukan tatanan budaya, politik, hukum, dan mungkin agama di suatu negara yang sekuler namun penuh pluralisme agar tercipta kehidupan yang damai dan serasi.


BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    Pentingnya jilbab bagi seorang muslimah.
Jilbab sangatlah penting bagi seorang muslimah yang taat dalam menjalankan perintah agama. Jilbab bukanlah sekedar simbol keagamaan belaka maupun budaya bangsa Arab, melainkan sebuah perintah dari Allah yang tertulis dengan nyata di dalam Al-Qur’an.


“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[2]
Selain ayat di atas, terdapat satu ayat lagi di dalam Al-Qur’an yang menerangkan mengenai kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslimah.
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[3]
Dua ayat di atas merupakan dasar bagi seorang wanita muslimah untuk menggunakan jilbab. Jilbab sama pentingnya dengan ibadah-ibadah umat Islam lainnya seperti sholat maupun puasa ramadhan, ataupun dengan ibadah-ibadah umat lainnya, seperti kebaktian di gereja bagi umat Nasrani maupun pergi ke pura bagi umat Hindu. Ini juga jelas untuk menjelaskan bahwa jilbab bukan budaya yang dipaksakan oleh orang tua mereka kepada wanita-wanita muslimah. Jilbab juga tidak membatasi hak-hak wanita seperti yang dipikirkan banyak orang barat, tetapi jilbab justru memuliakan wanita dan menjaga wanita seperti yang dijelaskan oleh kedua ayat di atas.
Pemahaman mengenai aurat wanita dalam surat An-Nuur ayat 31 oleh madzhab Syafi’I, yang dikatakan an-Nawawi dan al-Khathib asy-Syirbini adalah aurat perempuan merdeka meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan. Sedangkan Muhammad bin Abdullah al-Maghribi mengatakan bahwa jika perempuan merasa khawatir terhadap fitnah, maka ia harus menutup muka dan kedua telapak tangannya.[4] Pada dasarnya penggunaan penutup muka atau cadar atau sejenisnya sangat tergantung dengan keyakinan dari wanita muslimah itu sendiri di mana ia merasa nyaman. Ulama-ulama Islam tidak ada yang menentang pengunaan cadar, sebagian diantaranya bahkan mensunnahkannya.
Namun yang pasti adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan itu dijamin dalam setiap deklarasi hak-hak azasi manusia, terutama menyangkut hak-hak dasar mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta menjalankan agama dan keyakinannya. Berjilbab merupakan bagian dari agama yang harus dilindungi sementara bercadar merupakan bagian dari keyakinan yang semestinya juga dilindungi.

B.     Kontroversi kebijakan Perancis: dari pelarangan jilbab, simbol agama, hingga burqa.
Pada awal dekade 1990-an, Menteri Dalam Negeri Perancis memerintahkan pelarangan penggunaan pakaian Islami oleh para pelajar muslimah di sekolah-sekolah Perancis. Ketika itu, program anti jilbab hanya dilakukan  dalam bentuk surat perintah kepada kepala-kepala sekolah dan keputusan akhir terletak pada kepala sekolah tersebut. Dengan cara ini,  ada kemungkinan kepala sekolah tetap mengizinkan pelajar muslimah untuk tetap melanjutkan pelajaran mereka dengan mengenakan jilbab.[5] Akibat kebijakan itu, pelajar muslimah di Perancis sampai diusir dari sekolahnya karena berjilbab. Terdapat juga pelajar yang diusir karena tidak mau melepaskan jilbab dan menggunakan celana pendek ketika berolahraga. Alasan yang digunakan adalah karena olahraga mengharuskan memakai pakaian yang membuat leluasa dalam bergerak.[6]
Peristiwa pengusiran siswa tersebut akhirnya memicu gelombang demonstrasi yang besar-besaran dari umat Islam di Prancis untuk menuntut kebebasan. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan pada 2 November 1992 yang memperbolehkan para siswi muslimah untuk mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Meski demikian, bukan berarti gerakan anti jilbab berakhir. Pada akhir tahun 2002, seorang pekerja wanita muslim bernama Dalila Tahiri, dipecat perusahaan tempatnya bekerja lantaran menolak menanggalkan jilbab yang dikenakannya saat bekerja. Padahal dirinya telah bekerja ditempat tersebut selama 8 tahun. Selama itu pula jilbab yang dikenakannya tidak menimbulkan masalah apapun, baik dalam kualitas pekerjaannya ataupun hubungan baiknya dengan sesama pekerja. Kebijakan yang secara tiba-tiba diterapkan oleh perusahannya itu dipicu oleh tragedi 11 September yang mengguncang Amerika Serikat tahun 2001.[7] Tidak hanya itu, bahkan seorang anggota tim juri pengadilan kota Bubini, Paris, telah dipecat dari pekerjaannya atas perintah Jaksa Agung Perancis hanya karena muslimah tersebut mengenakan jilbab.
Di tahun 2004, Pemerintah Perancis yang melakukan tindakan yang lebih mengejutkan. Presiden dan Perdana Menterinya, Jacques Chirac dan Jean-Pierre Raffarin, berusaha melancarkan serangan terhadap jilbab dan simbol-simbol keagamaan seperti salib dan topi Yahudi dengan menggunakan undang-undang yang melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di sekolah dan di kampus. Undang-undang ini dikeluarkan dengan alasan menjaga kesekuleran Perancis. Undang-Undamg ini disahkan pada 10 Februari 2004 dengan disetujui 494 anggota parlemen dan ditolak oleh 39 anggota parlemen. Kebijakan Perancis ini mendapat kecaman luas dari dunia Internasional. 
Kasus terbaru adalah pelarangan burqa, yaitu pakaian yang menutupi seluruh tubuh muslim, termasuk wajah. Undang-undang ini disahkan pada tanggal 13 Juli 2010 dan didukung oleh 336 anggota parlemen, serta hanya 1 orang yang menentangnya. Kebijakan itu diambil karena jilbab dengan penutup wajah tidak wajib dalam Islam dan tidak sesuai dengan nilai budaya yang ada di Perancis. Larangan tersebut melarang siapa saja menutupi wajah mereka di tempat publik, seperti di gedung-gedung pemerintah dan transportasi publik, serta tempat-tempat umum, seperti jalanan, pasar dan jalan-jalan ramai, tempat-tempat bisnis dan hiburan.[8] Bahkan Ketua Kelompok Hak-Hak Wanita Perancis Ni Putes Ni Soumises, Sihem Habchi, mengatakan bahwa jilbab seluruh wajah adalah bendera sebuah ideologi sektarian. Sungguh ini lebih terlihat sebagai upaya rasisme daripada memurnikan sekularisme. 
Undang-undang ini ternyata tidak main-main sebab tersedia hukuman yang diterima bagi wanita yang tetap memaksa memakai burqa, yaitu didenda 150 euro atau wajib berpartisipasi dalam pelajaran kewarganegaraan. Sementara orang yang memaksa seorang wanita untuk menutup wajahnya dihukum selama satu tahun penjara dan denda 30.000 euro. Namun, undang-undang ini tidak diberlakukan untuk menutup wajah dalam kegiatan festival dan acara seni.[9]
Akan tetapi yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa wanita muslimah yang memakai burqa di Perancis jumlahnya hanya sekitar 2.000 orang.[10] Sungguh hal yang sangat aneh bahwa peraturan selevel undang-undang hanya digunakan untuk mengatur atau mengendalikan suatu kelompok minoritas yang jumlahnya pun kecil. Seakan-akan terlihat bahwa pemerintah Perancis merasa ketakutan dengan hanya 2.000 orang muslim yang menggunakan burqa. Padahal mereka juga bukan kelompok berbahaya yang mengancam eksistensi Perancis maupun stabilitas keamanan Perancis. Mereka bukanlah teroris, pengedar narkoba, maupun kelompok propagandais, mereka hanya orang yang setia menjalankan apa yang diyakininya benar, nyaman, dan bermanfaat bagi dirinya.
Suatu kebijakan yang benar-benar berlebihan atau mungkin sebuah kebijakan yang memang berusaha menyingkirkan suatu kelompok identitas yang ada. Sejujurnya, jumlah mereka yang sangat sedikit ini tetap tidak akan mampu mengubah image Perancis yang sekuler menjadi negara agama. Tidak hanya kebijakan yang berlebihan, tetapi kebijakan yang aneh. Suatu negara hingga sedemikian rupa mengatur tata cara berpakaian warga negaranya. Padahal jika dicermati, cara berpakaian mereka tidak menimbulkan masalah apapun, hanya orang Perancis saja tidak terbiasa melihatnya. Bandingkan dengan budaya Perancis yang selalu berpakaian terbuka, bahkan menjadi model telanjang tidak dilarang. Bukan hanya mengundang kerusakan moral cara berpakaian yang seperti itu, tapi meningkatkan kriminalitas dengan maraknya pemerkosaan.

C.    Pelarangan jilbab dan burqa ditinjau dari dari nilai-nilai hak azasi manusia.
Jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang menutup kepala, leher, dan dada. Sementara burqa adalah pakaian yang menutupi tubuh dari kepala hingga ujung kaki, hanya menyisakan celah sedikit di sekitar mata. Di atas telah dijelaskan bahwa jilbab merupakan bagian dari agama Islam dan wajib dikenakan bagi wanita muslimah. Sementara penggunaan burqa juga merupakan keyakinan dari penggunanya untuk lebih menjaga diri mereka, termasuk dari fitnah. Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak dasar yang dilindungi dalam kerangka hak-hak azasi manusia.
Lindholm dkk. mengatakan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan, di masa sekarang dapat diartikan sebagai suatu hak asasi manusia yang berlaku secara universal yang tercakup dalam instrument-instrumen hak asasi manusia internasional.[11] Secara normatif, kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan suatu hak fundamental yang paling penting. Hak in muncul dari dari sisa-sisa perang dunia II, hak ini telah diartikulasikan secara tegas dalam pasal 18 baik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maupun Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Individu-individu semua manusia di muka bumi adalah pemegang utama dan penerima kebebasan ini. Peraturan-peraturan lain mengenai hak azasi manusia tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat dalam Deklarasi 1981, Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dan Kebebasan-Kebebasan Fundamental, Konvensi Amerika tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Dokumen Penutup Pertemuan Vienna bagi Perwakilan GSCE (khusunya pasal 16 dan 17). Komentar Umum No. 22 (48) Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan substansi normative bagi Pasal 18 ICCPR.[12]
Secara singkat, inti normatif dari hak azasi manusia atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disingkat menjadi delapan elemen, yaitu sebagai berikut:[13]
  1. Kebebasan internal
Setiap orang bebas atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.

  1. Kebebasan ekternal
Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah, dan penaatan.

  1. Tanpa dipaksa
Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai pilihannya.

  1. Tanpa diskriminasi
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada di dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama, atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsan atau asal-usul lainnya.

  1. Hak orang tua dan wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang.

  1. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum
Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. 

  1. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal
Kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar orang lain.

  1. Tidak dapat dikurangi
Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.

Dengan memperhatikan point-point pada ketentuan di atas, maka pelarangan Perancis atas penggunaan jilbab atau burqa di tempat umum jelas melanggar point kedua karena merenggut kebebasannya untuk melaksanakan keyakinannya di tempat umum. Selain itu juga melanggar point ke-6 karena masalah berpakaian sebenarnya merupakan masalah otonomi individu. Pemerintah tidak berhak mencampuri urusan yang berada dalam kewenangan individu selama individu tersebut tidak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain atau lingkungannya. Adanya denda dan hukuman bagi seseorang yang menyuruh menggunakan burqa jelas melanggar point ke-5 tentang hak orang tua atau wali untuk mendidik anak mereka sendiri sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
Dalam hal ini pemerintah Perancis juga tidak bisa menggunakan point ke-7 untuk melegalkan kebijakan pelarangan burqa karena penggunaan burqa sama sekali tidak mengganggu keamanan publik, ketertiban, kesehatan, moral, atau hak-hak dasar orang lain. Konsekuensi penggunaan burqa hanya berdampak pada dirinya sendiri. Pemakai burqa bukanlah seorang teroris, pengedar narkoba, atau propagandais yang keberadaannya patut dikhawatirkan. Pembesar-besaran masalah burqa oleh pemerintah Perancis dan media setempat justru yang mengucilkan muslimah pemakai burqa dari lingkungannya hingga membatasi haknya. 
Pelarangan jilbab, simbol-simbol keagamaan, dan burqa justru mencederai prinsip-prinsip yang terdapat dalam Revolusi Perancis itu sendiri, yaitu Liberte (kebebasan), Egalite (kesetaraan), dan Fraternity (persaudaraan).[14] Dengan adanya pelarangan-pelarangan itu, patut kita pertanyakan di manakah letak kebebasan dan kesetaraan itu sekarang? Perancis adalah sebuah negara demokrasi yang besar, di mana revolusinya mempengaruhi revolusi-revolusi di tempat lain dan prinsip-prinsip revolusinya menjadi dasar dalam pembahasan mengenai hak azasi manusia, tetapi mengapa kebebasan individu harus dikebiri sedemikian rupa hanya untuk menjaga image Perancis sebagai negara sekuler?
Kasus Perancis mengilustrasikan bagaimana sekularisme sebenarnya bisa dimunculkan sebagai ide mengenai budaya nasional yang hegemonik. Sayangnya hal itu dilakukan dengan meminggirkan identitas-identitas lainnya. Peminggiran individu atau kelompok tertentu dari tatanan masyarakat karena alasan nasionalisme, ideologi, sekuler, atau agama akan selalu tidak memuaskan. Sekularisme sebagai pemisahan agama dan negara dicirikan dengan satu batasan, yaitu ia membatasi isi normatifnya pada batas minimum bila ingin mencapai tujuannya untuk melindungi pluralisme politik maupun budaya dalam masyarakat yang heterogen. Negara harus mengurangi untuk melegitimasi dirinya sebagai organ yang universal yang mampu bergerak tanpa adanya batasan moral apapun.[15] Menciptakan suatu masyarakat yang universal di negara yang sekuler tidak harus dengan meminggirkan identitas-udentitas agama yang berkembang. Agama tetap berjalan memainkan perannya. Sementara, negara juga punya peran sendiri dan tidak perlu turut serta mengenai identitas-identitas keagamaan.

D.    Reaksi organisasi internasional terhadap kebijakan Perancis.
Dewan Eropa mengambil sikap yang menentang larangan penuh atas penggunaan burka atau niqab di tempat umum, seperti telah berlaku di Perancis, Belgia dan Spanyol dikarenakan larangan tersebut telah melanggar hak-hak dasar perempuan yang ingin menutupi wajahnya. Namun, Dewan Eropa juga mengingatkan jika penggunaan burka dan niqab dapat dilarang apabila membahayakan keamanan publik atau jika pekerjaannya mengharuskan perempuan memperlihatkan wajah mereka. Sayangnya, Dewan Eropa maupun badan pengawas hak-hak asasi manusia Eropa tidak bisa mengeluarkan peraturan apapun yang mengikat tentang undang undang nasional.[16]
Sementara, Organisasi Hak Asasi Manusia Amnesti International menyesalkan keputusan parlemen Perancis yang mengesahkan undang-undang yang melarang pemakaian burqa (cadar) di tempat umum. Seorang pakar pada Amnesti dalam urusan diskriminasi di Eropa, John Dltonien mengatakan bahwa larangan burqa merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama bagi perempuan yang memilih untuk memakainya. Ia menambahkann bahwa larangan itu akan menjadi hukuman ganda yang dipaksakan bagi mereka yang memakai cadar, karena larangan itu membatasi keterlibatan mereka dalam masyarakat dan mengharuskannya untuk tinggal di rumah selamanya.[17] Pada hakekatnya, biarkanlah masalah berpakaian menjadi masalah yang bersifat otonom bagi individu-individu. Sangat tidak layak suatu negara mengatur hingga sedemikian rupa masalah berpakaian warga negaranya. Apalagi permasalahan tersebut tidak mengancam keamanan nasional, bahkan cenderung mendiskriminasikan suatu kelompok dan seakan-akan menjadi islamophobia.


BAB III
PENUTUP
 
Meski Perancis adalah negara demokrasi dan memiliki prinsip- prinsip yang terkenal dalam Revolusi Perancisnya, yaitu Liberte (kebebasan), Egalite (kesetaraan), dan Fraternity (persaudaraan), tidak berarti kebebasan setiap individu mutlak dijamin. Di Perancis kebijakan individu terutama untuk menggunakan simbol-simbol agama yang merupakan hak dasar manusia sangat dipasung, terutama bagi kaum muslimah yang mengenakan jilbab atau burqa yang merupakan bagian dari perintah agama Islam.
Alasan-alasan yang dikemukakan Perancis terkait kebijakan-kebijakan yang perlahan meminggirkan suatu entitas agama sangatlah tidak masuk akal. Semua dikatakan untuk sekulerisme Perancis padahal apa yang dilakukannya telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam hak-hak azasi manusia terkait dengan hak dasar, yaitu kebebasam beragama dan berkeyakinan. Bahkan hal ini juga melanggar konstitusi Perancis sendiri dan melanggar prinsip-prinsip Revolusi Perancis.
Kebijakan pelarangan burqa selain diskriminatif juga aneh karena hanya ditujukan untuk 2.000 orang yang menggunakannya. Selain itu, cara berpakaian merupakan hak otonom individu dan pemerintah tidak perlu mengatur hingga detailnya. Tampak ada kesan untuk membesar-besarkan permasalahan.
Di negara yang sekuler seharusnya perbedaan agama maupun budaya tidaklah harus diributkan karena justru akan menambah hegemoni yang ada. Sementara organisasi-organisasi internasional seperti Dewan Eropa dan Amnesti Internasional Hak Azasi Manusia tidak dapat berbuat banyak untuk mencampuri kebijakan dalam negeri Perancis, mereka hanya bias menentang dan menyesalkan kebijakan Perancis itu.


Referensi Bacaan


[1] Yusuf Al-Qaradhawi. 2004. Larangan Berjilbab: Studi Kasus di Perancis. Terj: Abdul Hayyie Al Katani. Jakarta: Gema Insani. Hal. 49

[2] Al-Qur’an. Surat An-Nuur ayat 31

[3] Ibid. Surat Al-Ahzab ayat 59

[4] Husein Muhammad. 2007. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKIS. Hal. 69-71

[5] Anti Jilbab, Sebuah Konspirasi. http://www2.irib.ir/worldservice/melayuRadio/perempuan/anti_jilbab02.htm diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.

[6] Di Negara Eifel, Pernah Ada Larangan Jilbab. http://www.inioke.com/konten/2593/di-negara-eiffel-dulu-pernah-ada-pelarangan-jilbab.html diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.

[7] SERANGAN GLOBAL TERHADAP JILBAB. 2007. http://rhisy.blogsome.com diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.

[8] Pelarangan Burqa Perancis Adalah Legal http://konspirasi.com/peristiwa/pelarangan-burqa-perancis-adalah-legal/ diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.


[9] Parlemen Perancis Resmikan Larangan Jilbab. 2010 http://www.suaramedia.com/berita-dunia/dunia-islam/25358-parlemen-perancis-akhirnya-resmikan-larangan-jilbab.html diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.

[10] Parlemen Perancis Setujui Larangan Burqa http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5791069,00.html. diakses Kamis, 25 November pukul 02.00 WIB.

[11] Tore Lindholm , W. Cole Durham Jr, Bahia G. Tahzib-Lie. 2010. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Terj: Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’i Abduh. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 19

[12] Ibid

[13] Ibid hal. 21

[14]Yusuf Al-Qaradhawi. 2004. Larangan Berjilbab: Studi Kasus di Perancis. Terj: Abdul Hayyie Al Katani. Jakarta: Gema Insani. Hal. 55

[15] Abdullahi Ahmed An-Na’im. 2007. Islam dan Negara Sekuler: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Yogyakarta: Mizan. Hal. 276

[16] Kompas, Edisi Kamis, 25 November 2010.

[17]Amnesti Internasional Sesalkan Larangan Burqa Di Perancish. 2010  http://hizbut-tahrir.or.id/2010/07/15/amnesti-internasional-sesalkan-larangan-burqa-di-perancis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar